BAB I
PENDAHULUAN
A. Later belakang
Perkembangan
suatu tindak pidana di Indonesia setiap tahun semakin berkembang sehingga
memerlukan perkembangan hokum khususnya hokum pidana. pengaturan pengaturan hokum
harus berbanding lurus dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Indonesia
memiliki pengaturan
hokum sendiri yang mengatur terkait pemidanaan dalam KUHP dan undang-undang
lainya, hal ini sejalan dengan Pasal 103 KUHP yang intinya menyatakan bahwa
kebolehan membuat suatu ketentuan yang berbeda dari KUHP. KUHP digunakan
sebagai aturan umum dalam melaksanakan pemidanaan. Sedangkan dalam UU yang lain
kadang tidak mencantumkan mengenai aturan pemidanaan dan penerapannya. KUHP
diharapkan dapat kembali menjalankan peran sebagai payung hukum yang mengatur
delik pidana secara umum.
Upaya
mencapai suatu keselarasan antara Induk (KUHP) dengan segala peraturan yang
bernaung di dalamnya, guna mencapai keselarasan antara KUHP dengan
Undang-Undang Khusus dalam sistem pemidanaan maka perlu adanya suatu perubahan
di dalam tubuh KUHP. Keserasian, keselarasan dalam aturan umum (KUHP) dengan
aturan UU khusus sangat penting mengingat banyaknya UU khusus yang ada di luar
KUHPKUHP tidak lagi dapat melingkupi aturan secara umum tentang delik pidana
yang ada, khususnya delik pidana baru, yang saat ini diatur dalam UU khusus.
Alasan tersebut akhirnya mendorong Indonesia untuk membuat KUHP yang terbaru
menyesuaikan dengan perkembanggan yang ada sehingga lahirlah UU nomor 1 Tahun
2023. UU ini menggantikan KUHP yang lama sehingga Indonesia memilikisistem
KUHPidana yang terbaru. Akan tetapi baruakan berlaku 3 tahun setelah
diundangkan. UU KUHP baru berlaku pertahun 2026 sedangkan uuntuk sekarang masih
menggunaknan KUHP yang lama. Dalam masatrasnisistersebut diharapkan semua pihak
dapat memahami dan mengetahui akan adanya prubahan tersebut. Sehingga nanti
saat UU KUHP baru berlakusudah tidakkaget dengan beberapa perubahan.
B. Rumusan
masalah
Berdasarkan
masalah tersebut diatas maka penulis
ingin mengetahui:
1. Apa saja perbedaan antara KUHP lama dan
KUHP terbaru yang ada di Indonesia?
BAB II
Pembahasan
A. Sejarah Hukum Pidana
C.S.T. Kansil dalam
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (1989), mendefinisikan apa itu
hukum pidana. Menurutnya, hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran
dan kejahatan terhadap kepentingan umum, dan diancam hukuman berupa penderitaan
atau siksaan. Menjadi salah satu hukum yang berlaku hingga saat ini. Hukum
pidana adalah aturan yang memuat sanksi berupa pidana. Pidana sendiri merupakan
suatu penderitaan yang diberikan kepada seseorang sebagai hukuman karena telah
melanggar hukum pidana.
Sejarah hukum pidana di Indonesia
Indonesia saat ini masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
sebelum akan menerapkan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP (KUHP baru)
pada 2026 mendatang, KUHP yang masih berlaku saat ini adalah peninggalan
kolonial. Yakni, berupa terjemahan Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch-Indie pada 1915. Adapun secara garis besar, sejarah hukum
pidana Indonesia terbagi menjadi lima bagian, yaitu masa sebelum penjajahan,
kolonial Belanda, kependudukan Jepang, dan kemerdekaan serta pasca reformasi.
KUHP
sendiri dijadikan sebagai buku pedoman dasar bagi aparat penegak ukum dalam
manjalankan keentuan dan merupakan implementasi keadiran pemerinta dalam
menjamin keamaman masyarakat. Adanya KUHP juga memberikan kepastian bagi
masyarakat akan sistem hukum yang ada dan berlaku untuk seluruh wilayah
kesatuan Indonesia.
Sejarah di Indonesia terkait Hukum Pidana di Indonesia dapat kita bagi dengan
beberapa tahapan diantaranya:
1.
Tahap masa
kerajaan dan sebelum adanya kolonialisme
Awal mula dengan adanya Hukum Pidana
secara adat yang berlaku berbeda disetiap daerah yang ada di nusantara pada
waktu itu. Hokum pidana hanya berlakudi setiap kerajaan atau masyarakat adat
dan bersifat sektoral. Belum ada kodifikasi sebagaimana seperti sekarang, Nusantara telah memberlakukan norma-norma pidana
berupa norma pidana adat. Norma pidana adat ini berlaku secara terpisah menurut
wilayah kekuasaan setiap kerajaan, baik secara tertulis maupun tidak tertulis.
Dengan kata lain, beberapa kerajaan ada yang membukukan dan memberlakukan norma
pidana secara turun-menurun dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Namun,
ada pula kerajaan yang hanya memberlakukan dan menerapkan norma-norma pidana
yang berlaku dan diakui sekelompok masyarakat untuk setiap kasus kejahatan
2.
Tahap Kolonialisme Belanda dan VOC
Masa kolonial Belanda Setelah
Belanda datang, Indonesia menganut dualisme hukum, yaitu Hukum Belanda Kuno
atau Hukum Kapal Belanda, dan Hukum Adat. Hukum Belanda Kuno yang mengacu pada
Hukum Romawi dibawa masuk ke Nusantara bersama kapal dagang di bawah pimpinan
Cornelis de Houtman. kemudian
belanda dengan membawa hukum pidana de bataviasche statuten tahun 1942, yang memuat aturan
hukum pidana yang berlaku bagi orang eropa,dan selanjutnya pada tahun 1848
dibentuk lagi intermaire strafbepalingen. Disamping kedua peraturan itu juga
dijalankan peraturan lain yang bersandar pada Oud Hollands dan Romeins
Strafrecht. Kedua macam hukum pidana yang berlaku bagi orang eropa tersebut
diatas berasaskan hukum belanda kuno dan hukum romawi. Adapun bagi orang
bumiputera atau orang Indonesia asli, meskipun terdapat aturan-aturan huku ertulis tersebut tetap berlaku
hukum adat pidana yang sebagian besar tidak tertulis. Pada tahun 1866 barulah
dikenal kodifikasi dalam arti sebenarnya, yaitu pembukaan segala peraturan huku
pidana. Pada tanggal 10 februari 1866 berlakulah dua kitab undang-undang hukum
pidana di Indonesia yakni Het wetboek Van StrafrechtVoor Europeanen (S. 1866
nomor 55) yang berlaku bagi orang eropa mulai 1 januari 1867 dan Het wetboek Van strafrecht Voor Inlands en
Darmede Gelijkgestlede s. 1872 nomor 85 yang mulai berlaku pada tanggal 1
januari 1873.
Setelah berlakunya KUHP tahun 1866 dan tahun 1872, maka aturan hukum yang
lama yaitu tahun 1642 dan tahun 1848 tidak berlaku lagi, demikian pula hukum
adat pidana yang berlaku di daerah-daerah yang dijajah itu dihapuskan dan semua
orang-orang Indonesia tunduk pada satu KUHP. Berdasarkan Regeringsreglement
pasal 75 ayat 1 dan 2,sebenarnya KUHP yang ditetapkan dengan koninklijk besluit
tanggal 10 februari 1866 yang mulai berlaku pada tanggal 1 januari 1867 khusus
terhadap golongan eropa,adalah copy atau turunan KUHP yang berlaku pada waktu
itu di negeri belanda,yakni ode penal perancis karena negeri belanda pernah
dijajah oleh perancis. Perbedaanya ialah code penal perancis terdapat empat
buku, sedangkan
KUHP untuk golongan eropa di Indonesia hanya terdiri dua buku saja. (E. Utrecht
1960 :45)
Selanjutnya KUHP yang ditetapkan dengan ordonansi
tanggal 6 mei 1872 yang mulai berlaku pada tanggal 1 januari 1873 khusus
terhadap golonan bumi putera adalah suatu trunan pula dari KUHP yang berlaku
untuk golongan eropa dengan perubahan-perubahan yang telah disesuaikan dengan
agama dan lingkungan hidup golongan bumi putera. Adapun perbedaanya terletak
pada sanksinya saja. Dengan koninklijk besluit tanggal 12 april 1896
dibentuklah rancangan KUHP yang khusus berlaku bagi golongan eropa di hindia
belanda. Walupun rancangan KUHP tersebut telah disesuaikan, tetapi belum dapat
ditetapkan berlakunya karena rancangan KUHP ini,maka keadaan dualisme hukum
pidana di hindia belanda masih tetap dipertahankan sebagaimana sebelumnya.
Selama kedua rancangan KUHP yang telah disesuaikan
dengan KUHP nasional belum berlaku, maka yang berlaku tetap S. 1866 nomor 55 untuk golongan eropa dan S. 1872 nomor 85
untuk golongan Indonesia dan timur asing yang berlangsung samai dengan 1918.
Setelah selesainya kedua rancangan KUHP tersebut, ternyata tetap tidak di
berlakukan karena menteri daerah jajahan yaitu Mr. Idenburgh berpendapat lain, bahwa untuk hindia
belanda harus berlaku satu KUHP, dengan kata lain ia menganjurkan adannya unifikas (jonkers.
1946:2). Dengan demikian maka pada tahun 1913 dibentuklah suatu panitia yang
bertugas untuk menyusun KUHP yang berlaku untuk seluruh penduduk hindia belanda.
Setelah selesai, dengan koninklijk Besluit Van strafrecht Voor nederlandsch indie, dinyatakan mulai
berlaku pada 1 Januari 1918 (S. 1915 nomor 732)
3.
Tahap pendudukan
oleh Jepang
Masa pendudukan Jepang
Masuknya tentara Jepang ke wilayah Hindia Belanda pada 8 Maret 1942
menggantikan kependudukan Belanda atas Indonesia. Berlangsung kurang lebih tiga
tahun, penjajahan bangsa Jepang tak banyak berpengaruh terhadap aturan hukum
pidana di Indonesia. pemerintah Jepang memberlakukan kembali peraturan zaman
Belanda dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei.
Pertama, pemerintahan
militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 aturan
tersebut menyebutkan, semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan
undang-undang dari pemerintah terdahulu, tetap diakui sah untuk sementara
waktu, asal tidak bertentangan dengan pemerintahan militer. Oleh sebab
itu, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie 1915 peninggalan
Belanda masih tetap berlaku, di samping aturan pidana pemerintahan Jepang. Pemerintah jepang mengeluarkan peraturan yang menetapkan bahwa
S.1915 nomor 732 tetap berlaku
4.
Tahap Kemerdekaan Indonesia
Kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 18 Agustus
1945, berlaku Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai sumber hukum
tertinggi. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 mengatur: "Segala badan
negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini." Dengan demikian, peraturan
hukum pada masa itu termasuk Wetboek van Strafrecht voor
nederlandsch-Indie 1915 dan peraturan pemerintahan Jepang masih berlaku. Hingga
pada 26 Pebruari 1946, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang tersebut antara lain
mengatur: Mencabut berlakunya hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintah
Jepang. Mencabut semua aturan hukum pidana yang dikeluarkan Panglima Tertinggi
Balatentara Hindia Belanda. Peraturan hukum pidana yang berlaku di Indonesia
adalah peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1915.
Mengubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie menjadi Wetboek
van Strafrecht dan selanjutnya diterjemahkan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
5.
Tahap setelah Reformasi
Setelah merdeka dan menetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana yang kita kenal sebagai KUHPlama. Dikarenakan
berbagai alas an baik filosofis, sosilogis, politik dan legalitas maka diadakan
RKUHP yang berjalan pelan sejak kemerdekaan. cikal bakal adanya perubahan yang ada
didalam KUHP lama nantinya akan ditambahkan denganbeberapa hal yang menurut
pemerintah sudah sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat Indonesia
pada umumnya. Berbagai gagasan dilontarkan dan masuk juga dalam
Prolegnas DPR. Usulan
terkait perubahan KUHP juga berkali kali mengalami perubahan sejak reformasi
karena dirasa belum sesuai dengan perkembangan yang ada. kemudian pada tahun awal
2023 akhirnya Indonesia menerapkan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang
KUHP (KUHP baru).
Penerapan UU Nomor 1
Tahun 2023 tentang KUHP (KUHP baru) yang akan mulai efektif berlaku dari
Tahun 2026. Sehingga samapi
akhir 2025 Indonesia masi tetap menggunakan KUP lama.
B.
Perbedaan
KUHP lama dan KUHP baru
Terdapat beberapa perbedaan jenis sanksi
atau hukuman pidana di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
lama dan KUHP baru.
Pada 2 Januari 2023, Indonesia mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP alias KUHP baru yang baru
akan berlaku tiga tahun setelah diundangkan, yakni pada 2026 mendatang.
1. Perbedaan
jenis sanksi pidana di KUHP lama dan baru
Salah satu perbedaan
yang mencolokadalah jenis sanksi pidana,dimana dalam KUHP lama hanya ada dua
Pidana Pokok sedangkan dalam KUHP baru ditambahkan adanya Pidana bersifat
Khusus.
Merujuk pada Pasal 10 KUHP, pidana
terdiri atas dua jenis, yakni:
- Pidana
pokok
- Pidana
tambahan.
Sementara
menurut Pasal 64 UU Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP baru), sanksi pidana terbagi
menjadi:
a.
Pidana pokok
b.
Pidana tambahan
c.
Pidana yang bersifat khusus untuk tindak
pidana tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
Sebagai contoh
Dalam
KUHP lama, tindak pidana penipuan diancam dengan pidana penjara paling lama 4
tahun. Dalam KUHP baru, tindak pidana penipuan diancam dengan pidana
penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
2. Pidana
pokok di KUHP lama dan baru
Berdasarkan KUHP lama, pidana pokok
terdiri dari lima macam. Sedangkan di KUHP baru, pidana pokok hanya terdiri
atas lima macam.
Pada KUHP lama Pasal 10 huruf a,
pidana pokok terdiri atas:
a.
Pidana Mati;
b.
Pidana Penjara;
c.
Pidana Kurungan;
d.
Pidana Denda;
e.
Pidana Tutupan.
Sedangkan pada Pasal 65 KUHP baru
yang telah disepakati, pidana pokok terdiri atas:
a.
Pidana Penjara;
b.
Pidana Tutupan;
c.
Pidana Pengawasan;
d.
Pidana Denda; Dan
e.
Pidana Kerja Sosial.
Adanya perubahan dan
penambahan pidana baru
dalam KUHP baru dapat dijadikan alternative jenis pemidanaan oleh hakim. karena sistempemidanaan sekarang
menganutbukan utnukmenyengsarakan terpidana akan tetapilebih kerehabilitasi
yang terpidanaagardapatkembali kepada masyarakat. Perbedaan keduanya terletak pada pidana
atau hukuman mati yang tak lagi menjadi pidana pokok menurut KUHP baru.
Sehingga Aparat Penegak hukum tidakdapat sewenang wenang dalam menentukan
hukuman mati terhadap terpidana.
Selain itu, pada KUHP
baru, pemerintah juga mengganti pidana tutupan dengan pidana pengawasan. Bukan hanya itu, KUHP baru juga menambah
satu jenis hukuman lain berupa pidana kerja sosial. Baik aturan lama atau baru, urutan pidana
sama-sama menentukan berat atau ringannya hukuman.
Berikut pengertian singkat masing-masing
hukuman pidana:
- Pidana
mati
Roeslan Salah dalam Stelsel
Pidana Indonesia (1987) menjelaskan, pidana mati atau hukuman mati
adalah jenis pidana terberat menurut hukum positif Indonesia. Bagi mereka yang pro, hukuman mati
dianggap sebagai pemberi efek jera lantaran kualitas dan kuantitas kejahatan
dari waktu ke waktu semakin meningkat.
Dalam KUHP lama, hukuman mati merupakan
pidana pokok dan merupakan sanksi pidana tertinggi. Dalam KUHP baru,
hukuman mati merupakan pidana bersifat khusus yang menjadi alternatif.dengan ini hakim tidak dapat
dengan sekaligus memberikan pidana mati terhadap terdakwa. Namun melainkan
sebagai alternatif dengan masa percobaan tertentu. Misalnya masa percobaan
tertentu. Misalnya, pidana mati dijatuhk mati dijatuhkan dengan masa percobaan
selama 10 tahun. Maka apabila dalam jangka waktu 10 tahun narapidana berkelakuan
baik, maka ancaman pidana dapat diturunkan menjadi seumur hidup atau maksimal
20 tahun penjara. Hal
tersebut sesuai dengan Pasal 67 UU Nomor 1 Tahun 2023, yakni:
"Pidana yang bersifat khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c merupakan pidana mati yang selalu
diancamkan secara alternatif."
- Pidana
penjara
Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur
hidup atau waktu tertentu. Pidana seumur hidup artinya terpidana akan
dipenjara sampai meninggal dunia.
Sementara penjara waktu tertentu,
dijatuhkan paling lama 15 tahun dan paling singkat satu hari. Pidana penjara
selama waku tertentu sekali-kali juga tidak boleh melebihi 20 tahun.
- Pidana
pengawasan
Merupakan pidana pokok dalam KUHP baru,
pengawasan dapat dijatuhkan pada terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan
ancaman penjara maksimal lima tahun.
- Pidana
kurungan
Pidana kurungan menurut KUHP lama dapat
diberikan paling singkat selama satu hari dan paling lama selama satu tahun.
Jika ada pemberatan pidana, pidana
kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan. Jumlah maksimal pidana
kurungan pun tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan.
- Pidana
denda
Pidana denda adalah hukuman yang
mewajibkan terpidana untuk membayar sejumlah uang ke kas negara dan tidak dimasukan dalam kategori apapun hanya
menyesuaikan dengan kurs rupiah yang ada.
Pasal 79 KUHP baru membagi denda ke dalam
delapan kategori, yaitu:
a. Kategori
I, Rp 1 juta
b. Kategori
II, Rp 10 juta
c. Kategori
III, Rp 50. juta
d. Kategori
IV, Rp 200 juta
e. Kategori
V, Rp 500 juta
f. Kategori
VI, Rp 2 miliar
g. Kategori
VII, Rp 5 miliar
h. Kategori
VIII, Rp 50 miliar.
- Pidana
tutupan
Pidana tutupan ditujukan untuk politisi
yang melakukan kejahatan karena ideologi yang dianutnya. Namun, dalam praktik
peradilan saat ini, pidana tersebut tidak pernah diterapkan.
Pidana tutupan juga masih ada dalam KUHP
baru, tepatnya pada Pasal 74. Jenis hukuman ini dapat dijatuhkan apabila
terdakwa melakukan tindak pidana karena terdorong maksud yang patut dihormati.
- Pidana
kerja social
Merujuk Pasal 85 KUHP baru, pidana kerja
sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan
ancaman hukuman penjara kurang dari lima tahun dan hakim menjatuhkan penjara
paling lama enam bulan atau denda paling banyak kategori II.
3. Pidana
tambahan di KUHP lama dan baru
Pidana tambahan menurut Pasal 10 huruf b
KUHP lama terdiri dari tiga macam, yaitu:
1.
Pencabutan beberapa hak tertentu
2.
Perampasan barang yang tertentu
3.
Pengumuman putusan hakim.
Berbeda, pidana tambahan dalam
Pasal 66 KUHP baru terbagi atas:
1. Pencabutan
hak tertentu
2. Perbaikan akibat tindak pidana
3. Perampasan
barang tertentu dan/atau tagihan
4. Pengumuman
putusan hakim
5. Pembayaran
ganti rugi
6. Pencabutan
izin tertentu
7. Pemenuhan
kewajiban adat setempat.pengumuman putusan
pengadilan
8. Pembiayayaan pelatihan kerja
9. Pembubaran korporasi
10. Penutupan atau pembekuan baik sebagian atau seluruh
kegiatan koorporasi
11. Pelarangan permanen perbuatan tertentu;
Pidana tambahan menurut KUHP terbaru
dapat dikenakan apabila penjatuhan pidana pokok saja tidak cukup untuk mencapai
tujuan pemidanaan. Pidana tambahan juga dapat dijatuhkan sebanyak satu jenis
atau lebih.
4.
Adanya Penambahan
Subjek baru dalam KUHP baru
Korporasi sebagai
sebagai Subjek Tindak Pidana Pada
KUHP lama, subjek hukum pidana hanya mengenal perseorangan seehingga kita sering mendengar pasal dimulai
dengan kata “barangsiapa”. “barangsiapa”. Berbeda dengan KUHP baru, subjek
pidana yang dikenal bukan hanya berupa perorangan,
namun korporasi juga. Sehingga pemaknaan
seseorang semakin meluas tidak hanya individu tetapi korporasi sebagaimna dalam
subjek hukum perdata yang memasaukan badan hukum atau korposari sebgai subjek
hukum.
5.
Asas asas dalam KUHP
lama dan baru
Dalam KUHP lama ada
beberapa asas
1.
Asas Legalitas (pasal 1 ayat (1) KUHP)
Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali, yang artnya tdak ada
delik, tdak ada pidana tanpa pidana yang mendahuluinya.
2.
Asas teritorial (pasal 2 KUHP) “Aturan
pidana dalam perundang-undangan pidana Indonesia berlaku bagi setap orang yang
melakukan perbuatan pidana dalam wilayah Indonesia
3.
Asas nasionalitas aktf (pasal 5 KUHP)
berpatokan pada status kewarganegaraan pelaku bahwa hukum pidana
Indonesia Indonesia mengikut warga negaranya yang berada diluar negeri. Hal ini
juga bermaksud menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat.
4.
Asas nasionalitas pasif (pasal 4 KUHP),
mengikut perbuatannya sepanjang mengancam dan merugikan kepentngan nasional
maka aturan pidana Indonesia dapat diterapkan kepadanya
5.
Asas Universal, Berlakunya pasal 2-5 dan
8 KUHP dibatasi oleh pengecualian pengecualian dalam hukum
internasional. Bahwa asas melindungi kepentngan internasional (asas universal)
adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap
bahwa Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia.
Asas Dalam KUHP baru
1.
Asas Legalitas harus mengikuti :
a. Tidak
ada suatu perbuatan yang dapat dipidana apabila perbuatan itu tidak diatur
dalam suatu peraturan terlebih dahulu.
b. Untuk
menentukan adanya tindak pidana tidak boleh didasarkan pada analogi.
c. Peraturan-peraturan hukum pidana tidak boleh
berlaku surut.
asas legalitas lebih menekankan pada
aspek materiil, dalam arti mempertimbangkan pada hukum lain yang ada di
masyarakat
2.
Asas teritorial diatur dalam Pasal 4 UU 1/2023 yang menerangkan
bahwa ketentuan pidana dalam undang undang berlaku bagi setiap orang yang
melakukan:
a.
tindak pidana di wilayah NKRI;
b.
tindak pidana di kapal Indonesia atau di
Pesawat Udara Indonesia; atau
c.
tindak pidana di bidang teknologi
informasi atau tindak pidana lainnya yang akibatnya dialami atau terjadi di
wilayah NKRI atau di kapal Indonesia dan di pesawat udara Indonesia
3.
Asas nasionalitas aktif diatur dalam Pasal 8 UU 1/2023 dengan ketentuan :
a. Ketentuan
pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang
melakukan tindak pidana di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Ketentuan
pidana tersebut berlaku jika perbuatan tersebut juga merupakan tindak
pidana di negara tempat tindak pidana dilakukan.
c. Ketentuan
tersebut tidak berlaku untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana denda
paling banyak kategori III.
d. Penuntutan
terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dilakukan walaupun tersangka
menjadi warga negara Indonesia, setelah tindak pidana tersebut dilakukan
sepanjang perbuatan tersebut merupakan tindak pidana di negara tempat tindak
pidana dilakukan.
e. Warga
negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud tidak dapat dijatuhi pidana mati
jika tindak pidana tersebut menurut hukum negara tempat tindak pidana tersebut
dilakukan tidak diancam dengan pidana mati.
4.
Asas nasionalitas pasif diatur dalam Pasal 5 UU 1/2023 yang
menerangkan bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang berlaku bagi setiap
orang di luar wilayah NKRI yang melakukan tindak pidana terhadap kepentingan
NKRI yang berhubungan dengan:
a.
Keamanan negara atau proses kehidupan
ketatanegaraan;
b.
martabat Presiden, Wakil Presiden, dan/
atau Pejabat Indonesia di luar negeri;
c.
mata uang, segel, cap negara, meterai,
atau Surat berharga yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, atau kartu
kredit yang dikeluarkan oleh perbankan Indonesia;
d.
perekonomian, perdagangan, dan perbankan
Indonesia;
e.
keselamatan atau keamanan pelayaran dan
penerbangan;
f.
keselamatan atau keamanan bangunan,
peralatan, dan aset nasional atau negara Indonesia;
g.
keselamatan atau keamanan sistem
komunikasi elektronik;
5.
Asas Universal, diatur
dalam Pasal 6 UU 1/2023 yang menerangkan bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang
berlaku bagi setiap orang yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang melakukan tindak pidana menurut hukum internasional yang telah
ditetapkan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang. Dan Pasal 7 UU 1/2023
yang menerangkan bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang berlaku bagi setiap
orang yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang penuntutannya diambil alih oleh Pemerintah Indonesia
atas dasar suatu perjanjian internasional yang memberikan kewenangan kepada
Pemerintah Indonesia untuk melakukan penuntutan pidana.
Secara garis besar
asas-asas yang terkandung baik dalam KUHP lama maupun dalam KUHP baru masih
sama hanya berbeda dalam pasal dan menambahkan beberapa pengertian tambahan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan
antara KUHP lama dan KUHP baru secara isi tidak terlalu berbeda namun ada beberapa perbedaan yang terlihat yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat
Indonesia. Dalam KUHP baru ada pidana
pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial yang mana pada KUHP lama hanya ada pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan. Dalam KUHP Lama maupun KUHP baru
memiliki asas yang kurang lebih sama dan tidak ada perbedaan yang mencolok.
DAFTAR PUSTAKA
H.
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Barda
Nawawi Arief, 2008, RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem
Hukum Pidana Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang.
Jonkers,
1987, Hukum Pidana Hindia Belanda, Bina Aksara, Jakarta.
Moeljatno,
1981, Asas-Asas Hukum Pidana, Asdi, Jakarta.
Anonim,
“Perkembangan Aturan Khusus (Special Rules) di luar KUHP”,
http://ikamadewis.wordpress.com/perkembangan-aturan-khusus-special-rulesdi-luar-kuhp/.
https://www.kompas.com/tren/read/2023/03/17/100000065/perbandingan-jenis-sanksi-pidana-di-kuhp-lama-dan-kuhp-baru?page=all#:~:text=Pidana%20bersifat%20khusus%20di%20KUHP,bersifat%20khusus%20yang%20menjadi%20alternatif.
https://www.kompas.com/tren/read/2023/03/08/133000565/sejarah-hukum-pidana-di-Indonesia-dari-sebelum-penjajahan-hingga-berlakunya
https://bplawyers.co.id/2023/01/04/rkuhp-disahkan-apa-saja-yang-baru-terhadap-ketentuanpemidanaan-di-Indonesia/
https://www.hukumonline.com/berita/a/asas-asas-hukum-pidana
https://www.scribd.com/document/647588664/PERBANDINGAN-KUHP-LAMA-DENGAN-KUHP-BARU-2
http://herlindahpetir.lecture.ub.ac.id/files/2012/03/PHI-6-ASAS-HUKUM-PIDANA.pdf