Rabu, 22 Mei 2013

Makalah Perjanjian standar


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hukum Perdata merupakan sekumpulan aturan yang memuat ketentuan bagaimana seseorang bertingkah laku baik di keluarga maupun di masyarakat sekitar. Salah satu aspek dari hukum perdata yang dapat mengatur tingkah laku manusia adalah perjanjian dan pada suatu perjanjian tentu diberlakukan asas pact sunt servanda. Artinya, perjanjian yang lahir akan mengikat para pihak layaknya suatu undang-undang baik perjanjian yang berasal dari kesepakatan bersama maupun yang berasal dari kesepakatan salah satu pihak dalam perjanjian (perjanjian standar). Perjanjian atau persetujuan yang termuat pada Buku III Bab II pasal 1313-pasal 1352 KUHPerdata merupakan hal yang sangat sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari baik di pasar, di sekolah, bahkan di dunia pekerjaan.
Menurut sejarah, Perjanjian Standar (Baku) sebenarnya sudah dikenal sejak zaman yunani kuno (423-347 SM), Revolusi Industri yang terjadi di awal abad ke-19 telah menyebabkan munculnya perjanjian atau kontrak baku. Awalnya, timbulnya produksi massal dari pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan tidak menimbulkan perubahan apa-apa. Tetapi ”standardisasi” dari produksi ternyata membawa desakan yang kuat untuk pembakuan dari perjanjian-perjanjian.[1] Hampir 99 persen perjanjian yang di buat di Amerika serikat berbentuk perjanjian standar begitu juga di Indonesia perjanjian standar bahkan merambah ke sektor properti dengan cara-cara yang secara yuridis masih kontroversional misalnya, di perbolekan membeli satuan rumah susun secara inden dalam bentuk perjanjian standar.[2]
Dewasa ini, perkembangan dunia bisnis semakin meningkat termasuk di dalam maupun di luar negeri. Dengan perkembangan demikian, pengusaha-pengusaha tentu memiliki cara tersendiri untuk mengembangkan bisnis yang dikelola dengan baik. Di Indonesia sendiri, dengan berkembangnya dunia bisnis berdampak pula pada peningkatan ekonomi dan stabilitas negara sehingga kelak dapat menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan rakyat. Peningkatan usaha saat ini menimbulkan akibat meningkatnya perjanjian dengan syarat-syarat yang telah ditentukan terlebih dahulu bahkan sebelum perjanjian disepakati oleh pengusaha. Untuk mengatur syarat-syarat tersebut, pihak pengusahalah yang secara sepihak berperan aktif. Hal ini karena pengusaha berada pada posisi lebih superior daripada konsumen ataupun perjanjian standar ini sering digunakan antara golongan ekonomi kuat dengan ekonomi lemah.
Adanya syarat-syarat (klausula) sepihak tersebut tentunya menguntungkan pengusaha ataupun pihak lebih tinggi kedudukannya dibandingkan pihak lain dalam perjanjian. Akan tetapi bagi konsumen, justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu, menerima walaupun dengan berat hati. Perjanjian standar diterima oleh para pengusaha umumnya dan dijadikan model perjanjian tidak hanya di negara-negara maju, melainkan juga di negara-negara berkembang sebagai dasar prinsip ekonomi, yaitu, dengan usaha sedikit mungkin, dalam waktu sesingkat mungkin, dengan biaya seringan mungkin, dengan cara sepraktis mungkin, memperoleh keuntungan sebesar mungkin.
 Dalam hubungan hukum sesama pengusaha, perjanjian standar hampir tidak menimbulkan masalah apapun karena mereka berpegang pada prinsip ekonomi yang sama dan menerapkan sistem bersaing secara sehat dalam melayani konsumen. Namun, yang sering menjadi masalah dengan adanya perjanjian standar ini yaitu kemampuan konsumen untuk memenuhi syarat-syarat yang dibuat oleh pengusaha tidak selalu sama. Misalnya, banyak tempat jual beli barang kredit menetapkan harga cicilan per bulan dengan bunga yang cukup tinggi sehingga memberatkan konsumen dalam melaksanakan kewajibannya. Meskipun demikian, bentuk perjanjian ini tetap hadir di tengah-tengah masyarakat dan tetap dilaksanakan oleh masyarakat. Fenomena ini didukung dengan benyaknya kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi dan bergesernya pola hidup masyarakat dari barang yang dulunya sekunder sekarang menjadi primer sehingga mau tidak mau harus dipenuhi.



B.     Permasalahan
Permasalahan yang ingin dijawab melalui penulisan ini adalah :
1.      Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi pendorong berkembangnya perjanjian standar ?
2.      Bagaimanakah asas kebebasan berkontrak jika dikaitkan dengan  perjanjian standar ?



















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.       Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian
  1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian merupakan terjemahan dari kata yang berasal dari bahasa belanda yaitu overeenkoms[3]t yang berarti setuju atau sepakat. Dalam kepiustakaan hukum Indonesia tidak ada kerseragaman menghenai istilah untuk menerjemahkan apa arti dari overeenkomst tersebut. Ada yang menerjemahkan dengan perjanjian dan ada pula yang menerjemahkan dengan perjanjian dan ada pula yang menerjemahkan dengan persetujuan. Namun, dalam penulisan hukum kali ini, penulis menggunakan istilah perjanjian dengan alasan  bahwa persetujuan hanya merupakan bagian dari perjanjian karena salah satu syarat pokok perjanjian adalah adanya persetujuan, kata sepakat, perseusian kehendak atau consensus para pihak.
KUH Perdata secara eksplisit memberikan definisi mengenai apa arti dari perjanjian. Dalam ketentuan pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa :
“suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan  mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Banyak pakar yang mengkritik definis perjanjian yang diberikan oleh pasal 1313 KUH Perdata karena pengertian perjanjian yang diberikan dinilai di stau pihak terlalu sempit dan di lain pihak terlalu luas. Dikatakan terlalu sempit karena dalam kalimat “..dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya..” dapat disimpulkan seolah-olah perjan jian hanyalah perbuatan satu pihak saja, padahal dalam perjanjian haruslah terdapat unsure saling mengikatkan diri antara pihak berdasar consensus. Sedangkan dikatakan terlalu luas karena dalam kalimat “..suatu perbuatan..” dapat disimpulkan seolah-olah tidak memberikan batasan atau ruang lingkup bentuk perbuatan seperti apa yang dapat menimbulkan perjanjian
Oleh karenanya, kemudian Prof. Soedikno Mertokusumo berpendapat bahwa perjanjian bukanlah suatu perbuatan hukum melainkan hubungan hukum yang terjadi antara dua orang yang bersepakata untuk menimbulkan akibat hukum.[4]
Sehingga dengan demikian pengertian yang diberikan oleh Prof. Soedikno Mertokusumo inilah yang kemudian digunakan oleh praktisi dan akademisi dalam memberikan batasan pengertian perjanjian.
  1. Unsur-unsur Perjanjian
Dalam suatu perjanjian nterdapat pokok perjanjian yang merupakan unsure pembentuk perjanjian. Perjanjian mempunyai 3 unsur yaitu :
a.       Unsur Essentialia
Unsur Essentialia adalah unsure yang mutlak harus ada di dalam suatu perjanjian. Tanpa adanya unsure tersebut, perjanjian tidak mungkin ada.
b.      Unsur Naturalia
Unsur naturalia adalah unsure yang lazimnya melekat pada perjanjian, yaitu unsure yang tanpa diperjanjikan khusus dalam perjanjian secara diam-diam pun telah melekat pada perjaanjian. Mislanya penjual harus menjamin pembeli terhadap cacat-cacat tersembunyi.[5]
c.       Unsur Accidentalia
Unsur accidentalia adalah unsure yang harus tegas dinyatakan dalam perjanjian. Jika keberadaan unsure accidentalia ini tidak ditegaskan maka klausula dari unsure accidentalia tidak tercantum dengan sendirinya dalam perjanjian.
C.    Asas – asas Perjanjian
Pada hukum  perjanjian, sebagai bagian  dari lapangan hukum privat/perdata dapat ditemukan beberapa asas baik yang berhubungan dengan saat lahirnya perjanjian, isi perjanjian, kekuatan mengikatnya perjanjian maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian. Asas-asas hukum tersebut meliputi :
1.      Asas Konsensualisme
Konsensualisme berasal dari kata bahasa latin “consensus” yang berarti sepakat. Asas ini berkaitan erat dengan lahirnya suatu perjanjian. Dengan kata lain, perjanjian tersebut telah lahir cukup berdasar kata sepakat antara para pihak yang membuat perjanjian. Konsensualisme di sini haruslah mengenai objek yang diperjanjikan.
Menurut Subekti, kesepakatan yang dimaksud adalah bahwa antara pihak=pihak yang bersangkutan tercapai suatu pertemuan atau persesuaian kehendak, yakni apa yang dikehendaki oleh yang satu juga dikehendaki oleh pihak lain.[6]
2.      Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak berkaitan dengan isi, bentuk, dan jenis perjanjian. Asas ini merupakan asas yang utama di dalam suatu perjanjian yang terbuka, maksudnya bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja (semua perjanjian) dan dengan siapa saja.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi hal-hal sebagai berikut :
-          Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian
-          Kebebasan untuk memilih pihak dengan siap akan membuat suatu perjanjian
-          Kebebasan untuk menentukan causa dari perjanjian yang dibuatnya
-          Kebebasan untuk memilih objek perjanjian
-          Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan Undang-Undang yang bersifat opsional (aan vulled optional).[7]


3.      Asas Pacta Sunt Servanda
Asas Pacta Sunt Servanda ini berkaitan dengan akibat hhukum yang ditimbulkan dari suatu perjanjian. Selain itu, asas ini juga dikenal sebagai asas kepastian hukum. Asas ini berarti bahwa para pihak yang terkait dalam perjanjian terikat oleh kesepakatan yang telah dibuat seperti layaknya Undang-Undang.
Prof. Soedikno Mertokusumo mengemukakan bahwa sudah selayaknya suatu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dipatuhi oleh kedua belah pihak.[8] Apabila salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakan prestasi, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pemenuhannya melalui jalur litigasi yang berlaku.
4.      Asas Itikad Baik
Asas Itikad baik atau goode trouw ini berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian. Itikad baik dalam hal ini memiliki dua pengertian, yaitu :
-          Itikad baik dalam arti subjektif
Dapat diartikan sebagai kejujuran seorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Hal tersebut merupakan sikap batin seseorang sejak dimulai atau pada awal perjanjian.
-          Itikad baik dalam arti objektif
Dapat diartikan bahwa pelaksaan perjanjian haruslah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
5.      Asas Kepribadian
Asas Kepribadian ini terdapat dalam pasal 1315 KUHPerdata yang menyatkan bahwa “pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta diterapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri.” Ketentuan tersebut dipertegas pula dengan pasal 1340 ayat (1) KUHperdata yang berbunyi “suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.”
Namun terdapat pengecualian terhadap asas kepribadian ini, yaitu sebagimana diatur dalam pasal 1317 KUHPerdata dan diperluas dalam pasal 1318 KUHPerdata. Pasal 1317 KIUHPerdata menyebutkan bahw aperjanjian yang memuat suatu hak atau kepentingan pihak ketiga tidak dapat ditarik kembali, apabila pihak ketiga tersebut menyatakan kehendaknya untuk mempergunakannya. Sedangkan pasal 1318 KUHPerdata dimaksudkan bahwa suatu perjanjian dapat dianggap perjanjian juga untuk para ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali ditetapkan lainsecara tegas atas kesimpulan  dari sifat perjanjian. Hal ini berlaku untuk perjanjian yang jangka waktunya lama.
D.    Syarat Sah Perjanjian
Suatu perjanjian akan dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Adapun syarat-syarat itu, yaitu :
a.       Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b.      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
c.       Suatu hal tertentu;
d.      Suatu sebab atau causa yang halal.
Dari keempat syarat tersebut, syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif. Apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian itu dapat dibatalkan (Vernietigbaar atau). Sedangkan, syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif. Apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian itu akan batal demi hukum (nietig atau null) karena mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Dalam hal ini perjanjian dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi.
Selanjutnya syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dapat diuraikan sebagai berikut :
a.       Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri
Seorang dikatakan telah memberi kesepakatannya jikalau memang orang tersebut menghendaki apa yang disepakatinya. Sepakat itu sendiri sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak dimana kehendak orang yang satu saling mengsisi terhadap apa yang dikehendaki pihak lain.[9]
Namun, pemberian kespakatan tersebut tidaklah diperbolehkan mengandung cacat kehendak (wielsgebreg). KUHPerdata memberikan batasan mengenai cacat kehendak yang dapat terjadi dalam 4 hal, yaitu :
-          Adanya kekhilafan (dwang);
-          Adanya paksaan (dwalling);
-          Adanya penipuan (bedrog).
Satu hal lain yang dapat mengakibatkan cacat kehendak namun tidak diatur secara jelas dalam KUHPerdata yaitu Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstaandigheid).
b.      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Pada asasnya setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian kecuali yang ditentukan oleh Undang-Undang dinyatakan tidak cakap. Hal tersebut secara jelas diatu dalam KUHPerdata dalam pasal 1329. Orang yang tidak cakap menurut KUHPedata adalah :
-          Orang yang belum dewasa
Berdasarkan pasal 1330 ayat (1) KUHPerdata yang termasuk orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berusia 21 tahun atau belum menikah. Pasal 47 UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan batas usia dewasa adalah 18 tahun. Dan UU No. 30 tahun 2004 tentang jabatan notaries juga menyatakan bahwa usia minimal seseorang boleh menghadap ke notaries yakni 18 tahun atau telah menikah.
-          Orang yang berada di bawah pengampuan
Orang – orang yang berada di bawah pengampuan adalah setiap orang yang telah dewasa tetapi dalam keadaan lemah pikirannya. Contohnya adalah pemboros dan pemabuk.
c.       Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian adalah objek perjanjian. Objek perjanjian ialah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu.
Pasal 1333 ayat (1) dan ayat (2) KUHPerdata telah menentukan suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi larangan bahwa jumlah barang tidak tertentu, asal jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Hanya barang yang dpaat diperdagangkan saja yang menjadi objek perjanjian.
d.   Suatu sebab yang halal
Sebab merupakan terjemahan dari oorzak (Belanda) dan causa (Latin). Sebab adalah sesuatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian. Maksud dari sebab yang halal bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan dalam arti yang mendorong seseorang untuk membuat perjanjian, namun sebab dalam arti tujuan  yang hendak dicapai oleh para pihak.
Sesungguhnya, tidaklah diperbolehkan suatu perjanjian mengandung sebab yang palsu, yaitu sebab yang digunakan untuk menutupi keadaan atau fakta yang sebenarnya. Atau juga sebab  yang terlarang, yaitu sebab yang bertentangan dengan Undang-Undang, Ketertiban Umum, dan Kesusilaan.




II.   Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian Standar

A.      Pengertian Perjanjian Standar
Perjanjian baku atau disebut juga perjanjian standar, merupakan suatu perjanjian yang didalamnya terdapat beberapa hal yang dibakukan yang meliputi model, rumusan, dan ukuran. Menurut Sutan Remy Sjahdeini perjanjian baku ialah perjanjian yang hampir semua klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pihak yang membuat klausula tersbut, sehingga pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh notaris dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klusul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itu pun adalah perjanjian baku.[10]
Sedangkan Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.[11] Secara tradisional suatu perjanjian terjadi berlandaskan asas kebebasan berkontrak diantara dua pihak yang mempunyai kedudukan yang seimbang dengan kedua belah pihak berusaha untuk mencapai kata sepakat melalui proses negosiasi diantara mereka. Dalam perkembangannya, banyak perjanjian di dalam transaksi bisnis terjadibukan melalui proses negosiasi yang seimbang diantara para pihak. Salah satu pihak telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang sudah ada, kemudian disodorkan kepada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainnya untuk melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan. Perjanjian yang demikian ini disebut juga perjanjian baku atau perjanjian standar atau perjanjian adhesi.[12]
Adapun pengertian perjanjian standar ini, para ahli telah mencoba memberikan perumusannya yakni antara lain : perjanjian standart ialah konsep janji-janji tertulis, disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah tak terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu. Sedangkan menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian standar adalah perjanjian yang isinya dibakukan, dan dituangkan dalam bentuk formulir.
B.       Sejarah Lahirnya Perjanjian Standar/Baku (Standard Agreement)

Perjanjian standar/baku berasal dari istilah dalam bahasa Belanda yaitu “standard voorwaarden”. Berbeda halnya di Jerman, mereka mempergunakan istilah “Allgemeine Geschafts Bedingun”, “standard vertrag”, atau “standaardkonditionen”. Sedangkan Hukum Inggris menyebutnya dengan “standard contract”. Mariam Darus Badruzaman (1994: 46), menerjemahkannya dengan istilah “perjanjian baku”, di mana baku berarti patokan, ukuran, acuan. Oleh karenanya jika bahasa hukum dibakukan, berarti bahwa hukum itu ditentukan ukurannya, patokannya, standarnya, sehingga memiliki arti tetap yang dapat menjadi pegangan umum.
Menurut sejarah, Perjanjian Standar (Baku) sebenarnya sudah dikenal sejak zaman yunani kuno (423-347 SM). Itu artinya perjanjian baku telah terlebih dahulu dikenal jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka. Kemudian revolusi Industri yang terjadi di awal abad ke-19 lah yang menggerakkan dan mempengaruhi munculnya perjanjian atau kontrak baku. Pada awalnya, timbulnya produksi massal dari pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan tidak menimbulkan perubahan apa-apa. Namun seiring berjalannya waktu, jumlah produksi yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan tersebut semakin meningkat. Hal ini mau tidak mau memaksa para pihak yang terkait untuk menetapkan ”standardisasi” terhadap produksi barang/jasa yang bersangkutan. Timbulnya desakan yang kuat, menuntut dibuatnya pembakuan dari perjanjian-perjanjian.
Di Amerika serikat, hampir 99% (sembilan puluh sembilan persen) perjanjian yang di buat adalah dalam bentuk perjanjian standar, begitu pula di Indonesia. Dan dalam perumusan kontrak suatu perjanjian, dibutuhkan keterampilan redaksional hukum yang hanya dimiliki oleh ahli hukum atau pengacara yang tentunya membutuhkan biaya mahal. Atas dasar itulah maka banyak orang menggunakan perjanjian sejenis yang pernah dibuat dan digunakan kemudian dibuat secara massal.21 Perjanjian baku dibuat karena tidak memerlukan waktu yang lama untuk melakukan negosiasi. Jadi kontrak baku muncul dengan latar belakang sosial, ekonomi, dan praktis. Kontrak baku telah digunakan secara meluas dalam dunia bisnis sejak lebih dari delapan pulu tahun. Adanya kontrak baku ini timbul karena dunia bisnis memang membutuhkannya. Oleh karena itu, kontrak baku diterima oleh masyarakat.
Sebenarnya perjanjian standar/baku tidak perlu selalu dituangkan dalam formulir walaupun memang lazimnya di buat secara tertulis, seperti contohnya perjanjian baku dapat di buat dalam bentuk pengumuman yang di tempelkan di tempat penjual menjalankan usahanya.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia yaitu:
1.         Pasal 6.5.1.2 dan Pasal 6.5.1.3 NBW Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut:
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan. Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitia yang ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang. Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara. Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengeahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu. Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
2.         Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut:
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20-pasal 2.22. Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
a.      Tunduk salah satu pihak terhadap kontrak baku.
b.      Pengertian kontrak baku.
3. Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut:
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya. Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti diatas akan bergantung pada isi bahasa dan penyajiannya.
4.        Pasal 2.21 berbunyi :
dalam hal timbul suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.
5. Pasal 2.22 Jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut.
6.      UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7.      UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkam bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.

Menurut Gras dan Pitlo, latar belakang lahirnya perjanjian baku antara lain merupakan akibat dari perubahan susunan masyarakat. Masyarakat sekarang bukan lagi merupakan kumpulan individu seperti pada abad XIX, tetapi merupakan kumpulan dari sejumlah ikatan kerja sama (organisasi). Perjanjian baku lazimnya dibuat oleh organisasi-organisasi perusahaan. Hal inilah yang membuat perjanjian baku sering telah distandardisasi isinya oleh pihak-pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya.
Selama perkembangannya, hampir setengah abad Hukum Perjanjian Indonesia mengalami perubahan, antara lain sebagai akibat dari keputusan badan legislatif dan eksekutif serta pengaruh dari globalisasi. Dari perkembangan tersebut dan dalam praktek dewasa ini, perjanjian seringkali dilakukan dalam bentuk perjanjian baku, dimana sifatnya membatasi asas kebebasan berkontrak. Adanya kebebasan ini sangat berkaitan dengan kepentingan umum agar perjanjian baku itu diatur dalam undang-undang atau setidak-tidaknya diawasi pemerintah.
Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku disebabkan karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan besar, dan perusahaan pemerintah mengadakan kerja sama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka, ditentukan syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawannya (wederpartij) pada umumnya mempunyai kedudukan lemah baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya, dan hanya menerima apa yang disodorkan. Pemakaian perjanjian baku tersebut sedikit banyaknya telah menunjukkan perkembangan yang sangat membahayakan kepentingan masyarakat, terlebih dengan mengingat bahwa awamnya masyarakat terhadap aspek hukum secara umum, dan khususnya pada aspek hukum perjanjian.
Sehubungan dengan sifat massal dan kolektif dari perjanjian baku Vera Bolger menamakannya sebagai “take it or leave it contract”. Maksudnya adalah jika debitur menyetujui salah satu syarat-syarat, maka debitur mungkin hanya bersikap menerima atau tidak menerimanya sama sekali, kemungkinan untuk mengadakan perubahan itu sama sekali tidak ada. Handius merumuskan perjanjian baku sebagai berikut: “Standaardvoorwaarden zijnschriftelijke concept bedingen welke zijn opgesteld om zonder orderhandelingen omtrent hun inhoud obgenomen te worden Indonesia een gewoonlijk onbepaald aantal nog te sluiten overeenkomsten van bepaald aard” artinya: “Perjanjian baku adalah konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimya dtuangkan dalam sejumlah perjanjian tidak terbatas yang sifatnya tertentu”[13].

C.      Macam-macam Perjanjian Standar
Mengenai perjanjian standar ini apabila ditinjau, baik dari segi terjadinya maupun berlakunya dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
1. Perjanjian standar umum
Perjanjian standar umum adalah perjanjian yang mana baik bentuk maupun isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh pihak kreditur kemudian disodorkan kepada pihak debitur. Perjanjian standar ini banyak digunakan oleh masyarakat. Misalnya : Perjanjian pemborongan bangunan, perjanjian pesan cetak photo, dan sebagainya.
2. Perjanjian standar khusus
Perjanjian standar khusus adalah perjanjian yang mana, baik adanya maupun berlakunya bagi para pihak ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah. Oleh karena itu dalam perjanjian standar khusus ini baik bentuk maupun isinya telah ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena itu dalam perjanjian standar khusus ini baik bentuk maupun isinya telah ditetapkan oleh pemerintah, maka formulasi aktanya sudah tertentu atau seragam. Sehingga kepastian hukum atas perbuatan yang dilakukan oleh para pihak sama sekali tidak diberi hak untuk merubah/mengurangi maupun menyimpan isi dari perjanjian itu. Sebab apa yang telah tercantum di dalam akta perjanjian itu dipandang telah memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjanjian standar khusus ini merupakan perjanjian yang mana campur tangan dari pemerintah tampak sangat dominan. Adanya campur tangan dari pemerintah ini merupakan realisasi dari tugas pemerintah dalam suatu negara, memberikan perlindungan terhadap warganya. Contoh perjanjian khusus ini : akta jual beli tanah.


D.      Ciri-ciri Perjanjian Standar
Seiring perkembangan kebutuhan masyarakat, ciri-ciri perjanjian standar berkembang mengikuti kebutuhan dan tuntutan tersebut. Yang sangat menonjol ciri-ciri ini mencerminkan dan mengutamakan prinsip ekonomi dan kepastian hukum. Dengan pembakuan syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi pengusaha lebih terjamin karena konsumen hanya menyetujui syarat-syarat yang disodorkan oleh pengusaha. Sedangkan dari ciri kepastian hukum, ketika terdapat konflik dalam pelaksanaan perjanjian, pihak yang posisinya lebih kuat dapat terlebih dahulu menentukan jenis penyelesaian sengketa manakah yang akan digunakan.
Secara lebih rinci perjanjian baku memiliki ciri-ciri sebagai berikut [14]:
1.  isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat;
2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi    perjanjian;
3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu;
4. Bentuk tertentu (tertulis);
5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.
Berikut penjelasan dari kelima ciri tersebut :
1.      Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat :
dalam suatu perjanjian baku, khususnya dalam perdagangan, pihak yang posisinya lebih kuat adalah pihak pengusaha. Dalam suatu perjanjian baku syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan sendiri secara sepihak oleh pengusaha atau organisasi pengusaha. Karena syarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh pengusaha, maka sifatnya cenderung lebih menguntungkan pengusaha dari pada konsumen. Penentuan secara sepihak oleh pengusaha dapat diketahui melalui format perjanjian yang sudah siap pakai, jika konsumen setuju, maka di tanda tangani perjanjian tersebut.
2.      Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi    perjanjian:
Saat ini untuk menjamin kepastian hukum trend pembuatan perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis. Hal inilah yang mendorong pengusaha lebih kuat kedudukannya untuk merumuskan perjanjian tertulis tanpa ada masukan atau campur tangan dari konsumen. Dalam hal ini syarat kesepakatan sebagai syarat perjanjian diwujudkan dalam bentuk tanda tangan dari konsumen walaupun konsumen tidak ikut serta menetukan isi perjanjian. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang secara sepihak oleh pengusaha akan menguntungkan pengusaha berupa:
a.       Efisiensi biaya, waktu dan tenaga
b.      Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko yang siap diisi dan ditandatangani
c.       Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan/atau menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya
d.      Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.

3.    Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu :
Sebagi pihak yang mempunyai posisi tawar yang lemah maka konsumen tidak dapat mengajukan tawaran dan perubahan terhadap isi perjanjian baku tersebut. Jika konsumen bersedia menerima syarat-syarat perjanjian yang disodorkan kepadanya, maka di tanda tangani perjanjian itu. Penandatanganan tersebut menunjukkan bahwa konsumen bersedia memikul beban tanggung jawab walaupun mungkin ia tidak bersalah dan walaupun pihak konsumen tidak terlibat untuk merumuskan perjanjian itu. Jika konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang disodorkan itu, ia tidak boleh menawar syarat-syarat yang sudah dibakukan itu.[15] Menawar syarat-syarat baku berarti menolak perjanjian. Pilihan menerima atau menolak ini dalam bahasa Inggris diungkapkan dengan ”take it or leave it”.
4.         Bentuk tertulis
Sebagai bentuk untuk menjamin adanya kepastian hukum, maka perjanjian standar/baku seringkali dibuat dalam bentuk tertulis. Bentuk ini memudahkan pengusaha untuk membuktikan kesepakatan dari konsumen. Dengan bentuk tertulis kesepakatan konsumen hanya perlu dibuktikan dari tanda tangan dalam perjanjian sdtandar tersebut. Perjanjian secara tertulis ini dapat berbentuk akta otentik maupun akta dibawah tangan. Karena dibuat secara tertulis maka perjanjian yang memuat syarat-syarat baku itu menggunakan katakata atau susunan kalimat yang teratur dan rapi. Jika huruf yang dipakai kecil-kecil, kelihatan isinya sangat padat dan sulit dibaca dalam waktu singkat. Hal seperti inilah yang seringkali merugikan konsumen, kesalahan membaca syarat perjanjian baku yang ditulis kecil-kecil akhirnya menjadi sumber konflik yang merugikan konsumen di masa mendatang.
5.    Dipersiapkan secara massal dan kolektif :
Biasanya perjanjian standar digunakan dalam perbuatan hukum yang dilakukan oleh banyak orang. Seperti contohnya jual-beli kendaraan bermotor, perjanjian kredit pada bank dan lain-lain. Karena alasan ini seringkali dipersiapkan secara massal dalam jumlah yang besar. Perjanjian standar biasanya juga digunakan oleh perusahaan dibidang perdagangan dan dibuat dalam bentuk yang sama. Format ini dibakukan artinya sudah ditentukan model, rumusan dan ukurannya, sehingga tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa naskah perjanjian lengkap, atau blanko formulir yang dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat- syarat baku.

E.       Cara-cara Penerapan Perjanjian Standar
Sebagaimana kita ketahui bahwa kesepakatan merupakan azas essensial dari hukum perjanjian. Azas konsensualisme ini mengandung arti bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian cukuplah dengan kata sepakat saja. Jadi, perjanjian itu sudah lahir pada saat tercapainya kata sepakat dari para pihak.
Kesepakatan kedua belah pihak, antara kreditur dengan debitur haruslah dinyatakan. Adapun bentuk dari pernyataan itu dapat berupa misalnya kata-kata oke, setuju, akur dan lainnya atau secara bersama-sama menaruh suatu pernyataan tertulis sebagai tanda bukti bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera dalam tulisan.
Pernyataan dari para pihak itu dapat dipakai sebagai tolok ukur adanya kesepakatan, sebab kesepakatan merupakan tuntutan kepastian hakim. Sehingga dengan terpedoman pada apa yang telah dinyatakan akan timbul perasaan dan terlindung dari setiap orang yang telah mengadakan perjanjian, serta para pihak tidak mungkin akan dituntut untuk memenuhi prestasi atau kehendaki dan pihak lawan yang tidak dinyatakan. Sebagai langkah awal untuk terbitnya suatu perjanjian dalam perjanjian standar, lazimnya didahului dengan penawaran dan penerimaan isi/syarat-syarat dan perjanjian antara kedua belah pihak. Jika penawaran dari satu pihak diterima oleh pihak yang lain maka terjadilah kesepakatan, yang berarti bahwa perjanjian yang terbit itu telah mengikat bagi kedua belah pihak. Adapun untuk menyertakan/memberlakukan perjanjian standar ini harus dengan cara-cara tertentu, yaitu:
a.       Penandatanganan Dokumen Perjanjian
Dalam hal ini peraturan standar dari perjanjian tersebut dimuat/dicantumkan dalam rumusan kontrak. Sehingga dengan ditandatanganinya kontrak tersebut, maka para pihak terikat dengan peraturan standar. Mengenai cara penyertaan peraturan standar dengan cara ini maka para peserta telah terikat.
Pada dasarnya,dalam dokumen perjanjian dimuat secara lengkap dan rinci syarat-syarat baku. Ketika membuat perjanjian dokumen tersebut disodorkan kepada konsumen untuk dibaca dan ditandatangani. Dengan penandatanganan itu konsumen menjadi terikat pada syarat-syarat baku (yurisprudensi). Dokumen perjanjian itu dapat berupa naskah perjanjian, formulir permintaan asuransi, formulir pemesanan barang, surat angkutan barang, surat tanda servis, polis asuransi dan sebagainya.
Dalam Perjanjian tertulis, pembuatan perjanjian dapat didahului oleh dokumen permintaan, pemesanan yang diisi oleh konsumen. Atas dasar dokumen ini kemudian oleh pengusaha disiapkan naskah perjanjiannya untuk ditandatangani oleh konsumen yang bersangkutan. Naskah perjanjian ini memuat secara lengkap dan rinci syarat-syarat baku. Banyak nasabah tidak membaca secara rinci syarat-syarat baku sehingga tidak memahami isi perjanjian baku yang disodorkan tersebut atau ada yang membacanya tapi tidak memahami maksud dari klausula-klausula tersebut yang terkadang jumlah lembaran perjanjiannya cukup banyak dan dicetak dengan huruf yang kecil-kecil. Hal demikian seringkali menyebabkan pihak yang disodori untuk menerima syarat-syarat baku tersebut merasa enggan untuk membacanya terlebih lagi apabila harus mempelajari dan memahaminya.


b.    Pemberitahuan Melalui Dokumen Perjanjian
Peraturan standar tersebut diberitahukan pada pihak lainnya untuk dipelajari, dengan jalan pertukaran dokumen atau dipersilahkan membacanya terlebih dahulu. Kemudian setelah pihak lainnya mengetahui/mengerti tentang ketentuan-ketentuan peraturan standar itu barulah kontrak ditandatangani
Menurut kebiasaan yang berlaku, syarat-syarat baku pada dasarnya dicetak di atas dokumen perjanjian yang tidak ditandatangani oleh konsumen, misalnya konsemen, surat angkutan, surat penerimaan, surat pesanan, nota pembelian. Syarat-syarat baku tersebut ditetapkan oleh pengadilan sebagai bagian dari isi perjanjian yang diberitahukan melalui dokumen perjanjian. Dengan demikian, konsumen terikat pada syarat-syarat baku itu. Dalam hal ini tidak dibedakan apakah dokumen perjanjian memuat naskah syarat-syarat baku atau hanya menunjuk kepada naskah syarat-syarat baku. Supaya konsumen terikat pada syarat-syarat baku, dokumen perjanjian harus sudah diserahkan atau dikirimkan kepada konsumen sebelum, atau pada waktu, atau sesudah dibuat perjanjian.
c.       Penunjukan Dalam Dokumen Perjanjian
Artinya dalam perjanjian itu dicantumkan ketentuan-ketentuan bahwa untuk pelaksanaan perjanjian tersebut menunjuk pada berlakunya peraturan standar yang bersangkutan. Mengenai cara panyertaan peraturan standar dengan penunjukan ini lazim dipakai dalam perjanjian pemborongan pembangunan, perjanjian kredit bank dan sebagainya.
Dalam dokumen perjanjian tidak dimuat atau tidak ditulis syarat-syarat baku, melainkan hanya menunjuk kepada syarat-syarat baku, misalnya dalam dokumen jual beli perdagangan ditunjuk syarat penyerahan barang atas dasar klausula FOB atau CIF. Ini berarti bahwa syarat baku mengenai penyerahan barang atas dasar ketentuan FOB atau CIF berlaku dalam perjanjian itu. Selain itu, yurisprudensi juga menetapkan bahwa dengan penunjukan kepada tanda suatu badan atau organisasi berlaku syarat-syarat baku yang ditetapkan oleh badan atau organisasi yang bersangkutan. Misalnya dalam formulir permohonan penutupan asuransi kerugian tertera tanda atau lambang ”Lloyd”, ini berarti bahwa terhadap asuransi kerugian yang dibuat oleh penanggung dan tertanggung itu berlaku syarat-syarat baku yang ditetapkan oleh badan asuransi Lloyd.
d. Pemberitahuan Melalui Papan Pengumuman
Syarat-syarat baku dapat dijadikan bagian dari isi perjanjian dengan cara pemberitahuan melalui papan pengumuman. Melalui pemberitahuan itu konsumen terikat pada syarat-syarat perjanjian yang ditetapkan oleh pengusaha. Untuk itu pengadilan menetapkan bahwa papan pengumuman itu harus dipasang di tempat yang jelas, mudah dilihat, ditulis dalam bentuk huruf dan bahasa yang sederhana, serta mudah dibaca sebelum perjanjian dibuat. Papan pengumuman semacam ini dapat dijumpai pada perusahaan perbengkelan, perusahaan pengangkutan, toko swalayan dan lain-lain.




















BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A.      Faktor Pendorong Berkembangnya Perjanjian Standar
Perkembangan kebutuhan dalam masyarakat akan sesuatu yang instan dan cepat mensyaratkan proses yang cepat pula. Dalam hal melakukan perjanjian sebagai salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan, masyarakat juga semakin ingin proses yang cepat. Hal inilah yang turut memacu berkembanganya perjanjian standar. Perjanjian Standar ini bagai dua sisi koin mata uang. Disatu sisi, dengan adanya perjanjian standar mempercepat proses karena format baku perjanjian tertulis tersebut sudah ada, namun, disisi lain, kadang karena orang ingin sesuatu dengan cepat, dia menjadi tidak berhati-hati dalam menandatangani perjanjian standar tersebut.
Perjanjian standar atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah standard contract, adhesion contract, atau boilerplate contract; sebenarnya sudah ada sejak dulu. E.H. Hondius dalam Comendium Hukum Belanda mengungkapan bahwa:
”Meskipun demikian yang disebut model-model kontrak telah mempunyai sejarah ribuan tahun. Ketika lima ribu tahun yang lalu di Mesir dan negara dua sungai dibuat tulisan-tulisan pertama, hampir pada saat yang sama muncul syarat-syarat kontrak yang dibakukan pertama. sesudah itu di banyak peradaban ada gejala untuk melepaskan formalisme dari model-model kontrak yang ditetapkan oleh para rokhaniawan” 
Hondius juga menyatakan bahwa kebutuhan akan syarat-syarat baku kontrak di Eropa Barat terutama dalam abad kesembilan belas menjadi besar. Kongsi-kongsi dengan peraturan-peraturan yang melindungi mereka, ditiadakan. Revolusi Industri menyebabkan pertambahan jumlah transaksi-transaksi perdagangan. Juga timbulnya konsentrasi-konsentrasi modal yang naik besar, menjadikan pemakaian formulir-formulir baku diperlukan, karena pembuatan transaksi-transaksi penting, sekarang harus diserahkan kepada pejabat-pejabat rendahan, kepada siapa isi kontrak tidak dapat diserahkan. Dalam abad ke 20, pembakuan syarat-syarat kontrak makin meluas.
Pitlo menyatakan bahwa latar belakan tumbuhnya perjanjian baku adalah karena keadaan sosial ekonomi, dimana perusahaan besar, seperti perusahaan yang dimiliki oleh negara dalam mengadakan kerja sama, telah menentukan syarat-syarat sepihak untuk kepentingan mereka. Dapat dilihat bahwa sebenarnya orang-orang sudah menyadari kebutuhan akan perjanjian standar. Banyak negara yang juga telah menyadari pentingnya peraturan mengenai perjanjian standar ini. Konsep perjanjian standar ini sebenarnya berasal dari hukum perdata Perancis, hingga pada akhirnya ”Harvard Law Review” menerbitkan sebuah artikel yang ditulis oleh Edwin W. Patterson pada tahun 1919. Yang kemudian inti dari artikel tersebut banyak diadopsi oleh Pengadilan di Amerika, terutama setelah Supreme Court of California mendukung analisis terkait Perjanjian Standar pada tahun 1962. Dalam Bab 3, ”Unfair Contract Terms Act 1977”, Inggris membatasi penyusun kontrak perjanjian standar untuk menuliskan klausula yang membolehkan pihak untuk bertindak baik sebagian maupun sepenuhnya berbeda dari apa yang bisa diperkirakan dengan akal. Standard Form Contract Act 1982 di Israel, mensyaratkan beberapa kondisi dalam kontrak yang bisa dibatalkan oleh pengadilan; diantaranya yaitu pengecualian dan pembatasan tanggung jawab yang tidak masuk akal, pemberian hak istimewa yang tidak masuk akal, transfer atau pengalihan tanggung jawab. Dalam Article 6.185. Standard Conditions of Contracts, Lithuanian Civil CodeI, dinyatakan bahwa syarat-syarat standar yang disiapkan oleh salah satu pihak, harus mengikat pihak pihak lain, asal ada cukup waktu untuk mengetahui syarat-syarat tersebut, atau dapat dikatakan bahwa pihak lain itu mengetahui dan memahami ketentuan-ketentuan dalam perjanjian standar tersebut.
Perjanjian standar ini juga mulai banyak digunakan di Indonesia sebagai akibat dari pergaulan antar bangsa, khususnya dalam bidang usaha. Hal tersebut diungkapkan oleh Mariam Darus Badrulzaman, bahwa :
”Semakin maju teknologi pengangkutan yang mendekatkan jarak hubungan antar bagian dunia, meletakkan Indonesia dalam jaringan yang mudah dijamah oleh kebiasaan (perdagangan) yang dipergunakan di bagian dunia lain. Masuknya perusahaan-perusahaan asing ke Indonesia juga membawa serta penggunaan perjanjian baku, antara lain dalam perjanjian kontraktor, perjanjian perwakilan, perjanjian pemberian jasa (agreement technical services) dan sebagainya. 
Sejalan dengan pendapat diatas, Johannes Gunawan menyatakan bahwa :
”Perkembangan yang cukup pesat penggunaan perjanjian standard di indonesia dapat di lihat setelah masuknya modal asing sebagai penyerta dalam pembangunan nasional. Sejak itu nampak akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai dikenal perusahaan-perusahaan multi nasional yang demi efisiensi menggunakan perjanjian standard dalam melakukan kegiatan transaksionalnya.”
Dari pendapat-pendapat diatas, dapat disarikan bahwa pada dasarnya, faktor-faktor pendorong adanya perjanjian standar, antara lain :
1.      Kemajuan teknologi.
2.      Meningkatnya hubungan kerjasama antar perusahaan maupun individu.
3.      Kebutuhan akan sesuatu yang harus segera dipenuhi dengan proses yang cepat.
4.      Persamaan atau pengulangan perjanjian dari satu pihak ke pihak lain, yang kemudian untuk memudahkannya, perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk baku.
Sebenarnya ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam perjanjian standar ini, antara lain:
1.    Bahwa format perjanjian ini telah dibuat oleh salah satu pihak yang biasanya kedudukannya lebih tinggi dibandingkan pihak yang lain. Dapat juga dikatakan bahwa perjanjian ini mengabaikan asas kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian. Namun yang perlu dikritisi lebih lanjut adalah ketika pihak yang lain menyetujui perjanjian standar tersebut apakah kemudian juga hal tersebut tidak bisa disebut dengan kebebasan berkontrak.
2.    Bahwa pihak yang lebih rendah kedudukannya dalam perjanjian akan jarang membaca dengan detail dan memahami dengan jelas isi perjanjian standar tersebut. Karena sudah barang tentu perjanjian standar tersebut dirumuskan dalam bentuk yang detail dan dalam bahasa yang tidak mudah dimengerti oleh semua kalangan. Sehingga, karena merasa sudah sangat membutuhkan, pihka yang lebih rendah kedudukannya akan cenderung lebih setuju dengan perjanjian standar yang telah dibuat sebelumnya.
Meskipun demikian, tetap tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan masyarakat yang menuntut segalanya menjadi lebih cepat, menjadi satu alasan kuat tetap ada dan berkembangnya perjanjian standar ini.




B.   Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Standar
1.    Pengertian Asas Kebebasan Berkontrak
Dalam sebuah perjanjian, maka kedua belah pihak hendaknya tidak boleh melupakan apa yang dinamakan dengan asas kebebasan berkontrak. Pada dasarnya, asas kebebasan berkontrak sangat erat kaitannya dengan asas konsesualisme. Asas ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Asas ini mengandung arti “kemauan” (will) para pihak untuk saling berpartisipasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri.  Asas konsensualisme ini menunjukkan adanay pernyataan kehendak atau pernyataan kesepakatan oleh para pihak sebagai syarat mutlak lahirnya perjanjian. Dalam hal ini, pernyataan kesepakatan para pihak itu haruslah terbebas dari tekanan pihak manapun. Oleh karena itu, asas kebebasan berkontrak menjadi erat kaitannya dengan asas konsensualisme ini. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, panacaran hak asasi manusia.
Dalam KUHPerdata sendiri, asas kebebasan berkontrak dapat ditemui dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secar sah berlaku sebagai undang-undnag bagi mereka yang membuatnya.” Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa setiap orang yang telah membuat perjanjian dengan orang lain secara sah, maka kedua belah pihak tersebut harus mematuhi apa yang menjadi isi dari perjanjian tersebut, seperti orang yang mematuhi ketentuan yang ada dalam undang-undang. Dalam hal ini asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1.   Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2.   Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3.   Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya;
4.   Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan;

Bahkan ada juga sumber lain yang menambahkan bahwa kebebasan berkontrak juga termasuk kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian itu sendiri.
Dalam ketentuan di atas, membuat atau tidak membuat perjanjian dapat diartikan bahwa setiap orang mempunyai kebebasan hak untuk membuat sebuah perjanjian tau tidak membuat perjanjian. Dengan kata lain tidak ada kewajiban atau ketentuan yang memaksakan bahwa setiap orang harus membauat atau tidak membuat perjanjian, Selain itu, dalam hal membuat perjanjian, maka seetiap orang tersebut bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa pun. Dalam hal ini kalusul “dengan siapa pun” harus lah orang yang cakap hukum dan tidak di bawah pengampuan. Selain itu, perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tersebut berisi tentang klausul yang ditentukan oleh para pihak, baik itu isi pejanjian, pelaksanaan dan persyaratannya. Namun, ketentuan tersebut harus mengacu tentang syarat sahnya perjanjian sesuai dengan Pasa 1320 KUHPerdata. Dalam ketentuan pasal tersebut disebutkan bahwa perjanjian harus memuat suatu sebab yang halal. Dengan kata lain, ketentuan yang dimuat dalam perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh undang-undang. Jika hal ini ternyata dilanggar, maka perjanjian itu batal demi hukum atau tidak pernah ada sebelumnya. Asas kebebasan berkontrak bukan berarti menghalalkan bagi para pihak untuk mengingkari kontrak yang telah terlebih dahulu terjadi, maksudnya adalah para pihak dapat bebas mengadakan kontrak berdasarkan yang hal-hal yang diperlukan. Selain itu asas ini menjelaskan bahwa orang tidak saja leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, bahkan pada umumnya juga diperbolehkan mengesampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam KUH Perdata. Sistem tersebut biasa disebut dengan sistem terbuka (openbaar system).
2.    Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Standar
Dalam menganalisis mengenai permasalahan di atas, maka perlu diketahui mengenai perjanjian standar/perjjanjian baku itu sendiri. Perjanjian Standar adalah perjanjian yang memuat di dalamnya klausa-klausa yang sudah dibakukan dan dicetak dala bentuk formulir dengan jumlah yang banyak serta dipergunakan untuk semua perjanjian yang sama jenisnya. Perjanjian dibuat oleh para pihak akan tetapi isinya ditetukan oleh salah satu pihak saja. Hal ini menjadi pertanyaan tentang di mana posisi asas kebebasan bertindak dalam hal perjanjian standar atau baku. Untuk dapat membatalkannya perlu menonjolkan apakah dengan kontrak tersebut telah terjadi penggerogotan terhadap posisi tawar-menawar, sehingga eksistensi unsur “kata sepakat” di antara para pihak sebenarnya tidak terpenuhi.
Namun begitu, walupun banyak kelemahannya eksistensi dari perjanjian standar itu sendiri sangat diperlukan terutama dalam bisnis yang melibatkan kontrak dalam jumlah banyak. Adapun kekurangan dari perjanjian standar tersebut adalah kurangnya kesempatan bagi pihak lawan untuk menegosiasi atau mengubah klausula-klausula dalam kontrak.
Sehingga kontrak tersebut sangat berpotensi untuk terjadinya klausula yang berat sebelah. Sementara itu, perjanjian standarpun masih mempunyai kelebihan yakni kontrak tersebut lebih efisien, dapat membuat praktek bisnis menjadi lebih simpel, serta dapat ditandatangani seketika oleh para pihak.
Sebenarnya perjanjian standar itu sendiri tidak begitu menjadi persoalan secara hukum, mengingat perjanjian standar sudah menjadi kebutuhan dalam praktek dan menjadi kebiasaan sehari-hari. Yang menjadi persoalan adalah ketika perjanjian standar tersebut mengandung unsur yang tidak adil bagi salah satu pihak, sehingga apabila hal yang demikian dibenarkan oleh hukum sangat menyentuh rasa keadilan dalam masyarakat.
Pada dasarnya asas kebebasan berkontrak mengutamakan kebebasan dan kesederajatan tiap manusia. Munculnya revolusi industri telah melahirkan perusahaan-perusahaan raksasa yang memegang monopoli dalam segala bidang. Dalam melakukan kegiatannya mereka menggunakan perjanjian standar yang tidak menjadi kebebasan dan kesederajatan individu. Akibatnya asas kebebasan berkontrak yang menjadi cermin dari kebebasan dan kesedarajatan individu kurang atau bahkan tidak digunakan lagi dalam hukum perjanjian.
Namun seiring dengan berkembangnya paham Welfare State menyebabkan semakin besarnya keikutsertaan negara dalam mengatur dan mengelola berbagai lapangan kehidupan masyarakat. Muncullah berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh negara, misalnya tentang perlindungan terhadap buruh yang wajib dimasukkan dalam perjanjian. Gejala ini justru juga mengakibatkan asas kebebasan berkontrak kurang atau bahkan tidak dapat diwujudkan walapun perjanjian tersebut terjadi antar individu. Adanya klausul eksenorasi dalam perjanjian standar semakin menunjukan ketidakbebasan dan ketidak sederajatan para pihak dalam menentukan pemikul resiko,karena klausul eksenorasi disadari atau tidak wajib ditaati oleh debitur.
Jadi pada intinya makna dari asas kebebasan berkontrak harus dihindarkan dari makna bebasnya para pihak untuk membentuk hukumnya sendiri. Para pihak sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk membuat Undang-undang bagi mereka. Mereka hanya diberi kebebasan untuk memilih hukumnya, hukum mana yang hendak digunakan sebagai dasar dari kontrak yang dibuat. Penggunaan perjanjian standar menyebabkan asas kebebasan berkontrak kurang atau bahkan tidak diwujudkan, misalnya:
1.      kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian, karena perjanjian selalu berbentuk tertulis;
2.      kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian, karena dalam perjanjian standart sepihak, timbal balik, maupun berpola, isi perjanjian sudah ditetapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak, organisasi ataupun ahli;
3.      kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian, karena cara pembuatannya sudah ditetapkan oleh pihak, organisasi atau para ahli.

Sementara itu kebebasan-kebebasan yang masih dapat diwujudkan dalam implementasi Asas Kebebasan Berkontrak ini adalah:
1.   kebebasan untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian atau tidak;
2.   kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat suatu perjanjian.
Dalam melihat fenomena asas kebebasan berkontrak ini terdapat dua paham bahwa apakah perjanjian standar tersbut melanggar asas kebebasan berkontrak atau tidak. Paham pertama secara mutlak memandang bahwa perjanjian standar bukanlah suatu perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian adalah seakan-akan sebagai pembentuk undang-undang swasta. Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian. Paham kedua cenderung mengemukakan pendapat bahwa perjanjian standar dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Dengan asumsi bahwa jika debitur menerima dokumen suatu perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.
Kelompok kami sendiri dalam hal ini tidak memihak pada salah satu dari kedua paham tersebut. Di satu sisi penulis lebih melihat bahwa perjanjian standar secara teoretis yuridis bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak dengan tidak terpenuhinya ketentuan undang-undang yang mengatur. Namun di sisi lain tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan yang terjadi mengenai hal ini, dimana dalam kenyataannya, kebutuhan masyarakat cenderung berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum bahkan telah menjadi kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan, dengan mempertimbangkan faktor efesiensi baik dari segi biaya, tenaga dan waktu, dan lainnya. Namun dalam hal ini, penggunaan perjanjian standar ini tidak boleh dibiarkan tumbuh secara liar dan karena itu perlu ditertibkan, dengan pertimbangan utama yaitu pada aspek perlindungan buat debitur/konsumen.
Apabila dikaji lebih dalam tentang bagaimana terbitnya perjanjian standar, secara yuridis tidak memenuhi unsur-unsur yang dikehendaki pasal 1320 jo 1338 ayat 1 KUHPerdata. Selain KUHPerdata dapat juga kita ikuti beberapa pendapat dan paham tentang daya mengikat perjanjian standar. Ada dua paham yang memberikan jawaban terhadap apakah perjanjian standar melanggar asas kebebasan berkontrak atau tidak:
1.      Sluijter mengatakan, perjanjian standar ini bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta. Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian.
2.      Pitlo, mengatakannya sebagai perjanjian paksa (dwang contract), walau-pun secara teoritis yuridis, perjanjian standar ini tidak memenuhi ketentuan UU dan oleh beberapa ahli hukum ditolak. Namun kenyataannya, kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum.
Adapun pendapat lain menyebutkan bahwa perjanjian standar merupakan perjanjian yang sah:
1.      Menurut Stein, bahwa perjanjian standar dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.
2.      Asser Rutten, mengatakan bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggungjawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhi tanda tangan pada formulir perjanjian standar, tanda tangan itu akan membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan telah mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatanganinya, tidak mungkin seorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.
3.      Hondius, berpendapat bahwa perjanjian standar mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.
Dari beberapa paham dan pendapat di atas, pada dasarnya perjanjian standar bertentangan asas kebebasan berkontrak, namun dalam kenyataannya pola atau model perjanjian ini diterima oleh masyarakat, oleh karena itu, perjanjian standar terus dipergunakan oleh berbagai kalangan masyarakat terutama untuk perjanjian yang sifatnya sederhana. Perjanjian yang sifatnya sederhanya adalah transaksi berbisnis yang sifatnya kecil yang sehari-hari dilakukan masyarakat, seperti berbelanja untuk keperluan sehari-hari. Namun, untuk transaksi bisnis yang sifat besar maka diperlukan negosiasi yang mendalam tentang obyek dan harga serta mekanisme kerjasama yang akhirnya melahirkan akte perjanjian.
Teknik pembuatan perjanjian standar didasarkan pada asas kebebasan berkontrak bagi kedua belah pihak. Karena pihak yang merumuskan perjanjian standar itu pihak kreditor, dia memanfaatkan asas kebebasan tersebut dalam menentukan hak dan kewajiban serta tanggung jawab, syarat-syarat dan prosedur pemenuhannya, dituangkan dalam rumusan kontrak yang cenderung menguntungkan kreditor, seperti menggunakan kata “kecuali, eksonerasi, membebaskan dari tanggung jawab”.
Mengenai pemanfaatan asas kebebasan berkontrak oleh pihak kreditor, Sastrawidjaja merujuk pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menjabarkan asas kebebasan berkontrak sebagai bebas membuat perjanjian apa saja, bebas mengatur isinya, bebas mengatur bentuknya, dan semuanya itu dengan ketentuan tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.  Lahirnya perjanjian standar dilatar belakangi oleh perkembangan masyarakat modern dan perkembangan keadaan sosial ekonomi.  Tujuan semula diadakannya perjanjian standar adalah untuk alasan efisiensi dan praktis.
Isi perjanjian standar hanya dirumuskan oleh satu pihak dengan kehendak bebasnya pihak kreditor, tetapi di pihak debitur tidak dapat menyatakan kehendak bebasnya, dengan kata lain tidak ada tawar-menawar mengenai isi kontrak. Pernyataan yang berlaku adalah take it of leave it artinya jika setuju ambil, jika tidak setuju tinggalkan saja. Kondisi seperti ini akan bermanfaat bagi debitur karena kebutuhan atas barang atau jasa yang diinginkan segera akan terpenuhi dan ada kebebasan memilih kualitas barang atau jasa sesuai dengan kemampuan debitur.  Tetapi disisi lain dapat mengakibatkan kedudukan kreditur dan debitur menjadi tidak seimbang dan debitur selalu berada pada posisi lemah. Posisi kuat selalu ada pada pihak kreditor yang meraup keuntungan besar melalui promosi barang dagangannya dengan menerapkan perjanjian standar yang cenderung merugikan debitur.  Syarat-syarat yang lazim terdapat dalam perjanjian standar adalah cara mengakhiri perjanjian, cara memperpanjang berlakunya kontrak, cara penyelesaian sengketa, klausula eksonerasi. Keempat hal tersebut menjadi fokus utama dalam perlindungan konsumen, khususnya pada klausula eksonerasi (exemption clausule) yang berisi ketentuan pembebasan atau pembatasan tanggung jawab pelaku usaha.
Aturan hukum perdata selalu dituangkan dalam bentuk perjanjian standar, asal tidak bertentangan dengan ketentuan perjanjian standar yang diatur oleh UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam UU ini menyebutkan secara tegas secara tegas untuk melarang pelaku usaha yang menawarkan barang dan/atau jasa dengan tujuan untuk diperdagangkan dengan cara mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian yang isinya pada dasarnya bertujuan menguntungkan pihak pelaku usaha dan merugikan pihak konsumen . Ketentuan pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan Klausula baku dimaksud antara lain menyatakan : pengalihan tanggung jawab pelaku usaha, pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; pemberi kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan  segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.











BAB IV
KESIMPULAN

1.      Pada umumnya, faktor pendorong berkembangnya perjanjian standar antara lain:
a.       Kemajuan teknologi.
b.      Meningkatnya hubungan kerjasama antar perusahaan maupun individu.
c.       Kebutuhan akan sesuatu yang harus segera dipenuhi dengan proses yang cepat.
d.      Persamaan atau pengulangan perjanjian dari satu pihak ke pihak lain, yang kemudian untuk memudahkannya, perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk baku.
2.      Dalam hal pembuatan perjanjian standar, asas kebebasan berkontrak masih ada namun pelaksanaannya masih sangat kurang atau tidak dapat dilaksanakan dengan menyeluruh seperti pada perjanjian pada umumnya. Dalam hal ini ada beberapa ketentuan dalam asas kebebasan berkontrak yang disimpangi.Namun, hal itu bukan berarti perjanjian yang dibuat menjadi batal. Adapun ketentuan asas kebebasan berkontrak yang disimpangi tersebut adalah:
a.       Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian
Dalam hal ini bentuk perjanjian standar haruslah tertulis, para pihak tidak boleh menentukan perjanjian standar dalam bentuk lisan. Dengan kata lain, bentuk perjanjian standar itu sendiri telah ditentukan. Padahal asas kebebasan berkontrak memberikan peluang bagi para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian.
b.      Kebebasan untuk menentukan isi perjanjian
Pada umumnya perjanjian standar telah ditentukan oleh salah satu pihak. Sehingga pihak yang satu tidak bisa ikut serta dalam menentukan isi perjanjian. Hal ini juga menegaskan bahwa isi perjanjian dalam perjanjian standar telah ditentukan oleh salah satu pihak saja. Padahal asas kebebasan berkontrak memberikan peluang bagi para pihak untuk menentukan isi perjanjian.
c.   Kebebasan untuk menentukan cara pembuatan perjanjian
Dalam hal ini, cara pembuatan perjanjian juga tidak dapat ditentukan oleh para pihak. Biasanya, perjanjian ini akan lahir ketika salah satu pihak menerima dan membubuhkan tanda tangan dalam akta atu formulir perjanjian standar. Padahal asas kebebasan berkontrak memberikan peluang bagi para pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.

Namun dalam perjanjian standar, asas kebebasan berkontrak yang dapat diwujudkan antara lain:
a.       Kebebasan untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian atau tidak.
Dalam hal ini, pihak yang akan membuat perjanjian masih memiliki kebebasan untuk memutuskan membuat suatu perjanjian atau tidak.
b.      Kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat suatu perjanjian
Ketentuan ini memberikan pilihan pihak-pihak dengan siapa dia akan membuat perjanjian. Dengan kata lain, jika salah satu pihak telah setuju untuk membuat suatu perjanjian dengan pihak yang telah merumuskan ketentuan dalam perjanjian standar, maka pihak tersebut dianggap telah setuju untuk membuat perjanjian dengan pihak yang merumuskan perjanjian standar tersebut.




[1] Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, cet. 3,Kencana, Jakarta,2006, hlm. 204
[2] Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2005, hlm. 146

[3] Salim,H.S, 2002, Teori dan Praktek Penyusunan Kontrak, PT. Rajawali, Mataram, Hal 29
[4] Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, Hal 118
[5] Sudikno, Mertokusumo, Op.cit, Hal 119
[6] Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta,
[7] Sutan Remy Sjahdeini, 1991, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian  Kredit Bank di Indonesia, PT. Intermasa, Jakarta, Hal 47
[8] Sudikno, Mertokusmo, Op. Cit , hal 99
[9] J. Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal 117
[10] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir indonesia, 1993), hal.66
[11] Mariam Darus Badrulzaman dalam Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo. Jakarta. 2000, hal 119.
[12]  Sutan Remi 65-66
[13] (Mariam Darus Badruzaman 1994: 47)
[14] Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di Indonesia, Bandung, Alumni, 1980, hlm. 11.
[15] Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Cet. 1, hlm 7.