A.
TINJAUAN
UMUM MENGENAI PERJANJIAN
1. Pengertian
dan Tempat pengaturan Perjanjian
Perjanjian diatur dalam Buku III Bab II KUHPerdata
Pasal 1313, bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa pengertian
tersebut diatas belum lengkap dan terlalu luas, sehingga terdapat beberapa
kelamahan. Kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya menururt Abdulkadir
Muhammad, sebgai berikut :[3]
a. Hanya
menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya dengan satu orang atau lebih lainya”. Kata
“mengikatkan” sifatnya datang dari satu orang saja tidak dari kedua belah
pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi didalamnya
terjadi konsensus.
b. Kata”perbuatan”
telalu luas, karena dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan
melaksanakan tugas tanpa kuasa(Zaakwarneming),perbuatan
melawan hukum(onrechtmatigedaad) yang
tidak mengandung sauatu konsensus. Seharusnya memakai kata “perbuatan Hukum”
c. Pengertian
perjanjian terlalu luas, kaarena mencakup juga perlangsungan perkawinan,yaitu
janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksudkan
adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja.
Perjanjian yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata sebenarnya hanyalah
perjanjian yang bersifat kebnendaan, bukan yang bersifat personal.
d. Tidak
adanya penyebutan tujuan diadakanya perjanjian, sehingga para pihak yang
mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.
Oleh karena itu, beberpa ahli hukum
mengemukakan pendapatnya untuk menyempurnakan pengertian perjajian tersebut,
diantaranya sebagai berikut :
a. Abdulkadir
Muhammad, mengemukakan “perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua
orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatau hal dalam
lapangan harta kekayaan”.[4]
b. Subekti,mengemukakan
“perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.[5]
Menurut Subekti, perjanjian itu merupakan rangkaian perkataan yang mengandung
janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Pengertian ini
mengandung kelemahan karena suatu peristiwa belum tentu selalu dikehendaki.
Padahal alam perjanjian, akibat hukumyang timbul memang dikehendaki oleh para
pihak, selain itu kata “... utuk melaksanakan suatu hal..” juga kurang jelas
menunjukan mengenai hal apa. Kekurangjelasan ini dapat menimbulkan anggapan
tidak adanya akibat hukum dari hal yang dikehendaki orang untuk dilakukannya.
c. Sudikno
Mertokusuma mengemukakan “ perjanjian adalah hubungan hukum antar dua pihakatau
lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum yaitu
menimbulkan hak dan kewajiban”. Kesepakartan yang telah terjadi tersebut harus
dipatuhi oleh kedua belah pihak, jika dilanggar maka ada akibat hukum atau
sanksi.[6]
Berbagai pengertian tentang perjanjian
diatas mengambarkan bahwa para pakar hukum belum mempunyai kesatuan pendapat
mengenai pengertian suatu perjanjian. Ada yang menyebutkan perjanjian sebagai
perbuatan,suatu peristiwa, dan ada juga yang menyebutnya sebagai hubungan hukum.
Akan tetapi dalam penulisan hukum yang dilakukan penulis, penulis menggunakan
pendapat yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo.
2. Asas-
asas hukum dalam perjanjian
Asas
hukum merupakan latar belakang dari peraturan konkrit yang terdapat didalam dan
dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan
dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat dikemukakan dengan
mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.[7]
Didalam
Buku III KUHPerdata terdapat banyak asas hukum tetapi yang berkaitan erat
dengan perjanjian ada 5 (lima) asas yaitu, sebagai berikut :
a. Asas
Konsensualisme
Konsnsualisme
berasal dari abhasa latin consensus yang
berarti “ kata sepakat”. Keberadaan asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1320
KUHPerdata bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kata sepakat. Dalam
pasal tersebut tidak disebutkan secara formalitas tertentu disamping
kesepakatan yang sudah dicapai. Hal tersebut menunjukan bahwa perjanjian sudah
sah dalam arti mengikat apabilaa tercapainya suatu kesepakatan mengenai hal-hal
poko dalam perjanjian itu.
Subekti
menjelaskan bahwa yang dimaksud kesepakatan adalah bahwa antara pihak-pihak
yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, yakni apa yang
dikehendaki oleh salah satu pihak juga dihendaki oleh pihak yanglain. Kedua
belah pihak dengan mengucapkan perkatan tanda sepakat aatau bersama-sama
menanda tanganain peryantaan-peryataan yang telah dibuat tersebut secara
tertuli sebagai tanda bukti bahwa kedua belah pihak telah setuju dengan segala
apa yang tertera dalam penulisan tersebut.
Berkaita
dengan asa konsnsualisme ini terdapat beberapa pengecualian, yaitu terhadaap :
1) Perjanjian
formil, yaitu perjanjian yang untuk terbentuknya diperlukan formalitas tertentu
yang ditentukan dalam undang-undang, seperti perjanjian hibah yang berkaitan
dengan benda tidak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris
2) Perjanjian
riil, yaitu perjanjian yang terbit apabila barang yang menjadi obyek
perjanjaian harus diserahkan dari satu pihak kepihak lainya.contoh perjanjian
riil adalah perjanjian pinjam pakai,perjanjian penitipan barang, dan perjanjian
pinjam mengganti.
b. Asas
Kebebasan Berkontrak
Menurut
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan
dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa
semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan
individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan
individu pula. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk
berkontrak.[8]
Setiap orang
memiliki kebebasn untuk mengadakan dan mengatur isi suatu perjanjian yang
dibuatnya. Perjanjian tersebut berisi tentang hak dan kewajiban dari kedua
belah pihak yang harus dilaksnakan oleh yang mengadakan perjanjian. Menurut
Sutan Remy Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian
indonesia meliputi hal-hal sebgai berikut :[9]
1) Kebebasan
untuk mebuat atau tidak membuat perjanjian;
2) Kebebasan
untuk memilih pihak dengan siapa dia ingin membuat perjajian;
3) Kebebasan
untuk menentukan atau memilih klausula dari perjanjian yang dibuatnya;
4) Kebebasan
untuk memilih objek perjanjian
5) Kebebasan
untuk menerima aatau menyimpangi ketentuan Undang-undang yang bersifat opsional
(aan vulled optional)
Adanya asas kebebasan berkontrak, maka
Buku III KUHPerdata dikatakan bersifat terbuka, maksudnya adalah memungkanya
setiap orang untuk mengadakan perjanjian apapun jufa baik yang sudah ada
peraturanya didalam undang-undang maupun yang belum diatu dalam undang-undang,
sehinggaa memungkinkan lahirnya perjanjian-perjanjian jenis baru.
Sistem terbuka dalam perjanjian
menakibatkan ketentuan-ketentuan dari hukum perjanjian tersebut hanya sebagai
pelengkap. Para pihak dapat menyimpangu ketentuan-ketentuan tersebut apabila
mereka tealah mengaturnya secara lain dalam perjanjian yang dibuat. Ketnetuan
Buku II KUHPerdata hanya berlaku bila para pihak tidak mengatur dalam
perjanjian yang mereka buat. Walaupun dikatakan bebas berkontrak akan tetapi kebeasan
tersebut ada pembatasnya dalam pasal 1337 KUHPerdata yang menyebutkan :” suatu
sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang,atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan, atau ketertiban umum.” Selai pembatasan oleh
pasal 1337 KUHperdata pemerintih juga melakukan pembatasan. Campur tanfan
pemerintah terhadap asas kebebasan berkontrak bertujuan untuk melindungi kaum
yang lemah dari segi sosial ekonomi. Seperti dalam perjanjian kerja dan
terhadap bunga bank.
c. Asas
Pacta Sunt Servanda
Pengertian
pasal ini tersirat pada pasal 1338 KUHPerdata ayat 1 yang menyebutkan “ semua
perjanjian dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Asas ini berarti para pihak yang terkait dengan perjanjian oleh
kesepakan yang termuat dalam perjanjia yang mereka buat, selayaknya
undang-undaang bagi mereka sendiri.
Pasal
tersebut merupakan konsekuensi logis dari ketentuan pasal 1233 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang maupun
perjanjian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pejanjian merupakan sumber
perikatan. Pasal 1338 ayat 2 KAUHPerdata menyatakan “ perjanjaian itu tidak
dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena
alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Sudikno
Mertokusumo menyatakan bahwa sudah seharusnya sesuatu yang telah disepakati
oleh keduabelah pihak dipatuhi pula oleh keduabelah pihak. Apabila salah satu
pihak dalam perjanjian tidak melaksanakan prestasi, maka pihak lain dalam
perjanjian berhak untuk memaksa pemenuhannya melalu jalur litigasi yang
berlaku.
Asas
ini mewajibkan bagi pihak ketiga untuk menghormati perjanjian yang telah dibuat
oleh par pihak sebab melalui asas ini dapat disimpulkan sebuah larangan bagi
pihak ketiga juga termasuk hakim didalamnya untuk mencampuri isi perjanjian.
d. Asas
Iktikad Baik
Asas
ini dapat kita jumpai pada pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang menyebutkan “
suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Berdasarkan asas ini
maka hal-hal yang sudah diperjanjikan oleh
para pihak harus dilaksnakan dengan sebaik-baiknya sedemikian rupa sehingga
tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan,kepatutan dan memenuhi
rasa keadilan untuk kedua belah pihak.
Iktikad
baik dalam hal ini memiliki dua pengertian, yaitu :
1) Iktikad
baik dalam arti subyektif
Pengertian ini dapat
kita jumpai pada pasal 531 KUHPerdata yang menentukan bahwa sipemegang benda
beriktikad baik apabila ia menguasai dengan cara memperoleh hak milik tanpa
mengetahui cacat yang terkandung didalamnya. Iktikad baik dalam hukum benda ini
diartikan sebagai kejujuran atau sikap batin dari pihak tersebut, artinya
apakah yang bersangkutan menyadari atau tahu tindakanya tersebut bertentangan
dengan iktikad baik.
2) Iktikad
baik daalam arti obyektif
Pengertian ini dapat
dijumpai dalam pelaksanaan perjanjian, intinya perjanjian tersebut dilaksanakan
sedemikian rupa sehingga tidak merugikan ke salah satu pihak. Asas iktikad baik
yang terdapat dalam pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata merupakan asas iktikad bai
dengan pengertian obyektif. Asas ini menyebabkan para pihak haruslah
mengidahkan ketentuan mengenai norma-norma kepatutan dan kesusulaan serta harus
berada pada jalur yang benar.
e. Asas
Kepribadian
Pengertian
dapat dilihat pada pasal 1315 KUHPerdata, yang menyatakan : “ pada umumnya tak
seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkanya
suatu janji daripada untuk dirinya sendiri.”
Ketentuan
tersebut kemudian dipertegas pada pasal 1340 ayat 1 KUHPerdata yaitu,” suatu
perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.” Dari ketentuan
tersebut dapat ditari kesimpulan bahwa perjanjian hanya mengukat bagi para
pihak dan tidak mengikat pihak ketiga.
3. Unsur
–unsur Perjanjian
Menurut Sudikno
Mertokusumo unsur yang terdapat dalam perjanjian adalah :[10]
a. Unsur
Essentialia
Unsur ini aadalah
mutlak harus ada agar suatu perjanjian menjadi sah dan merupakan syarat sahnya
pernajia. Syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata sepakat,kecakapan
parapihak,obyek tertentu dan sebab yang halal, contohnya barang dan harga dalam
perjanjian jual beli merupakan unsur essentialia.
b. Unsur Naturalia
Unsur yang lazimnya
melekat pada suatau perjanjian. Aunsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus
dalam perjanjian, secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam
perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian.
Menurut J.Satrio unsur Naturalia merupakan unsur yang dalam undang-undang
diatur,tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti.[11]
c. Unsur
Accidentalia
Unsur yang harus dimuat
atau disebutkan secara tegas dalam perjanjian. Unsur ini merupakan bagian dari
perjanjian yang ditambahan para pihak dalam perjanjian yang dibuat dimana hal
tersebut dibolehlan oleh undang-undang,pilihan tempat tinggal apabila terjadi
sengketa.
4. Syarat
sahnya perjanjian
Perjanjian yang sah
adalah perjanjian yang memenuhi syarat sah perjanjian yang telah ditentukan
oleh undang-undang,sehingga perjanjian tersebut diakui oleh hukumm (legally concluded contract).[12]
Syarat sahnya perjanjian diatur menurut poasal 1320 KUHPerdata. Didalam pasal
tersebut disebutkan syarat sahnya perjanjian adalah :
a. Adanya
persetujuan kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian);
b. Adanya
kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian ;
c. Adanya
suatu hal tertentu, dan;
d. Adanya
sebab yang halal.
Syarat
yang pertama dan yang kedua merupakan syarat subyektif, karena kedua syarat
tersebet mengatur tentang subjek aatau orang yang mengadakan perjanjian,
sedaangnkan syarat yang ketiga dan keempat adalah syarat objektif karena
mengatur tentang perjanjiannya ataupun objek dari perbuatan hukum yang
dilakukan.
Sarat
pertama yaitu tentang persetujuan kehendak adalah adanya kesepakatan, seiya
sekata antara para pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat. Pokok
perjanjian itu berupa objek perjanjian dan syarat perjanjian. Mereka
menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik, misalnya penjual menghendaki
sejumlah harga, sedangkan pembeli menginginkan suatu barang dari penjual.[13]
Persetujuan
kehendak itu bersifat bebas, artinya betul betul atas kesukarelaan pihak-pihak,
tidak ada paksaan dari pihak manapun,tidak ada kekhilafan dan penipuan (pasal
1321, 1322 dan 1328 KUHPerdata). Kekhilafan bisa terjadi bila seseorang
menghendaki sesuatu ternyata kenyataanya tersebut menyimpang karena adanya
salah pengertian.
Kekhilafan
dapat terjadi karena 2 hal. Yaitu :
a. Error in Substansia
Kekhilafan terhadap
hakekat benda yang menjadi obyek perjanjian. Hakekat benda adalah sifat dari
benda yang menjadi obyek perjanjian yang
bagi para pihak merupakan batasan yang sesungguhnya untuk menutup
perjanjian dengan persyaratan yang telah ditetapkan dalam perjanjian tersebut.
b. Error in Persona
Kesalah atau kekhilafan
satu pihak dari siapa yang mengikatkan diri. Alasan untuk menggugat berdasarkan
kekhilafan harus dipenuhi 2 syarat, yaitu :
1) Pihak
lawan mengetahui atau seharunya mengetahui bahwa ia justru melakukan perbuatan
itu berdasarkan ciri-ciri dan keadaan yang keliru tersebut.
2) Dengan
memperhatikan asemua keadaan pihak yang melakukan kekhilafan tersebut
selayaknya dapat dan boleh membuat kekeliruan tersebut.
Sebelum
adanya persetujuan, biasanya mengadakan perundingan( negotiation), yaitu pihak yang satu memberitahukan kepada pihak
yang lain tentang obyek perjanjian dan syarat-syaratnya serta sebaliknya.
Tidak
ada paksaan apabila orang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman,
baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya yang bersifat menakut-takuti,
seperti yang dijelaskan dalam pasal 1324 KUHPerdata. Tidak ada kekhilafan atau
kekeliruan atau kesesatan, apabila salah satu pihak tidak khilaf tentang hal
pokok yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat penting barang yang menjadi
obyek perjanjian, atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.
Syarat
kedua mengenai kecakapan hukum para pihak. Merujuk pasal 1330 KUHPerdata
disebutkan sebagai orang yang tidak cakap melakukan suatu perjanjian :
a. Orang
yang belum dewasa;
b. orang
yang berada dibawah pengampuan
c. orang
perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan Undang-undang dan semua orang kepada
siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.
Pada
umumnya orang akan dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah
dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah pernah menikah. Menurut
KUHPerdata pasal 108 KUHPerdata,seorang perempuan yang bersuami, untuk
mengadakan perjanjian memerlukan bantuan atau izin ( kuasa tertulis) dari
suami. Ketentuan tersebut sekarang ini didalam hukum indonesia sudah tidak
digunakan lagi (dicabut). Sekarang ini wanita bersuami sudah dinyatakan cakap
melakukan perbuatan hukum dan perbuatan hukum yang dilakukan adalah sah dan
perbuatan tersebut tidak dapat dimintakan pembatalan kepada hakim.
Orang
yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul
oleh orang yang mengadakan suatau perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah
pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaanya.
Kedudukannya sma dengan seorang anak yang belum dewasa dan dalam melakukan
perjanjia diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Akibat dari ketidak cakapan
atau ketidakwenangan membuat suatu perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah
dibuat itu dapat dimintakan pembatalanya kepada hakim (voidable).[14]
Syarat
ketiga adalah suatu perjanjian haruslah mengeni hal tertentu, artinya apa yang
diperjanjian hak-hak dan kewajiban keduabelah pihak jika timbul perselisihan[15].
Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan
jenisnya, bahwa barang yang sudah ada atau sudah berada ditangganya siberutang
pada waktu perjanjian disbutkan. Asalkan kemudian dapat diitung atau
ditetapkan.[16]
Akibat todak dipenuhinya syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum.
Syarat
keempat adalah suatau sebab yang halal. Sebab atau causa yang halal dari suatu perjanjian adalah
perjanjian itu sendiri,[17]
pasal 1320 KUHPerdata juga menyebutkan bahwa yang dimaksudakan kausa yang halal
bukanlah yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat oerjanjian, tetapi
“isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh
para pihak. Perjanjian yang berisi causa atau sebab yang tidak halal tidak
diperbolehkan dan jiaka hal tersebtu terjadi maka perjanjian tersebut batal
demi hukum.
5. Bentuk
dan isi perjanjian
Perjanjian dibedakan
menjadi berbagai jenis, yaitu :
a. Berdasarkan
bentuknya, terdiri dari :
1) Perjanjian
lisan
Adalah suatu perjanjia
yang dibuat oleh para poihak dalam wujud lisan atau hanya kesepakatan para
pihak saja
2) Perjanjian
tertulis
Adalah perjanjian yang
dibuat para pihak dalam bentuk tulisan,sering disebut juga sebgai akta. Akta
dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:
a) Akta
otentik, yaitu akta yang dibuat oleh dan/atau dihadapan pejabat umu yang
berwenang untuk itu dan diwilauah dimana akta tersebut dibuat. Pejabat yang
berwenang untuk itu adalah Notaris,PPAT,camat,dan lain – lain
b) Akta
diabawah tangan, yaitu akta yang dibuat oleh para pihak sehingga isinya ditentukan sendiri oleh para
pihak. Perjanjian semacam ini hanya mengikat para pihak dalam perjanjaian saja
tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga. Perbedaan akta otentik
dan akta dibawah tangan adalah dalam hal berlakunya akta tersebut sebgai alat
bukti. Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna sedangkan akta dibawah
tangan merupakan alat bukti yangsah dan tidak sempurna, karena keberadaaanya
bisa saja disangkal oleh salah satu pihak, atau memerlukan alat bukti lain
untuk mendukung akta dibawah tangan.
6. Wanprestasi
dan akibat-akibatnya
Dalam
perjanjia para pihak memiliki kewajiban yang harusa dipenuhi yaitu prestasi.
Prestasi ini merupakan obyek perjanjian yang merupakan kewajiban dari debitur.
Apabila debitur(si berutang) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka
dikatakan ia melakaukan “wanprestasi”. Ia alpa aau lalai atau ingkar janji atau
juga melanggar perjanjian bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak
boleh dilakukanya.
Wanprestasi
berasal dari bahasa belanda yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi (kelalaian
atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam:
a. Tidak
melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukannya;
b. Melaksanakan
apa yang dijanjikan,tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan
apa yang dijanjikan tetapi terlambat;dan,
d. Melakuakan
sesuatu yang menurut perjanjian tidakboleh dilakuakanya.
Untuk dapat dikatakan wanprestasi maka
harus memenuhi syarat-syarat sebgai berikut :
a. Syarat
materiil yaitu berupa kesalahan
Kesalahan mempunyai 2
pengertian, yaitu :
1) Kesalahan
dalam arti luas
Kesalahan dalam arti
luas meliputi kesengajaan dana kelalaian. Kesengaajaaan adalah perbuatan yang diketahuinya
dan akibatnya dikehendaki, sedangakan kelalaian adalah perbuatan dimana
pembuatnya mengetahui kemungkinan terjadinya akibat yang merugikan orang lain
2) Kesalahan
dalam arti sempit
Kesalahan dalam arti
sempit adalah hanya kelalaian saja.
b. Syarat
formiil
Syarat formil berupa
peringatan(somasi) yang berisi pesan dari kreditur agar debitur sesegera atau
pada waktu tertentu yang disebutkan memenuhi prestasinya.
7. Berakhirnya
perjanjian
Berakhitnya
perjanjian dibedakan dengan berakhirnya perikatan, karena suatu perikatan dapat
hapus sedangkan perjanjiansebgai sumbernya masih tetap ada. Suatu perjanjian
pada umumnya berakhir apabila tujuan dari perjanjian itu telah tercapai, yaitu
terpenuhinuya hak dan kewajiban oleh para pihak atau terpenuhinya prestasi yang
diperjanjikan, sebagaimana yang mereka kehendaki bersama dalam mengadakan
perjanjian tesebut.
Ketentuan
pasal 1381 KUHPerdata hanya mengatur tentang berkhirnya suatu periaktan,
padahal berakhirnya perjanjian tidak sama dengan berakhirnya suatu periaktan.
Berakhirnya suatu perikatan belum tentu sama daengan mengakibatkan perjanjian
yang menjadi sumber perikatan itu berakhir. Ada kemungkinan perikatan yang
menjadi sumber perikatan telah hapus tetapi perjanjian yang menjadi sumber
perikatan itu masih ada, misalnua dalam perjanjian jual beli setelah dilakuakn
pembayaran maka perikatan mengenai pembayaran telah hapus, tetapi perjanjian
jual beli itu sendiri belum hapus karena masiha da perikatan yang ainya yaitu
perikatan mengenai penyerahan barang (lavering).
Jika semua perikatan yang timbul dari suatau perjanjian telah hapus semua maka
perjanjian baru akan berakhir.
Berakhirnya
perjanjian dapat terjadi dengan cara atau adanya persetujuan para pihak, tetapi
juga dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Ditentukan
dalam perjanjian oleh para pihak, misalkan perjanjaian dengan berlakunya waktu
tertentu.
b. Ditentukan
oleh undang –undanga dengan suatu batas waktu bagi berlakunya perjanjian
c. Undang-undang
menentukan hapusnya perjanjian karena
terjadi peristiwa tertentu, misalnya dalam perjanjian pemberi kuasa,prjanjian
kerja
d. Peryataan
salah satu paihak atau keduabelah pihak dalam perjanjian untuk amenghentikan
perjanjian, misalnya perjanjian sewa-menyewa
e. Putusan
hakim dalam persidangan
f. Persetujuan
para pihak, para pihak setuju perjanjiantelah berakhir, tujuan perjanjian
dianggap telah tercapai.[18]
B.
TINJAUAN
UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA
1. Pengertian
dan Tempat pengaturan Perjanjian kerja
Menurut
KUHPerdata mengartikan perjanjian kerja
sebagai perjanjian perburuhan, yakni dalam
pasal 1601 menyatakan perjanjian kerja adalah perjanjian dengan mana pihak
satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, si
majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima
upah. Perjanjian kerja tersebut diatur dalam pasal 1601 KUHPerdata sampai pasal
1603 KUHPerdata.
Menurut
pasal 1 ayat (15) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pengertian perjanjian
kerja adalah perjanjian antar pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat-syarat kerja,hak dan kewajiban para pihak.
2. Unsur
perjanjian kerja
a. Adanya
Pekerjaan
Dalam
suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjajikan sebgai obyek
perjanjian. Secara umum, “pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus
dilakukan perkerja/atau buruh untuk kepentingan pengusaha sesuai dengan isi
perjanjian kerja.”[19]
Dalam melakukan pekerjaan, pekerja wajib melakukanya sendiri dan hanya dapat
dilakukan oleh orang lain dengan izin dari pemberi kerja.
Hal
ini telah diatur pada pasal 1603 huruf a KUHPerdata, yaitu : “buruh wajib
melakuakan sendiri pekerjaanya,hanyalah dengan izin majikan ia dapat menyuruh
seseorang ketika menggantikanya”
Sifat
pekerjaan tersebut sangat pribadi karena bersangkutan dengan
keterapmilan/keahliannya , sehingga menurut hukum ketika pekerja meninggal
dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum[20]
b. Adanya
upah
Upah
harus ada dalam setiap perjanjian kerja. Menurut pasal 1 angka 30 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa upah adalah hak pekerja tau buruh yang
diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau
pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut
suatau perjanjian kerja, kesepakatan ataupun peraturan aperundang - undangan
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Upah meupakan unsur utama yang harus ada dalam setiap
perjanjian kerja. Jika seseorang bekerja dan dalam melaksanakan pekerjaanya
bukan bertujuan untuk mendapatkan upah, hal tersebut sulit dikatakan sebagai
pelaksanaan pekerjaan.[21]
Selain itu, pada prinsipnya pembayaran upah harus diberikan dalam bentuk uang
namun dalam prakteknya berdasar peraturan perundang - undangan, tidak
mengurangi kemungkinan pemberian upah dalam bentuk barang,tetapi juga harus
dibatasi.
c. Adanya
perintah
Perintah
adalah unsur yang paling khas dalam hubungan kerja, yakni pekerjaan yang
dilakukan oleh pekerja / buruh berada dibawah perintah pengusaha. Unsur
perintah ini dapt juga tercantum dalam peraturan tata tertib perusahaan yang
harus dipatuh oleh pekerja/buruh. Dengan adanya unsur perintah maka kedudukan
dari keduabelah pihak menjadi tidak sama, karena kedudukan salah satu pihak
berada diatas(pihal pemberi perintah) dan satu pihak berada dibawah (pihak yang
diperintah). Kedudukan yang tidak sama (hubungan sub-ordinasi) tersebut
merupakan ciri khas dari perjanjian kerja itu sendiri, jika kedudukan sama maka
itu bukanlah perjanjian kerja.
Pakar
perburuhan Belanda, yaitu M.G. Rood menyebutkan bahwa perjanjian kerja harus
memenuhi sebgai berikut :
1) Adanya unsur work atau pekerjaan;
2) Adanya
unsur service atau pelayanan;
3) Adanya
unsur time atau waktu tertentu;
4) Adanya
unsur pay atau upah.
M.
G. Rood menyatakan bahwa pekerja/buruh haruslah tunduk kepada pemberi perintah(
pemberi kerja) dan pekerjaan yang dilakukan haruslah bermanfaat bagi pemberi
kerja oleh karena itu unsur perintah dan unsur pelayanandapat dikatakan sama.[22]
3. Syarat sah perjanjian kerja
Menurut pasal 52 ayat 1
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 perjanjian kerja dibuat berdasarkan :
a. Kesepakatan
keduabelah pihak;
b. Kemampuan
atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. Adanya
pekerjaan yang diperjanjikan;
d. Pekerjaan
yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan
peraturan perundang - undangan yang berlaku.
Kesepakatan keduabelah pihak dan
Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum merupakan syarat subjektif.
Sedangakan Adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan Pekerjaan yang diperjanjikan
tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang -
undangan yang berlaku adalah syarat objektif. Apabila syarat subjektif
dilanggar maka perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan sedangkan apabila
syarat objektif yang dilanggar maka perjanjian kerja otomatis dinyatakan batal
demi hukum.
4. Bentuk dan isi perjanjian Kerja
Didalam pasal 51 ayat 1
UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN nomor 13 tahun 2003 menyatakan bahwa
perjanjian kerja dapat dibuat secara tertuli ataupun lisan
a. Bentuk
perjanjian kerja secara tertulis
Berdasarkan pasal 54
ayat menyatakan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis
sekurang-kurangnya memuat :
1) Nama,alamat,perusahaan,
dan jenis usahanya;
2) Nama,
jenis kelamin,umur dan alamat pekerja/buruh;
3) Jabatan
atau jenis pekerjaan;
4) Tempat
pekerjaan;
5) Besarnya
upah dan cara pembayaran;
6) Syarat-syarat
kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha/pemberi kerja dan pekerja/buruh
7) Mulai
dan jangka waktu berlakunya perjanjian
8) Tempat
dan tanggal perjanjian kerja dibuat, dan
9) Tanda
tangan para pihak dalam perjanjian kerja
b. Bentuk
perjanjian kerja secara lisan
Berdasrkan
pasal 63 ayat 1 dan 2 d, yakni didalam perjanjian kerja yang dibuat secara
lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja atau buruh
yang berasangkutan. Surat pengangkatan tersebut berisi sekurang-kurangnya
memuat mengenai :
1) Nama
dan alamat pekerja/buruh;
2) Tanggal
mulai bekerja;
3) Jenis
pekerjaan, dan
4) Besarnya
upah.
Pernjanjian
kerja menimbulkan adanya hak dan kewajiban bagi para pihak sebagaimana terjadi
pada perjanjian pada umumnya, kewajiban pengusaha atau pemberi kerja dalam
perjanjian kerja antara lain :
1) Memberikan
pekerjaan(perintah kerja)
Pengusaha wajib
memberikan pekerjaan yang berupa perintah untuk melakukan suatu pekerjaan.
2) Membayar
upah
Berdasarkan
pasal 1 anka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan upah adalah hak
pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan
dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Upah merupakan
faktor utama yang mendorong kelangsuangan hidup dari pekerja didalam
masyarakat. Dalam dunia perindustrian, upah termasuk bagian dari biaya produksi
pemberi kerja/pengusaha. Selain itu, pemerintah mempunyai kepentingan dengan
standar upah yang ada karena dapat mempengaruhi iklim sosial negara serta
termasuk dalam bagian penting perekonomian seperti halnya kesempatan kerja,
harga, inflasi, produktivitas nasionnal dan lainya.
Membayat
upah merupakan kewajiban sebagai pengusaha baik berdasrkan perjanjian kerja,
peraruran perundang - undangan, kepatutan dan kebiasaan haruslah ditunaikan
atau dibayarkan kepada pekerja/buruh.
3) Memberikan
surat keterangan baik
Memberikan surat
keterangan baik adalah sebuah kewajiban tambahan bagi pengusaha. Surat
keterangein ini diberikan sewaktu berakhirnya hubungan kerja pekerja/buruh
dengan pengusaha/pemberi pekerjaan. Isi dari surat keterangan tersebut adalah :
a) Macam
pekerjaan
b) Cara
melakukan pekerjaan
c) Lama
melakukan pekerjaan
d) Cara
berakhirnya hubungan kerja.
Adapun kewajiban bagi pekerja/buruh
dalam perjanjian kerja adalah sebagai
berikut :
1) Melakukan
suatu pekerjaan
Pekerja atau buruh
wajib mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya dari pengusaha secara
baik. Pekerjaan yang dilakukan pekerja/buruh adalah pekerjaan yang
diperjanjikan sebgaiman tertuang dalam perjajian kerja dan ruang lingkup
pekerjaan dapat dilihat dari perjanjian kerja yang diperjanjikan maupun
kebiasan. Pekerja/buruh harus sudah mengetahui akan pekerjaan yang akan dilakukan sewaktu memulai pekerjaan tersebut.
Pekerjaan yang dilakukannya adalah bersifat pribadi artinya ia harus melakukan
pekerjaan tersebut sendiri kevuali jika pengusaha memberikan izin untuk
dilimpahan selain itu pekerjaan dari pekerja melekat pada pribadi si
pekerja/buruh sehingga apabila pekerja meninggak dunia maka perjanjian kerja
berakhir demi hukum, sehingga orang lain
tidak dapat mewakili ataupun mewarisi pekerjaan tersebut.
2) Menaati
peraturan perusahaan
Pekerja
wajib menaati peraturan perusahaan. Pengaturan perusahaan ini ditetapkan oleh
pengusaha. Hal ini didasarkan pada pasl 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 yang menjelaskan bahwa peraturan perusahaan dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
3) Memabayar
ganti kerugian dan denda
Pekerja bertanggung
jawab akan kerugian yang ditimbulkan karena perbuatanya, pada umumnya kerugian
yang terjadi karena perbuatan dilakuakan dengan senganja ataupun karena
kelalaiannya. Sengaja adalah ketika perbuatanya atau tidak berbuatnya bermaksud
untuk merugikan ataupun sudah mengerti tentang apa yang dilakukan dapat
merugika kepentingan pihak lain, sedangkan kelalaian adalh akibat yang
merugikan pihak lain adalah karena kekurang hati-hatian dari pelaku dalam
melakuakan suatu perbuatan atau pekerjaan sehingga merugikan kepentingan pihak
lain.
4) Bertindak
sebagai pekerja/buruh yang baik
Hubungan kerja akan terjalin
harmonis apabila keduabelah pihak saling melaksanakan hak dan kewajibanya
secara baik. Begitupun halnya tidak kepada mejikan ataupun pengusaha yang harus
berbuat baik tetapi pekerjapun dalam suatu hubungan kerja haruslah menjadi
pekerja/buruh yang baik. Berdasarkan pasal 1603 huruf d KUHPerdata menyatakan
bahwa “ siburuh pada umumnya diwajibkan melakukan, maupun tidak berbuat segala
apa yang didalam keaddan yang sama, patut dilakukan atau tidak dilakukan oleh
seorang buruh yang baik”. Pekerja/buruh juga berkewajiban untuk melaksanakan
apa yang seharunya dilakukan atau tidak dilakukan berdasarkan peraturan perundang
- undangan , kepatutan maupun kebiasaan.[23]
Sebuah hubungan hukum jika ada kewajiban
tentunya akan dibarengi hak, sehingga jika ada kewajiban yang dibebankan kepada
salah satu pihak maka pihak lain akan menerima kewajiban tersebut sebgai hak
pihak lainya dan sebaliknya. Artinya apa yang menjadi hak dari pekerja/buruh
meruopakan kewajiban dari pengusaha,begitupula sebaliknya jika ada kewajiban
dari pekerja/buruh maka akan menjadi hak bagi pengusaha.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas
maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1) Hak
pengusaha / majikan/ pemberi kerja
a. pengusaha
berhak atas pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja atau buruh;
b. pengusaha
berhak untuk membuat peraturan untuk ditaati pekerja;
c. pengusaha
berhak untuk mendapat ganti kerugian atas perbuatan dari pekerja yang melakukan
kesalahan atau kelalaan didalam melakukan pekerjaan;
d. pengusaha
berhak atas kinerja yang baik dari pekerja/buruh.
2) Hak
pekerja/buruh
a. Pekerja/buruh
berhak atas suatu pekerjaan;
b. Pekerja/buruh
berhak menerima upah terhadap apa yang telah dikerjakan
c. Pekerja/buruh
berhak mendapatkan waktu istirahat dan cuti
d. Pekerja/buruh
berhak atas perlindungan dan pengaturan tempat kerja;
e. Pekerja/
buruh berhak mendapat surat keterangan dari pengusaha;
f. Pekerja/buruh
berhak mendapatkan perlakuan baik dari majikan/pengusaha.
5. Macam-macam
perjanjian kerja
Perjanjian kerja
menurut pasal 56 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 terdiri atas :
a. Perjanjian
kerja waktu tertentu(PKWT)
Perjanjian
kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan
pengusaha dalam mengadakan hubungan kerja dibatasi waktu tertentu d yang telah
disepakai. Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat berdasarkan jangka waktu
ataupun berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu. PPKWT diatur dalam
pasal 50 s/d pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
dan lebih spesifik diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP.100/MEN/2004 tentang pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu.
Menurut pasal 1 angka 1 dalam Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/MEN/2004, “ perjanjian kerja waktu
tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalama waktu tertentu atau untuk pekerjan tertentu”.
Berdasrkan pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
perjanjian kerja hanyawaktu tertentu hanya dapat dibuatuntuk pekerjaan yang
jenis dan sifat kegiatannya akan diselesaikan dalam jangka waktu tertentu,
yaitu :
1) Pekerjaan
yang sekali selesai atau sementara sifatnya;
2) Pekerjaan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga ) tahun;
3) Pekerjaan
yang bersifat musiman; atau
4) Pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru,kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan.
Ketentuan lainya adalah jangka waktu
untuk perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dilakukan atas jangka waktu
paling lama 2 ( dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk
jangka waktu paling lama 1( satu) tahun.
b. Perjanjian
kerja Waktu tidak tertentu (PKWTT)
Perjanjian kerja waktu
tidak tertentu dapat disimpulkan dari isi pasal 1602 huruf g KUHPerdata yang
berbunyi, “ jika suatu hubungan kerja tidak ditetapkan berdasarkan perjanjian
atau peraturan perundang-undangan atau hal ini tidak menurut kelaziman, maka
dianggap dibuat untuk waktu tidak tertentu.” . Perjanjian ini dapat mensyaratkan adanya masa percobaan
dengan jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan hal ini sesuai pasal 60 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003. Perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat terjadi karena
:
1) Perjajuan
waktu tertentu tidak dibuat dalam bahasa indonesia dan huruf latin;
2) Perjanjian
kerja waktu tertentu tidak dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifa
atau kegiatan pekerjaanya akan selesai dalam waktu tertentu;
3) Perjanjian
kerja waktu tertentu diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetao;
4) Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu diadakan
untuk lebih dari 2 (dua) tahun dan diperpanjang lebih dari satu kali untuk
jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun;
5) Pengusaha
yang bermaksud memeprpanjang perjanjian kerja waktu tertentu, paling lambat 7
(tujuh) hari sebelum perjanjian kerja untuk waktu tersebut berakhir tidak memberikan maksud secara tertulis kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan;
6) Pembaharuan
perjanjian kerja waktu tertentu diadakan tidak melebihi masa tenttang waktu 30
(tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama.
Pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu ini diadakan lebih dari ( satu)
kali dan lebih dari (dua) tahun.
6. Berakhirnya
perjanjian kerja
Berdasarkan
pasal 61 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa perjanjian kerja
berakhir apabila :
a. Pekerja
meninggal dunia;
b. Berakhirnya
jangka waktu perjanjian kerja;
c. Adanya
putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian hubungan industrial yang
telah memiliki kekuatan huku tetap, atau
d. Adanya
keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peratutan perundang - undangan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Perjanjian
kerja tidaklah berakhir dengan meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas
perusahaan yang disebabkan penjualan,pewarisaan,atau hibah. Jika terjadi
pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja menjadi taanggung jawab pengusaha
baru kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak
mengurangi hak-hak pekerja. Dalam hal pengusaha meninggal dunia maka ahli wari
pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah diadakan perundingan antara
kedua belah piahak, namun halnya ketika pekerja/buruh meninggal dunia maka ahli
waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan
perundang - undangan yang berlaku atau perjanjian bersama.
C.
TINJAUAN
UMUM TENTANG PERLINDUNGAN PEKERJA
1. Pengertian
Perlindungan Hukum
Perlindungan
hukum adalah perlindungan terhadap kepentingan manusia yang dilindungi hukum atau hak agar dalam
pelaksanaan untuk memenuhinya tidak merugikan orang lain melalui kaidah hukum[24]
Philipus
M.hadjon menyebutkan dua macam perlindungan hukum bagi masyarakat, yaitu :
a. Perlindungan
hukum preventif, yaitu perlindungan hukum yang bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa terhadap rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan
keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk
definitif.
b. Perlindungan
hukum represif, yaitu perlindungan huku yang bertujuan menyelesaikan sengketa.[25]
2. Perlindungan
hukum bagi pekerja
Perlindungan hukum
pekerja dapat dilakukan, baik dengan jalan memberikan tuntutan, maupun dengan
jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia,perlindungan fisik dan
teknis serta sosial ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja.
Perlindungan hukum bagi
pekerja mencakup :
a. Norma
keselamatan kerja, yang meliputi keselamatan kerja yang bertalian dengan mesin,
pesawat,alat kerja, bahan daan proses pengerjaannya, keadaan tempat kerja dan
lingkungan serta cara melakukan pekerjaan;
b. Norma
kesehatan kerja, meliputi, pemeliharaan dan mempertinggi derajat kesehatan
pekerja dilakukan dengan cara pemberian obat-obatan, perawatan tenaga kerja
yang sakit,mengatur persediaan tempat,cara-cara dan syarat kerja yang memenuhi
kesehatan perusahaan dan keshatan bagi pekerja untuk mencegah penyakit, baik
akibat pekerjaan atau penyakit umum serta menetapkan syarat kesehatan bagi
perumahan pekerja.
c. Norma
kerja, yang meliputi : perlindungan terhadap tenaga kerja yang bertalian dengan
waktu bekerja,sistem pengupahan,istirahat,cuti,pekerja wanita, anak,
kesusilaan, ibadah menurut agama dan keyakinan masing masing yang diakui
pemerintah, kewajiban sosial kemasyarakatn dan pemeliharaaan kegairahan dan
moril kerja yang menjamin daya guna kerja yang tinggi serta menjaga perlakuan
yang sesuai dengan martabat manusia dan moral.
d. Terhadap
tenaga kerja yang mendapatkan kecelakaan dan/atau menderita penyakit akibat
pekerjaan,berhak atas ganti rugi perawatan dan rehabilitasi akibat kecelakaan
dan/atau penyakit akibat pekerjaan,ahli warisnya berhak mendapat ganti
kerugian.
Menurut imam soepomo, perlindungan hukum
terhadap pekerja memiliki 3 tujuan yaitu :[26]
a. Perlindungan
ekonomis
Perlindungan yang
berkaitan dengan usaha memberikan penghasilan yang cukup memenuhi kebutuhan
sehari-hari dari pekerja dan keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tidak
mampu bekerja diluar kehendaknya
b. Perlindungan
sosial
Perlindungan yang
berkaitan dengan usaha kemasyarakatan yang bertujuan memungkinkan pekerja untuk
mengembangkan perikehidupanya sebgai manusia pada umumnya, sebgai anggota
masyarakat dan anggota keluarga
c. Perlindungan
teknis
Perlindungan ayang berkaitan dengan
usaha untuk menjafa pekerja dari bahaya kecelakan yang dapat timbul oleh
mesin,pesawar atau alat kerja lainya atau oleh bahan yang diolah perushaan.
Macam-macam perlindungan hukum bagi
pekerja tersebtu diatas diklasifikasikan lagi berdasarkan objek-objek
perlindungan hukum yang diberikan bagi pekerja yang tertuang kedalam
pasal-pasal yang diatur dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, diantaranya sebagai berikut :
a. Perlindungan
atas hak-hak dalam hubungan kerja
1) Pasal
5 Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan , setiap tenaga
kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh
pekerjaan;
2)
Pasal 6 Undang-undang nomor 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan , Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan
yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha;
3) Pasal
11 Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan , setiap tenga
kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengenmbangkan kompetensi
kerja sesuai bakat,minat dan kemampuanya melalui pelatihan kerja;
4) Pasal
12 ayat 3 (tiga) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
,setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan
kerja sesuai dengan bidang tugasnya;
b. Perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja ;
Pasal 86 ayat 1 (satu) Undang-undang
nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan , setiap pekerja/buruh mempunyai
hak untuk memperoleh perlindungan atas :
1) Keselamtan
dan kesehatan kerja;
2) Moral
dan kesusilaan; dan,
3) Pengakuan
yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama
c. Perlindungan
tentang upah, jaminan sosial tenaga kerja dan kesejahteraan;
1) Pasal
88 ayat 1 (satu) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ,
setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan;
2) Pasal
99 ayat 1 (satu) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ,
setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial
tenga kerja;
3) Pasal
101 ayat 1 (satu) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh,dibentuk koperasi pekerja/buruh
dan usaha-usaha produktif di perushaan;
d. Perlindungan
atas hak pemutusan hubungan kerja
1) Pasal
61 ayat 5 (lima) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ,
dalam hal pekerja tau buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak
mendapatkan hak-hak sesui dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
hak –hak yang telah diatu dalam perjanjian kerja,peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama;
2) Pasal
156 Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan , dalam hal
terjadi pemutusan hubungan kerja,pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon
dan/atau uang penghargaan mas kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima.
[3] Abdulkadir Muhammad,1992,Hukum perkotaan,PT.Citra Aditya Bakti,Bandung,hal 78
[4] Ibid.
[5] Subekti,1996,Hukum perjanjian, PT.Intermasa :
Jakarta, hlm 1.
[6] Sudikno Mertokusumo ,2005, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),
Liberti, Yogyakarta hlm 177
[7] Sudikno
Mertokusumo,1986, Edisi Keempat Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta
Hal 33
[8] http://hukum.kompasiana.com/2010/08/25/asas-kebebasan-berkontrak-dalam-hukum-perjanjian-di-indonesia-238895.html diakses pada tanggal 8 oktober
2013
[9] Sutan Remy Sjahdeini, 1991, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, PT.
Intermasa; Jakarta, hlm 47
[10] Sudikno Mertokusumo, 1986, Edisi
Keempat Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,hlm
98-99
[11] J.satrio,2001 Hukum Perikatan. Perikatan yang lahir dari
perjanjian, PT.citra Aditya bakti , Bandung, hlm 68
[16] ibid
[18] Setiawan,Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta , Bandung,hlm 69
[19] R.setiawan, Pokok Pokok Hukum Perikatan,bina cipta,bandung hlm 69
[20] Lalu husni,S.H,M.Hum, 2003, Hukum Ketenaga Kerjaa Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta hlm 56
[21] Djumadi,2006, Perjanjian Kerja,Sinar Grafika, Jakarta,
hlm 40
[22] Ibid hlm 35
[24] Sudikno Mertokusumo, 1986, Edisi Keempat Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,hlm.34
[25] Philipus M.Hadjon,1987,
perlindungan hukum bagi rakyat indonesua,bina, hlm 71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar