Minggu, 04 Desember 2011

KLIPING HUKUM TATA NEGARA

KLIPING HUKUM TATA NEGARA


ABI KUSUMA F.A
10/299735/HK/18500

UGM  YOGYAKARTA 2011

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SEBAGAI ALAT TRANSFORMASI SOSIAL



Tanggal 19-05-2009
Berbicara mengenai sistem hukum di setiap negara tentu ada perbedaan-perbedaan, begitu juga dengan proses prosedur legislativenya maupun teknik perundang-undangannya. Tujuannya adalah untuk menciptakan kerangka hukum yang baik mengandung nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi, negara hukum dan keadilan. Gagasan tersebut tentu harus didukung oleh mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum yang kuat.
Demikian disampaikan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta saat membuka Kegiatan Pelatihan Teknik Perundang-undangan di Gedung Direktorat Jenderal Perundang-undangan, Senin 18 Mei 2009.
Kegiatan pelatihan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM (Ditjen PP) diadakan atas kerjasama dengan Center for International Legal Cooperation (CILC) Netherland.
Pembentukan peraturan perundang-undangan berfungsi sebagai alat transformasi sosial yang efektif dalam mendorong proses berdemokrasi dan pembentukan negara hukum yang berkeadilan.  Sebagaimana kita ketahui bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan beserta peraturan pelaksanaan lainnya merupakan pedoman dalam proses pembentukan perundang-undangan baik antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Pemerintah terkait erat dalam menciptakan hukum dan perundang-undangan yang berlaku efektif.
Pelatihan diikuti oleh 32 peserta dengan perincian 19 orang dari Badan Legislative DPR, 2 orang dari Bank Indonesia dan 11 orang dari internal Departemen Hukum dan HAM.  Adapun harapan yang dicapai adalah untuk memberikan pengetahuan mengenai perbandingan sistem hukum yang berlaku saat ini, proses prosedur legislative dan teknik perundang-undangan antara Negara Indonesia dan Negara Belanda. Sehingga pada akhirnya dapat membangun koordinasi dan kerjasama antar para pejabat publik terutama biro hukum untuk mendapatkan perubahan yang lebih positif guna menjadikan undang-undang lebih memperhatikan unsur filosofis,yuridis dan sosiologis demi menciptakan penegakan hukum dan perundang-undangan yang efektif.
Pelatihan yang diadakan selama 4 hari ini dengan narasumber dari Departemen Hukum dan HAM maupun dari Belanda, diantaranya Suhariyono AR dan Prof. Willem Conejnen Belt.
Sumber:
http://www.depkumham.go.id/xDepkumhamWeb/xBerita/xFoto/pelatihan+teknis+perundang+undangan.htm



Komentar Saya tentang Artikel di atas :
Pertama-tama saya akan menjelaskan tentang transformasi sosial. Kata transformasi berasal dari kata dalam bahasa Inggris transform, yang berarti mengendalikan suatu bentuk dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Jadi transformasi sosial berarti membicarakan tentang proses perubahan struktur dan sistem sosial. Transformasi di suatu pihak dapat mengandung arti proses perubahan atau pembaharuan struktur sosial, sedang di pihak lain mengandung makna proses perubahan nilai. Kita hidup di dunia ini terus berubah. Masyarakat dan kebudayaannya terus-menerus mengalami perubahan. Kebiasaannya, aturan-aturan kesusilaannya, hukumnya, lembaga-lembaganya akan terus mengalami perubahan. Dan semua perubahan ini akan mengakibatkan perubahan yang lain secara timbal balik dan berbelit- belit[1]. Perubahan-perubahan yang akan terjadi atau sedang terjadi tersebut didasari, diawasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tidak terjadi penyimpangan maupun kekacauan-kekacauan dalam masyarakat.

Terjadinya Transformasi Sosial
Perubahan dalam masyarakat terjadi melalui pengenalan unsur-unsur baru. Unsur-unsur baru ini diperkenalkan kepada masyarakat dalam dua cara, yaitu dengan penemuan baru (invensi) yang terjadi dalam masyarakat itu dan masuknya pengaruh masyarakat lain[2]. Menurut Syamsir Salam, suatu proses perubahan tentang struktur dan fungsi sistem-sistem sosial setidaknya terjadi dalam tiga tahap:
1. Invensi : yakni suatu proses dimana perubahan itu didasari dari dalam masyarakat itu sendiri, diciptakan oleh masyarakat itu sendiri yang kemudian muncullah perubahan- perubahan.
2. Diffusi : dimana ide-ide/gagasan yang didapat dari luar itu kemudian dikomunikasikan dalam suatu masyarakat.
3. Konsekwensi : yaitu adanya hasil dari pada adopsi terhadap perubahan tersebut.
4. Suatu perubahan yang terjadi baik dari faktor-faktor yang berasal dari masyarakat itu sendiri maupun berasal dari luar masyarakat itu (hasil teknologi baru) tidak selalu menghasilkan akibat-akibat yang sama.
Melihat kepada istilah transformasi sosial menunjukkan suatu proses, pengertian (perbedaan), ciri-ciri (identitas) sosial dalam satuan waktu tertentu, proses itu mengandung tiga unsur penting, yaitu :
1. Perbedaan merupakan aspek yang sangat penting di dalam proses transformasi.
2. Konsep ciri atau identitas yang merupakan acuan di dalam suatu proses transformatif kalau dikatakan sesuatu itu berbeda, maka haruslah jelas perbedaan dari hal apa, ciri sosial, ekonomi atau ciri penerapan dari sesuatu.
3. Proses transformasi selalu bersifat historis yang terikat pada sekalian wakil yang berbeda. Oleh karena itu transformasi selalu menyangkut perubahan masyarakat dari suatu masyarakat lebih sederhana ke masyarakat yang lebih modern[3].

Peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan negara, mulai tahap perencanaan(rancangan), pembahasan, pengesahan(penetapan) dan terakhir tahap pengundangan peraturan yang bersangkutan. Peraturan perundang-undangan berarti peraturan mengenai tata cara pembuatan peraturan negara. Peraturan negara yang saya maksud adalah peraturan-peraturan tertulis yang diterbitkan oleh instansi resmi, baik lembaga maupun pejabat tertentu. Dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan, seharusnya tidak hanya memandang dari aspek intern di dalam masyarakat tetapi dipertimbangkan pula aspek ekstern dari luar agar peraturan yang dibuat lebih dinamis. Pembuatan tersebut harus dipikirkan matang-matang, tidak boleh sama persis dengan peraturan di luar negeri karena perbedaan struktur sosial/struktur masyarakat antara negara satu dengan negara lain menyebabkan pula perbedaan cara mengatur masyarakat tersebut. Pembentukan peraturan tidak harus terpaku pada keadaan masyarakat setempat dan waktu saat peraturan dibentuk, tetapi harus memandang ke masa depan walaupun pada masa itu belum perlu dibuat. Sehingga peraturan tersebut bersifat dinamis dan tidak terjadi shock culture dalam masyarakat. Jadi, pembuatan peraturan harus disinkronkan antara aspek intern dan ekstern sehingga dapat berkesinambungan.
Transformasi hukum di Indonesia sudah berlangsung sejak tahun 1970-an dan sampai saat ini belum dilakukan evaluasi secara mendasar dan komprehensif terhadap kinerja model hukum sebagai “sarana pembaruan masyarakat”. Ukuran keberhasilan pembangunan hukum berbeda dengan pembangunan fisik karena pembangunan fisik jelas dapat dinilai dalam bentuk keberhasilan ataupun kegagalannya. Proses legislasi dengan produk perundang-undangan  bukanlah proses yang bersih dari kepentingan politik karena hal tersebut merupakan proses politik. Bahkan implementasi perundang-undangan yang dikenal dengan sebutan “penegakan hukum/law enforcement”, juga tidaklah selalu steril dari pengaruh politik.
Jika demikian, maka hukum di Indonesia, termasuk pembentukannya, tampaknya di luar hukum dalam bentuknya yang murni. Banyak masyarakat yang heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mampu menindak kesewenang-wenangan, menegakkan keadilan, serta menampilkan diri sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa diselesaikan oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. Ternyata hukum tidak benar-benar bersih dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik seringkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum.
Politik hukum, seringkali juga merambah di lingkungan dalam pemerintah pada waktu rancangan peraturan tersebut dibahas antardepartemen terkait dengan masalah kepentingan tertentu. Kepentingan tertentu inilah yang kemudian mempengaruhi politik hukum yang sejak awal diharapkan politik hukum dapat bermanfaat atau berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Sekali lagi, sterilisasi politik hukum dikotori oleh kepentingan sektor. Sumber daya manusia, terutama pembuat peraturan yang dinilai banyak kekurangan dalam merumuskan dan menuangkan keinginan politik hukumnya dan jumlah perancang peraturan perundang-undangan yang masih minim, juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kesenjangan antara kuantitas dan kualitas produk peraturan perundang-undangan. Hal inilah yang semestinya harus dibahas dalam pelatihan pembentukan perundang-undangan tersebut sebagai masalah dalam pembentukan perendang-undangan.
Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum dan dibuat secara sistematis sesuai dengan jenis dan hierarki yang didasarkan pada asas bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, proses pembentukan undang-undang yang baik, harus diatur secara komprehensif baik mengenai proses perencanaan, penyiapan, pembahasan, pengesahan sampai dengan pengundangannya. Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan Sering dijumpai banyak undang-undang yang kurang efektif setelah undang-undang tersebut diundangkan, bahkan banyak sekali undang-undang yang baru di sahkan menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat sampai adanya keinginan dibatalkannya undang-undang tersebut, karena dianggap tidak sesuai dengan prosedur hukum dan bertentangan dengan kaidah hukum, sehingga dalam menyusun undang-undang diperlukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Perencanaan yang matang dalam merumuskan suatu undang-undang.
b. Harus melalui prosedur untuk mengantisipasi terjadinya cacat hukum terhadap  undang-undangtersebut.
c. Diperlukan kehati-hatian dalam merumuskan suatu undang-undang.
d.  Konsentrasi yang penuh terhadap bidang yang akan diatur.
Dalam merumuskan suatu rancangan undang-undang harus memperhatikan aspek :
a. Mengapa membentuk undang-undang?
b. Untuk apa undang-undang dibentuk? Harus ada maksud dan tujuannya.
c. Bagaimana jika undang-undang itu berlaku? Terhadap anggaran, ahlinya dan lain-lain.
Secara teknis, seorang perancang dalam merumuskan suatu rancangan undang-undang juga harus memperhatikan masalah kekuasaan pembentukan peraturan perundang-undangan, di mana sebelum perubahan UUD kewenangan pembentuk peraturan perundang-undanagan ada di pemerintah tetapi setelah perubahan UUD pembentukan undang-undang ada di DPR. Intinya bahwa pemerintah tidak mempunyai kewenangan membuat undang-undang tetapi disisi lain ada undang-undang yang menyatakan adanya persetujuan bersama antara pemerintah dan DPR, sehingga hal ini tidak ada pemisahan yang jelas antara pemerintah dan DPR dalam hal kewenangan pembentukan undang-undang. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah inisiatif pemerintah lebih banyak dilakukan daripada inisiatif DPR dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, hal ini disebabkan karena yang mengetahui betul kebutuhan undang-undang adalah pemerintah, sedangkan DPR dalam rangka meningkatkan fungsinya, sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan, DPR membentuk Badan Legislatif yang fungsinya menyusun RUU secara prioritas(Prolegnas).
Dengan demikian, bahwa DPR dan Pemerintah dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri melainkan harus saling koordinasi yang baik. DPR akan lebih baik dalam menyusun prolegnas berkoordinasi dengan biro-biro hukum di pemerintahan, begitu pula sebaliknya jika pemerintah menyusun RUU juga harus dijelaskan lebih rinci dan konkret maksud dan tujuannya dalam merumuskan suatu rancangan undang-undang, hal ini dimaksud agar tidak terjadi simpang siur dalam rumusan tersebut sehingga akan lebih akurat dalam rangka pembahasan antara pemerintah dan DPR. Dalam rangka mendesain suatu undang-undang seorang perancang harus memegang kunci dasar pokok yang tidak boleh dilupakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diantaranya :
a. Sebutan berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Persetujuan bersama Pemerintah dan DPR.
c. Pengesahan.
d. Pengundangan.
Dalam merumuskan suatu rancangan undang-undang akan lebih baik jika diawali dengan naskah akademis, yang fungsinya antara lain :
a. Sebagai dasar yang kuat untuk pembentukan peraturan perundang-undangan.
b. Sebagai bahan untuk menjelaskan pembentukan peraturan perundang-undangan di DPR dalam pemandangan umum.
c. Selain sebagai dasar pembentukan peraturan perundang-undangan juga bisa sebagai dasar dalam menyusun perjanjian, pembentukan provinsi, pembentukan pengadilan dan lain-lain yang berkaitan dengan peraturan.
Sehingga naskah akademis ini sangat penting untuk dipublikasikan kemasyarakat luas, keuntungan apabila naskah akademis tersebut di publikasikan, diantaranya:
a. Jika ada yang keberatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut bisa tidak dilanjutkan.
b. Sebagai pendorong pembentukan peraturan perundang-undangan.
c. Dasar yang kuat untuk diketahui masyarakat luas alasan pembentukan peraturan perundang-undangan.
d. Akan memaksimalkan dalam penyusunan Naskah Akademis ke depan.
Dalam rangka pembulatan konsep suatu rancangan undang-undang pengharmonisasian dilakukan akan lebih baik ketika dalam penyusunan naskah akademis hal ini dimaksud untuk menguatkan maksud dan tujuan dibentuknya suatu undang-undang, namun dalam prakteknya hal ini sulit dilakukan sehingga naskah akademis tersebut tidak terpakai disebabkan beberapa hal diantaranya:
a. Tidak efektifnya dalam pengharmonisasian karena terjadi ego sektoral.
b. Pengharmonisasian tersebut tidak efektif/berantakan tidak ada titik temu dengan pihak yang terkait/berkepentingan, sehingga tidak ada pembulatan konsep.
Masalah lain yang akan coba dibahas dan dicari solusinya dalam pelatihan mungkin adalah masalah disharmonisasi antar peraturan perundang-undangan. Padahal peraturan perundang-undangan harus dibuat secara sistematis sesuai dengan jenis dan hierarki yang didasarkan pada asas bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, sehingga harus terjamin harmonisasi antar peraturan. Ada 6 faktor yang menyebabkan disharmoni sebagai berikut:
a. Pembentukan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan sering dalam kurun waktu yang berbeda.
b. Pejabat yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan berganti-ganti baik karena dibatasi oleh masa jabatan, alih tugas/ penggantian.
c. Pendekatan sektoral dalam pembentukan  peraturan perundang-undangan lebih kuat dibanding pendekatan sistem.
d. Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang melibatkan berbagai instansi dan disiplin hukum.
e. Akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan masih terbatas.
f. Belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.
Disharmoni peraturan perundang-undangan mengakibatkan terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya, timbulnya ketidakpastian hukum, peraturan perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien, disfungsi hukum, artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa dan sebagai sarana perubahan sosial secara tertib dan teratur.

Dalam hal terjadi disharmoni peraturan perundang-undangan ada 3 (tiga) cara mengatasinya yaitu sebagai berikut:
a.  Mengubah/mencabut pasal tertentu yang mengalami disharmoni atau seluruh pasal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, oleh lembaga/instansi yang berwenang membentuknya.
b.  Mengajukan permohonan uji materil kepada lembaga yudikatif sebagai berikut :
1) Untuk pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar kepada Mahkamah  Konsitusi;
2) Untuk pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang kepada Mahkamah Agung.
c. Menerapkan asas hukum/doktrin hukum sebagai berikut :
1)     Lex superior derogat legi inferiori.
Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah[4].  
2)    Lex specialis derogat legi generalis.
Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum[5].

Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas
Lex specialis derogat legi generalis :   
(a)   Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.
(b)   Ketentuan-ketentuan
lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang).
(c)   Ketentuan-ketentuan
lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.
3).   Asas lex posterior derogat legi priori.
Aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas lex posterior derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum yang baru.
Asas ini pun memuat prinsip-prinsip
[6] :
(1)   Aturan hukum yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum yang lama.
(2)   Aturan hukum baru dan lama mengatur aspek yang sama.
Asas ini antara lain bermaksud mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Dengan adanya Asas Lex posterior derogat legi priori, ketentuan yang mengatur pencabutan suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting. Secara hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat aturan hukum baru mulai berlaku.
Pengharmonisasian dilakukan dengan cara sebagai berikut:
  1. Pastikan bahwa rancangan undang-undang mencantumkan nilai-nilai filosofis Pancasila dan pasal-pasal rancangan undang-undang yang bersangkutan tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
  2. Pastikan bahwa pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan pembentukannya telah dicantumkan dengan benar dan pastikan pula bahwa rancangan undang-undang telah selaras dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara menurut Undang-Undang Dasar.
  3. Gunakan istilah hukum atau pengertian hukum secara konsisten.
  4. Teliti dengan seksama apakah materi muatan rancangan undang-undang telah serasi/selaras dengan undang-undang lain terkait.
  5. Pastikan bahwa asas-asas peraturan perundang-undangan baik asas pembentukan, asas materi muatan, maupun asas lain yang berkaitan dengan bidang hukum yang diatur dalam rancangan undang-undang, telah terakomodasikan dengan baik dalam rancangan undang-undang.
  6. Pastikan bahwa pedoman teknik penyusunan peraturan perundang-undangan telah dipatuhi secara konsisten.
  7. Pastikan bahwa bahasa yang digunakan dalam merumuskan norma dalam rancangan undang-undang telah sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar serta mengunakan pilihan kata yang tepat, jelas dan pasti.
Pengharmonisasian rancangan undang-undang yang dilaksanakan secara cermat dan profesional akan menghasilakan rancangan undang-undang yang memenuhi syarat sebagai rancangan undang-undang yang baik.
Ada 8 (delapan) kriteria hukum yang baik menurut Lon Fuller sebagai berikut
[7] :
  1. Hukum harus dituruti semua orang, termasuk oleh penguasa negara.
  2. Hukum harus dipublikasikan.
  3. Hukum harus berlaku ke depan, bukan berlaku surut.
  4. Kaidah hukum harus ditulis secara jelas, sehingga dapat diketahui dan diterapkan secara benar.
  5. Hukum harus menghindari diri dari kontradiksi-kontradiksi.
  6. Hukum jangan mewajibkan sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi.
  7. Hukum harus bersifat konstan sehingga ada kepastian hukum. Tetapi hukum harus juga diubah jika situasi politik dan sosial telah berubah.
  8. Tindakan para aparat pemerintah dan penegak hukum haruslah konsisten dengan hukum yang berlaku.
Peraturan perundang-undangan yang baik merupakan pondasi Negara Hukum yang akan menjamin hak-hak warga negra, membatasi kekuasaan penguasa, menjamin kepastian dan keadilan hukum untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat.



Kesimpulan dari saya :
Dalam pelatihan tersebut harus dijelaskan  bahwa pembentuk peraturan harus memahami makna asas   pembentukan   peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi :
a)    Kejelasan tujuan (setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai)
b)    Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat (setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang)
c)    Kesesuaian antara jenis dan materi muatan (dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya)
d)    Dapat dilaksanakan (setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis)
e)    Kedayagunaan dan kehasilgunaan (setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara)
f)     Kejelasan rumusan (setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya)
g)    Keterbukaan (dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan).
Asas-asas tersebut merupakan dasar berpijak bagi pembentuk peraturan perundang-undangan dan penentu kebijakan. Semua asas di atas, harus terpateri dalam diri mereka yang akan membentuk peraturan perundang-undangan yang biasanya diwujudkan dalam bentuk pertanyaan dalam setiap langkah yang ditempuh.





Daftar Pustaka :
1.    Polak, Mayor. Sosiologi. 1985. Jakarta : Ichtiar Baru.
2.    Nasution, Adham. Sosiologi. 1983. Bandung : Alumni.
3.    Nurdin, Fauzie, dkk. Transformasi Keagamaan. 2001. Bandar Lampung : Fakultas Ushuluddin.
4.    Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya.
5.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6.    Fuady,Munir. Teori Negara Hukum Moderen (Rechstaat). 2009. Bandung.
7.    Manan, Bagir. Hukum Positif Indonesia. 2004. Yogyakarta. hal.56.
8.    A.R., Suhariyono. Peningkatan Kualitas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Ditulis hari Jumat, 8 Januari 2010. Diakses pada Selasa, 29 Maret 2011.
9.    Lubis, Solly. Landasan dan Teknik Perundang-undangan. 1977. Bandung : Alumni.
10. Soehino, S. H. Hukum Tata Negara Teknik Perundang-undangan. 1990. Yogyakarta : Liberty.



[1]        Mayor Polak, Sosiologi, PT. Ichtiar Baru, Jakarta, 1985.
[2]        Adham Nasution, Sosiologi, Alumni, Bandung, 1983.
[3]        Fauzie Nurdin dkk, Transformasi Keagamaan, Fakultas Ushuluddin, Bandar Lampung, 2001.
[4]         Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, Yogyakarta, 2004, hal.56.
[5]       Ibid, hal.58.
[6]        Ibid, hal. 59.
[7]        Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), Bandung, 2009, Halaman 9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar