Senin, 04 November 2013

tinjuan pustaka bab ii skripsiku


A.    TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN
1.      Pengertian dan Tempat pengaturan Perjanjian
Perjanjian diatur dalam Buku III Bab II KUHPerdata Pasal 1313, bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa pengertian tersebut diatas belum lengkap dan terlalu luas, sehingga terdapat beberapa kelamahan. Kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya menururt Abdulkadir Muhammad, sebgai berikut :[3]
a.       Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu orang atau lebih lainya”. Kata “mengikatkan” sifatnya datang dari satu orang saja tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi didalamnya terjadi konsensus.
b.      Kata”perbuatan” telalu luas, karena dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa(Zaakwarneming),perbuatan melawan hukum(onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung sauatu konsensus. Seharusnya memakai kata “perbuatan Hukum”
c.       Pengertian perjanjian terlalu luas, kaarena mencakup juga perlangsungan perkawinan,yaitu janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksudkan adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebnendaan, bukan yang bersifat personal.
d.      Tidak adanya penyebutan tujuan diadakanya perjanjian, sehingga para pihak yang mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.
Oleh karena itu, beberpa ahli hukum mengemukakan pendapatnya untuk menyempurnakan pengertian perjajian tersebut, diantaranya sebagai berikut :
a.       Abdulkadir Muhammad, mengemukakan “perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatau hal dalam lapangan harta kekayaan”.[4]
b.      Subekti,mengemukakan “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.[5] Menurut Subekti, perjanjian itu merupakan rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Pengertian ini mengandung kelemahan karena suatu peristiwa belum tentu selalu dikehendaki. Padahal alam perjanjian, akibat hukumyang timbul memang dikehendaki oleh para pihak, selain itu kata “... utuk melaksanakan suatu hal..” juga kurang jelas menunjukan mengenai hal apa. Kekurangjelasan ini dapat menimbulkan anggapan tidak adanya akibat hukum dari hal yang dikehendaki orang untuk dilakukannya.
c.       Sudikno Mertokusuma mengemukakan “ perjanjian adalah hubungan hukum antar dua pihakatau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum yaitu menimbulkan hak dan kewajiban”. Kesepakartan yang telah terjadi tersebut harus dipatuhi oleh kedua belah pihak, jika dilanggar maka ada akibat hukum atau sanksi.[6]
Berbagai pengertian tentang perjanjian diatas mengambarkan bahwa para pakar hukum belum mempunyai kesatuan pendapat mengenai pengertian suatu perjanjian. Ada yang menyebutkan perjanjian sebagai perbuatan,suatu peristiwa, dan ada juga yang menyebutnya sebagai hubungan hukum. Akan tetapi dalam penulisan hukum yang dilakukan penulis, penulis menggunakan pendapat yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo.
2.      Asas- asas hukum dalam perjanjian
Asas hukum merupakan latar belakang dari peraturan konkrit yang terdapat didalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat dikemukakan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.[7]
Didalam Buku III KUHPerdata terdapat banyak asas hukum tetapi yang berkaitan erat dengan perjanjian ada 5 (lima) asas yaitu, sebagai berikut :
a.       Asas Konsensualisme
Konsnsualisme berasal dari abhasa latin consensus yang berarti “ kata sepakat”. Keberadaan asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1320 KUHPerdata bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kata sepakat. Dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara formalitas tertentu disamping kesepakatan yang sudah dicapai. Hal tersebut menunjukan bahwa perjanjian sudah sah dalam arti mengikat apabilaa tercapainya suatu kesepakatan mengenai hal-hal poko dalam perjanjian itu.
Subekti menjelaskan bahwa yang dimaksud kesepakatan adalah bahwa antara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, yakni apa yang dikehendaki oleh salah satu pihak juga dihendaki oleh pihak yanglain. Kedua belah pihak dengan mengucapkan perkatan tanda sepakat aatau bersama-sama menanda tanganain peryantaan-peryataan yang telah dibuat tersebut secara tertuli sebagai tanda bukti bahwa kedua belah pihak telah setuju dengan segala apa yang tertera dalam penulisan tersebut.
Berkaita dengan asa konsnsualisme ini terdapat beberapa pengecualian, yaitu terhadaap :
1)      Perjanjian formil, yaitu perjanjian yang untuk terbentuknya diperlukan formalitas tertentu yang ditentukan dalam undang-undang, seperti perjanjian hibah yang berkaitan dengan benda tidak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris
2)      Perjanjian riil, yaitu perjanjian yang terbit apabila barang yang menjadi obyek perjanjaian harus diserahkan dari satu pihak kepihak lainya.contoh perjanjian riil adalah perjanjian pinjam pakai,perjanjian penitipan barang, dan perjanjian pinjam mengganti.
b.      Asas Kebebasan Berkontrak
Menurut Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1338 ayat  (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik  tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak.[8]
 Setiap orang memiliki kebebasn untuk mengadakan dan mengatur isi suatu perjanjian yang dibuatnya. Perjanjian tersebut berisi tentang hak dan kewajiban dari kedua belah pihak yang harus dilaksnakan oleh yang mengadakan perjanjian. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian indonesia meliputi hal-hal sebgai berikut :[9]
1)      Kebebasan untuk mebuat atau tidak membuat perjanjian;
2)      Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa dia ingin membuat perjajian;
3)      Kebebasan untuk menentukan atau memilih klausula dari perjanjian yang dibuatnya;
4)      Kebebasan untuk memilih objek perjanjian
5)      Kebebasan untuk menerima aatau menyimpangi ketentuan Undang-undang yang bersifat opsional (aan vulled optional)
Adanya asas kebebasan berkontrak, maka Buku III KUHPerdata dikatakan bersifat terbuka, maksudnya adalah memungkanya setiap orang untuk mengadakan perjanjian apapun jufa baik yang sudah ada peraturanya didalam undang-undang maupun yang belum diatu dalam undang-undang, sehinggaa memungkinkan lahirnya perjanjian-perjanjian jenis baru.
            Sistem terbuka dalam perjanjian menakibatkan ketentuan-ketentuan dari hukum perjanjian tersebut hanya sebagai pelengkap. Para pihak dapat menyimpangu ketentuan-ketentuan tersebut apabila mereka tealah mengaturnya secara lain dalam perjanjian yang dibuat. Ketnetuan Buku II KUHPerdata hanya berlaku bila para pihak tidak mengatur dalam perjanjian yang mereka buat. Walaupun dikatakan bebas berkontrak akan tetapi kebeasan tersebut ada pembatasnya dalam pasal 1337 KUHPerdata yang menyebutkan :” suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang,atau apabila berlawanan dengan kesusilaan, atau ketertiban umum.” Selai pembatasan oleh pasal 1337 KUHperdata pemerintih juga melakukan pembatasan. Campur tanfan pemerintah terhadap asas kebebasan berkontrak bertujuan untuk melindungi kaum yang lemah dari segi sosial ekonomi. Seperti dalam perjanjian kerja dan terhadap bunga bank.
c.       Asas Pacta Sunt Servanda
Pengertian pasal ini tersirat pada pasal 1338 KUHPerdata ayat 1 yang menyebutkan “ semua perjanjian dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas ini berarti para pihak yang terkait dengan perjanjian oleh kesepakan yang termuat dalam perjanjia yang mereka buat, selayaknya undang-undaang bagi mereka sendiri.
Pasal tersebut merupakan konsekuensi logis dari ketentuan pasal 1233 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang maupun perjanjian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pejanjian merupakan sumber perikatan. Pasal 1338 ayat 2 KAUHPerdata menyatakan “ perjanjaian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa sudah seharusnya sesuatu yang telah disepakati oleh keduabelah pihak dipatuhi pula oleh keduabelah pihak. Apabila salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakan prestasi, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksa pemenuhannya melalu jalur litigasi yang berlaku.
Asas ini mewajibkan bagi pihak ketiga untuk menghormati perjanjian yang telah dibuat oleh par pihak sebab melalui asas ini dapat disimpulkan sebuah larangan bagi pihak ketiga juga termasuk hakim didalamnya untuk mencampuri isi perjanjian.
d.      Asas Iktikad Baik
Asas ini dapat kita jumpai pada pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang menyebutkan “ suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Berdasarkan asas ini maka hal-hal yang sudah diperjanjikan  oleh para pihak harus dilaksnakan dengan sebaik-baiknya sedemikian rupa sehingga tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan,kepatutan dan memenuhi rasa keadilan untuk kedua belah pihak.
Iktikad baik dalam hal ini memiliki dua pengertian, yaitu :
1)      Iktikad baik dalam arti subyektif
Pengertian ini dapat kita jumpai pada pasal 531 KUHPerdata yang menentukan bahwa sipemegang benda beriktikad baik apabila ia menguasai dengan cara memperoleh hak milik tanpa mengetahui cacat yang terkandung didalamnya. Iktikad baik dalam hukum benda ini diartikan sebagai kejujuran atau sikap batin dari pihak tersebut, artinya apakah yang bersangkutan menyadari atau tahu tindakanya tersebut bertentangan dengan iktikad baik.

2)      Iktikad baik daalam arti obyektif
Pengertian ini dapat dijumpai dalam pelaksanaan perjanjian, intinya perjanjian tersebut dilaksanakan sedemikian rupa sehingga tidak merugikan ke salah satu pihak. Asas iktikad baik yang terdapat dalam pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata merupakan asas iktikad bai dengan pengertian obyektif. Asas ini menyebabkan para pihak haruslah mengidahkan ketentuan mengenai norma-norma kepatutan dan kesusulaan serta harus berada pada jalur yang benar.
e.       Asas Kepribadian
Pengertian dapat dilihat pada pasal 1315 KUHPerdata, yang menyatakan : “ pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkanya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri.”
Ketentuan tersebut kemudian dipertegas pada pasal 1340 ayat 1 KUHPerdata yaitu,” suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.” Dari ketentuan tersebut dapat ditari kesimpulan bahwa perjanjian hanya mengukat bagi para pihak dan tidak mengikat pihak ketiga.
3.      Unsur –unsur Perjanjian
Menurut Sudikno Mertokusumo unsur yang terdapat dalam perjanjian adalah :[10]
a.       Unsur Essentialia
Unsur ini aadalah mutlak harus ada agar suatu perjanjian menjadi sah dan merupakan syarat sahnya pernajia. Syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata sepakat,kecakapan parapihak,obyek tertentu dan sebab yang halal, contohnya barang dan harga dalam perjanjian jual beli merupakan unsur essentialia.
b.      Unsur Naturalia
Unsur yang lazimnya melekat pada suatau perjanjian. Aunsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian, secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian. Menurut J.Satrio unsur Naturalia merupakan unsur yang dalam undang-undang diatur,tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti.[11]
c.       Unsur Accidentalia
Unsur yang harus dimuat atau disebutkan secara tegas dalam perjanjian. Unsur ini merupakan bagian dari perjanjian yang ditambahan para pihak dalam perjanjian yang dibuat dimana hal tersebut dibolehlan oleh undang-undang,pilihan tempat tinggal apabila terjadi sengketa.

4.      Syarat sahnya perjanjian
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat sah perjanjian yang telah ditentukan oleh undang-undang,sehingga perjanjian tersebut diakui oleh hukumm (legally concluded contract).[12] Syarat sahnya perjanjian diatur menurut poasal 1320 KUHPerdata. Didalam pasal tersebut disebutkan syarat sahnya perjanjian adalah :
a.       Adanya persetujuan kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian);
b.      Adanya kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian ;
c.       Adanya suatu hal tertentu, dan;
d.      Adanya sebab yang halal.
Syarat yang pertama dan yang kedua merupakan syarat subyektif, karena kedua syarat tersebet mengatur tentang subjek aatau orang yang mengadakan perjanjian, sedaangnkan syarat yang ketiga dan keempat adalah syarat objektif karena mengatur tentang perjanjiannya ataupun objek dari perbuatan hukum yang dilakukan.
Sarat pertama yaitu tentang persetujuan kehendak adalah adanya kesepakatan, seiya sekata antara para pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat. Pokok perjanjian itu berupa objek perjanjian dan syarat perjanjian. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik, misalnya penjual menghendaki sejumlah harga, sedangkan pembeli menginginkan suatu barang dari penjual.[13]
Persetujuan kehendak itu bersifat bebas, artinya betul betul atas kesukarelaan pihak-pihak, tidak ada paksaan dari pihak manapun,tidak ada kekhilafan dan penipuan (pasal 1321, 1322 dan 1328 KUHPerdata). Kekhilafan bisa terjadi bila seseorang menghendaki sesuatu ternyata kenyataanya tersebut menyimpang karena adanya salah pengertian.
Kekhilafan dapat terjadi karena 2 hal. Yaitu :
a.       Error in Substansia
Kekhilafan terhadap hakekat benda yang menjadi obyek perjanjian. Hakekat benda adalah sifat dari benda yang menjadi obyek perjanjian yang  bagi para pihak merupakan batasan yang sesungguhnya untuk menutup perjanjian dengan persyaratan yang telah ditetapkan dalam perjanjian tersebut.
b.      Error in Persona
Kesalah atau kekhilafan satu pihak dari siapa yang mengikatkan diri. Alasan untuk menggugat berdasarkan kekhilafan harus dipenuhi 2 syarat, yaitu :
1)      Pihak lawan mengetahui atau seharunya mengetahui bahwa ia justru melakukan perbuatan itu berdasarkan ciri-ciri dan keadaan yang keliru tersebut.
2)      Dengan memperhatikan asemua keadaan pihak yang melakukan kekhilafan tersebut selayaknya dapat dan boleh membuat kekeliruan tersebut.
Sebelum adanya persetujuan, biasanya mengadakan perundingan( negotiation), yaitu pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain tentang obyek perjanjian dan syarat-syaratnya serta sebaliknya.
Tidak ada paksaan apabila orang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya yang bersifat menakut-takuti, seperti yang dijelaskan dalam pasal 1324 KUHPerdata. Tidak ada kekhilafan atau kekeliruan atau kesesatan, apabila salah satu pihak tidak khilaf tentang hal pokok yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat penting barang yang menjadi obyek perjanjian, atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.
Syarat kedua mengenai kecakapan hukum para pihak. Merujuk pasal 1330 KUHPerdata disebutkan sebagai orang yang tidak cakap melakukan suatu perjanjian :
a.       Orang yang belum dewasa;
b.      orang yang berada dibawah pengampuan
c.       orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan Undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.
Pada umumnya orang akan dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah pernah menikah. Menurut KUHPerdata pasal 108 KUHPerdata,seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan perjanjian memerlukan bantuan atau izin ( kuasa tertulis) dari suami. Ketentuan tersebut sekarang ini didalam hukum indonesia sudah tidak digunakan lagi (dicabut). Sekarang ini wanita bersuami sudah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum dan perbuatan hukum yang dilakukan adalah sah dan perbuatan tersebut tidak dapat dimintakan pembatalan kepada hakim.
Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh orang yang mengadakan suatau perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaanya. Kedudukannya sma dengan seorang anak yang belum dewasa dan dalam melakukan perjanjia diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Akibat dari ketidak cakapan atau ketidakwenangan membuat suatu perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalanya kepada hakim (voidable).[14]
Syarat ketiga adalah suatu perjanjian haruslah mengeni hal tertentu, artinya apa yang diperjanjian hak-hak dan kewajiban keduabelah pihak jika timbul perselisihan[15]. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya, bahwa barang yang sudah ada atau sudah berada ditangganya siberutang pada waktu perjanjian disbutkan. Asalkan kemudian dapat diitung atau ditetapkan.[16] Akibat todak dipenuhinya syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum.
Syarat keempat adalah suatau sebab yang halal. Sebab atau causa  yang halal dari suatu perjanjian adalah perjanjian itu sendiri,[17] pasal 1320 KUHPerdata juga menyebutkan bahwa yang dimaksudakan kausa yang halal bukanlah yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat oerjanjian, tetapi “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Perjanjian yang berisi causa atau sebab yang tidak halal tidak diperbolehkan dan jiaka hal tersebtu terjadi maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
5.      Bentuk dan isi perjanjian
Perjanjian dibedakan menjadi berbagai jenis, yaitu :
a.       Berdasarkan bentuknya, terdiri dari :
1)      Perjanjian lisan
Adalah suatu perjanjia yang dibuat oleh para poihak dalam wujud lisan atau hanya kesepakatan para pihak saja
2)      Perjanjian tertulis
Adalah perjanjian yang dibuat para pihak dalam bentuk tulisan,sering disebut juga sebgai akta. Akta dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:
a)      Akta otentik, yaitu akta yang dibuat oleh dan/atau dihadapan pejabat umu yang berwenang untuk itu dan diwilauah dimana akta tersebut dibuat. Pejabat yang berwenang untuk itu adalah Notaris,PPAT,camat,dan lain – lain
b)      Akta diabawah tangan, yaitu akta yang dibuat oleh para pihak  sehingga isinya ditentukan sendiri oleh para pihak. Perjanjian semacam ini hanya mengikat para pihak dalam perjanjaian saja tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga. Perbedaan akta otentik dan akta dibawah tangan adalah dalam hal berlakunya akta tersebut sebgai alat bukti. Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna sedangkan akta dibawah tangan merupakan alat bukti yangsah dan tidak sempurna, karena keberadaaanya bisa saja disangkal oleh salah satu pihak, atau memerlukan alat bukti lain untuk mendukung akta dibawah tangan.
6.      Wanprestasi dan akibat-akibatnya
Dalam perjanjia para pihak memiliki kewajiban yang harusa dipenuhi yaitu prestasi. Prestasi ini merupakan obyek perjanjian yang merupakan kewajiban dari debitur. Apabila debitur(si berutang) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakaukan “wanprestasi”. Ia alpa aau lalai atau ingkar janji atau juga melanggar perjanjian bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukanya.
Wanprestasi berasal dari bahasa belanda yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam:
a.       Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukannya;
b.      Melaksanakan apa yang dijanjikan,tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c.       Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;dan,
d.      Melakuakan sesuatu yang menurut perjanjian tidakboleh dilakuakanya.
Untuk dapat dikatakan wanprestasi maka harus memenuhi syarat-syarat sebgai berikut :
a.       Syarat materiil yaitu berupa kesalahan
Kesalahan mempunyai 2 pengertian, yaitu :
1)      Kesalahan dalam arti luas
Kesalahan dalam arti luas meliputi kesengajaan dana kelalaian. Kesengaajaaan adalah perbuatan yang diketahuinya dan akibatnya dikehendaki, sedangakan kelalaian adalah perbuatan dimana pembuatnya mengetahui kemungkinan terjadinya akibat yang merugikan orang lain
2)      Kesalahan dalam arti sempit
Kesalahan dalam arti sempit adalah hanya kelalaian saja.
b.      Syarat formiil
Syarat formil berupa peringatan(somasi) yang berisi pesan dari kreditur agar debitur sesegera atau pada waktu tertentu yang disebutkan memenuhi prestasinya.

7.      Berakhirnya perjanjian
Berakhitnya perjanjian dibedakan dengan berakhirnya perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus sedangkan perjanjiansebgai sumbernya masih tetap ada. Suatu perjanjian pada umumnya berakhir apabila tujuan dari perjanjian itu telah tercapai, yaitu terpenuhinuya hak dan kewajiban oleh para pihak atau terpenuhinya prestasi yang diperjanjikan, sebagaimana yang mereka kehendaki bersama dalam mengadakan perjanjian tesebut.
Ketentuan pasal 1381 KUHPerdata hanya mengatur tentang berkhirnya suatu periaktan, padahal berakhirnya perjanjian tidak sama dengan berakhirnya suatu periaktan. Berakhirnya suatu perikatan belum tentu sama daengan mengakibatkan perjanjian yang menjadi sumber perikatan itu berakhir. Ada kemungkinan perikatan yang menjadi sumber perikatan telah hapus tetapi perjanjian yang menjadi sumber perikatan itu masih ada, misalnua dalam perjanjian jual beli setelah dilakuakn pembayaran maka perikatan mengenai pembayaran telah hapus, tetapi perjanjian jual beli itu sendiri belum hapus karena masiha da perikatan yang ainya yaitu perikatan mengenai penyerahan barang (lavering). Jika semua perikatan yang timbul dari suatau perjanjian telah hapus semua maka perjanjian baru akan berakhir.
Berakhirnya perjanjian dapat terjadi dengan cara atau adanya persetujuan para pihak, tetapi juga dengan cara-cara sebagai berikut :
a.       Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak, misalkan perjanjaian dengan berlakunya waktu tertentu.
b.      Ditentukan oleh undang –undanga dengan suatu batas waktu bagi berlakunya perjanjian
c.       Undang-undang menentukan  hapusnya perjanjian karena terjadi peristiwa tertentu, misalnya dalam perjanjian pemberi kuasa,prjanjian kerja
d.      Peryataan salah satu paihak atau keduabelah pihak dalam perjanjian untuk amenghentikan perjanjian, misalnya perjanjian sewa-menyewa
e.       Putusan hakim dalam persidangan
f.       Persetujuan para pihak, para pihak setuju perjanjiantelah berakhir, tujuan perjanjian dianggap telah tercapai.[18]

B.     TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA
1.      Pengertian dan Tempat pengaturan Perjanjian kerja
Menurut KUHPerdata mengartikan perjanjian  kerja sebagai perjanjian perburuhan,  yakni dalam pasal 1601 menyatakan perjanjian kerja adalah perjanjian dengan mana pihak satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Perjanjian kerja tersebut diatur dalam pasal 1601 KUHPerdata sampai pasal 1603 KUHPerdata.
Menurut pasal 1 ayat (15) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pengertian perjanjian kerja adalah perjanjian antar pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja,hak dan kewajiban para pihak.
2.      Unsur perjanjian kerja
a.       Adanya Pekerjaan
Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjajikan sebgai obyek perjanjian. Secara umum, “pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus dilakukan perkerja/atau buruh untuk kepentingan pengusaha sesuai dengan isi perjanjian kerja.”[19] Dalam melakukan pekerjaan, pekerja wajib melakukanya sendiri dan hanya dapat dilakukan oleh orang lain dengan izin dari pemberi kerja.
Hal ini telah diatur pada pasal 1603 huruf a KUHPerdata, yaitu : “buruh wajib melakuakan sendiri pekerjaanya,hanyalah dengan izin majikan ia dapat menyuruh seseorang ketika menggantikanya”
Sifat pekerjaan tersebut sangat pribadi karena bersangkutan dengan keterapmilan/keahliannya , sehingga menurut hukum ketika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum[20]
b.      Adanya upah
Upah harus ada dalam setiap perjanjian kerja. Menurut pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa upah adalah hak pekerja tau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatau perjanjian kerja, kesepakatan ataupun peraturan aperundang - undangan termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
            Upah meupakan unsur utama yang harus ada dalam setiap perjanjian kerja. Jika seseorang bekerja dan dalam melaksanakan pekerjaanya bukan bertujuan untuk mendapatkan upah, hal tersebut sulit dikatakan sebagai pelaksanaan pekerjaan.[21] Selain itu, pada prinsipnya pembayaran upah harus diberikan dalam bentuk uang namun dalam prakteknya berdasar peraturan perundang - undangan, tidak mengurangi kemungkinan pemberian upah dalam bentuk barang,tetapi juga harus dibatasi.
c.       Adanya perintah
Perintah adalah unsur yang paling khas dalam hubungan kerja, yakni pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja / buruh berada dibawah perintah pengusaha. Unsur perintah ini dapt juga tercantum dalam peraturan tata tertib perusahaan yang harus dipatuh oleh pekerja/buruh. Dengan adanya unsur perintah maka kedudukan dari keduabelah pihak menjadi tidak sama, karena kedudukan salah satu pihak berada diatas(pihal pemberi perintah) dan satu pihak berada dibawah (pihak yang diperintah). Kedudukan yang tidak sama (hubungan sub-ordinasi) tersebut merupakan ciri khas dari perjanjian kerja itu sendiri, jika kedudukan sama maka itu bukanlah perjanjian kerja.
Pakar perburuhan Belanda, yaitu M.G. Rood menyebutkan bahwa perjanjian kerja harus memenuhi sebgai berikut :
1)       Adanya unsur work atau pekerjaan;
2)      Adanya unsur service atau pelayanan;
3)      Adanya unsur time atau waktu tertentu;
4)      Adanya unsur pay atau upah.
M. G. Rood menyatakan bahwa pekerja/buruh haruslah tunduk kepada pemberi perintah( pemberi kerja) dan pekerjaan yang dilakukan haruslah bermanfaat bagi pemberi kerja oleh karena itu unsur perintah dan unsur pelayanandapat dikatakan sama.[22]
3.       Syarat sah perjanjian kerja
Menurut pasal 52 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 perjanjian kerja dibuat berdasarkan :
a.       Kesepakatan keduabelah pihak;
b.      Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c.       Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
d.      Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang - undangan yang berlaku.
Kesepakatan keduabelah pihak dan Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum merupakan syarat subjektif. Sedangakan Adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang - undangan yang berlaku adalah syarat objektif. Apabila syarat subjektif dilanggar maka perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan sedangkan apabila syarat objektif yang dilanggar maka perjanjian kerja otomatis dinyatakan batal demi hukum.
4.       Bentuk dan isi perjanjian Kerja
Didalam pasal 51 ayat 1 UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN  nomor 13 tahun 2003 menyatakan bahwa perjanjian kerja dapat dibuat secara tertuli ataupun lisan
a.       Bentuk perjanjian kerja secara tertulis
Berdasarkan pasal 54 ayat menyatakan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat :
1)      Nama,alamat,perusahaan, dan jenis usahanya;
2)      Nama, jenis kelamin,umur dan alamat pekerja/buruh;
3)      Jabatan atau jenis pekerjaan;
4)      Tempat pekerjaan;
5)      Besarnya upah dan cara pembayaran;
6)      Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha/pemberi kerja dan pekerja/buruh
7)      Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian
8)      Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat, dan
9)      Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja
b.      Bentuk perjanjian kerja secara lisan
Berdasrkan pasal 63 ayat 1 dan 2 d, yakni didalam perjanjian kerja yang dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja atau buruh yang berasangkutan. Surat pengangkatan tersebut berisi sekurang-kurangnya memuat mengenai :
1)      Nama dan alamat pekerja/buruh;
2)      Tanggal mulai bekerja;
3)      Jenis pekerjaan, dan
4)      Besarnya upah.
Pernjanjian kerja menimbulkan adanya hak dan kewajiban bagi para pihak sebagaimana terjadi pada perjanjian pada umumnya, kewajiban pengusaha atau pemberi kerja dalam perjanjian kerja antara lain :
1)      Memberikan pekerjaan(perintah kerja)
Pengusaha wajib memberikan pekerjaan yang berupa perintah untuk melakukan suatu pekerjaan.
2)      Membayar upah
Berdasarkan pasal 1 anka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Upah merupakan faktor utama yang mendorong kelangsuangan hidup dari pekerja didalam masyarakat. Dalam dunia perindustrian, upah termasuk bagian dari biaya produksi pemberi kerja/pengusaha. Selain itu, pemerintah mempunyai kepentingan dengan standar upah yang ada karena dapat mempengaruhi iklim sosial negara serta termasuk dalam bagian penting perekonomian seperti halnya kesempatan kerja, harga, inflasi, produktivitas nasionnal dan lainya.
Membayat upah merupakan kewajiban sebagai pengusaha baik berdasrkan perjanjian kerja, peraruran perundang - undangan, kepatutan dan kebiasaan haruslah ditunaikan atau dibayarkan kepada pekerja/buruh.
3)      Memberikan surat keterangan baik
Memberikan surat keterangan baik adalah sebuah kewajiban tambahan bagi pengusaha. Surat keterangein ini diberikan sewaktu berakhirnya hubungan kerja pekerja/buruh dengan pengusaha/pemberi pekerjaan. Isi dari surat keterangan tersebut adalah :
a)      Macam pekerjaan
b)      Cara melakukan pekerjaan
c)      Lama melakukan pekerjaan
d)     Cara berakhirnya hubungan kerja.
Adapun kewajiban bagi pekerja/buruh dalam perjanjian kerja adalah  sebagai berikut :
1)      Melakukan suatu pekerjaan
Pekerja atau buruh wajib mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya dari pengusaha secara baik. Pekerjaan yang dilakukan pekerja/buruh adalah pekerjaan yang diperjanjikan sebgaiman tertuang dalam perjajian kerja dan ruang lingkup pekerjaan dapat dilihat dari perjanjian kerja yang diperjanjikan maupun kebiasan. Pekerja/buruh harus sudah mengetahui akan pekerjaan yang akan  dilakukan sewaktu memulai pekerjaan tersebut. Pekerjaan yang dilakukannya adalah bersifat pribadi artinya ia harus melakukan pekerjaan tersebut sendiri kevuali jika pengusaha memberikan izin untuk dilimpahan selain itu pekerjaan dari pekerja melekat pada pribadi si pekerja/buruh sehingga apabila pekerja meninggak dunia maka perjanjian kerja berakhir demi hukum, sehingga  orang lain tidak dapat mewakili ataupun mewarisi pekerjaan tersebut.
2)      Menaati peraturan perusahaan
Pekerja wajib menaati peraturan perusahaan. Pengaturan perusahaan ini ditetapkan oleh pengusaha. Hal ini didasarkan pada pasl 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menjelaskan bahwa peraturan perusahaan dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
3)      Memabayar ganti kerugian dan denda
Pekerja bertanggung jawab akan kerugian yang ditimbulkan karena perbuatanya, pada umumnya kerugian yang terjadi karena perbuatan dilakuakan dengan senganja ataupun karena kelalaiannya. Sengaja adalah ketika perbuatanya atau tidak berbuatnya bermaksud untuk merugikan ataupun sudah mengerti tentang apa yang dilakukan dapat merugika kepentingan pihak lain, sedangkan kelalaian adalh akibat yang merugikan pihak lain adalah karena kekurang hati-hatian dari pelaku dalam melakuakan suatu perbuatan atau pekerjaan sehingga merugikan kepentingan pihak lain.
4)      Bertindak sebagai pekerja/buruh yang baik
Hubungan kerja akan terjalin harmonis apabila keduabelah pihak saling melaksanakan hak dan kewajibanya secara baik. Begitupun halnya tidak kepada mejikan ataupun pengusaha yang harus berbuat baik tetapi pekerjapun dalam suatu hubungan kerja haruslah menjadi pekerja/buruh yang baik. Berdasarkan pasal 1603 huruf d KUHPerdata menyatakan bahwa “ siburuh pada umumnya diwajibkan melakukan, maupun tidak berbuat segala apa yang didalam keaddan yang sama, patut dilakukan atau tidak dilakukan oleh seorang buruh yang baik”. Pekerja/buruh juga berkewajiban untuk melaksanakan apa yang seharunya dilakukan atau tidak dilakukan berdasarkan peraturan perundang - undangan , kepatutan maupun kebiasaan.[23]
Sebuah hubungan hukum jika ada kewajiban tentunya akan dibarengi hak, sehingga jika ada kewajiban yang dibebankan kepada salah satu pihak maka pihak lain akan menerima kewajiban tersebut sebgai hak pihak lainya dan sebaliknya. Artinya apa yang menjadi hak dari pekerja/buruh meruopakan kewajiban dari pengusaha,begitupula sebaliknya jika ada kewajiban dari pekerja/buruh maka akan menjadi hak bagi pengusaha.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1)      Hak pengusaha / majikan/ pemberi kerja
a.       pengusaha berhak atas pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja atau buruh;
b.      pengusaha berhak untuk membuat peraturan untuk ditaati pekerja;
c.       pengusaha berhak untuk mendapat ganti kerugian atas perbuatan dari pekerja yang melakukan kesalahan atau kelalaan didalam melakukan pekerjaan;
d.      pengusaha berhak atas kinerja yang baik dari pekerja/buruh.
2)      Hak pekerja/buruh
a.       Pekerja/buruh berhak atas suatu pekerjaan;
b.      Pekerja/buruh berhak menerima upah terhadap apa yang telah dikerjakan
c.       Pekerja/buruh berhak mendapatkan waktu istirahat dan cuti
d.      Pekerja/buruh berhak atas perlindungan dan pengaturan tempat kerja;
e.       Pekerja/ buruh berhak mendapat surat keterangan dari pengusaha;
f.       Pekerja/buruh berhak mendapatkan perlakuan baik dari majikan/pengusaha.
5.      Macam-macam perjanjian kerja
Perjanjian kerja menurut pasal 56 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 terdiri atas :
a.       Perjanjian kerja waktu tertentu(PKWT)
Perjanjian kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha dalam mengadakan hubungan kerja dibatasi waktu tertentu d yang telah disepakai. Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat berdasarkan jangka waktu ataupun berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu. PPKWT diatur dalam pasal 50 s/d pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan lebih spesifik diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/MEN/2004 tentang pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu.
            Menurut pasal 1 angka 1 dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/MEN/2004, “ perjanjian kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalama waktu tertentu atau untuk pekerjan tertentu”.
            Berdasrkan pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 perjanjian kerja hanyawaktu tertentu hanya dapat dibuatuntuk pekerjaan yang jenis dan sifat kegiatannya akan diselesaikan dalam jangka waktu tertentu, yaitu :
1)      Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya;
2)      Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga ) tahun;
3)      Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
4)      Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru,kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Ketentuan lainya adalah jangka waktu untuk perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dilakukan atas jangka waktu paling lama 2 ( dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1( satu) tahun.
b.      Perjanjian kerja Waktu tidak tertentu (PKWTT)
Perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat disimpulkan dari isi pasal 1602 huruf g KUHPerdata yang berbunyi, “ jika suatu hubungan kerja tidak ditetapkan berdasarkan perjanjian atau peraturan perundang-undangan atau hal ini tidak menurut kelaziman, maka dianggap dibuat untuk waktu tidak tertentu.” . Perjanjian ini  dapat mensyaratkan adanya masa percobaan dengan jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan hal ini sesuai pasal 60 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat terjadi karena :
1)      Perjajuan waktu tertentu tidak dibuat dalam bahasa indonesia dan huruf latin;
2)      Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifa atau kegiatan pekerjaanya akan selesai dalam waktu tertentu;
3)      Perjanjian kerja waktu tertentu diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetao;
4)      Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu diadakan untuk lebih dari 2 (dua) tahun dan diperpanjang lebih dari satu kali untuk jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun;
5)      Pengusaha yang bermaksud memeprpanjang perjanjian kerja waktu tertentu, paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja untuk waktu tersebut berakhir tidak  memberikan maksud secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan;
6)      Pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu diadakan tidak melebihi masa tenttang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama. Pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu ini diadakan lebih dari ( satu) kali dan lebih dari (dua) tahun.
6.      Berakhirnya perjanjian kerja
Berdasarkan pasal 61 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa perjanjian kerja berakhir apabila :
a.       Pekerja meninggal dunia;
b.      Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c.       Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian hubungan industrial yang telah memiliki kekuatan huku tetap, atau
d.      Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peratutan perundang - undangan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Perjanjian kerja tidaklah berakhir dengan meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan,pewarisaan,atau hibah. Jika terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja menjadi taanggung jawab pengusaha baru kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja. Dalam hal pengusaha meninggal dunia maka ahli wari pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah diadakan perundingan antara kedua belah piahak, namun halnya ketika pekerja/buruh meninggal dunia maka ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku atau perjanjian bersama.
C.    TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN PEKERJA
1.      Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum adalah perlindungan terhadap kepentingan manusia  yang dilindungi hukum atau hak agar dalam pelaksanaan untuk memenuhinya tidak merugikan orang lain melalui kaidah hukum[24]
Philipus M.hadjon menyebutkan dua macam perlindungan hukum bagi masyarakat, yaitu :
a.       Perlindungan hukum preventif, yaitu perlindungan hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa terhadap rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk definitif.
b.      Perlindungan hukum represif, yaitu perlindungan huku yang bertujuan menyelesaikan sengketa.[25]
2.      Perlindungan hukum bagi pekerja
Perlindungan hukum pekerja dapat dilakukan, baik dengan jalan memberikan tuntutan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia,perlindungan fisik dan teknis serta sosial ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja.
Perlindungan hukum bagi pekerja mencakup :
a.       Norma keselamatan kerja, yang meliputi keselamatan kerja yang bertalian dengan mesin, pesawat,alat kerja, bahan daan proses pengerjaannya, keadaan tempat kerja dan lingkungan serta cara melakukan pekerjaan;
b.      Norma kesehatan kerja, meliputi, pemeliharaan dan mempertinggi derajat kesehatan pekerja dilakukan dengan cara pemberian obat-obatan, perawatan tenaga kerja yang sakit,mengatur persediaan tempat,cara-cara dan syarat kerja yang memenuhi kesehatan perusahaan dan keshatan bagi pekerja untuk mencegah penyakit, baik akibat pekerjaan atau penyakit umum serta menetapkan syarat kesehatan bagi perumahan pekerja.
c.       Norma kerja, yang meliputi : perlindungan terhadap tenaga kerja yang bertalian dengan waktu bekerja,sistem pengupahan,istirahat,cuti,pekerja wanita, anak, kesusilaan, ibadah menurut agama dan keyakinan masing masing yang diakui pemerintah, kewajiban sosial kemasyarakatn dan pemeliharaaan kegairahan dan moril kerja yang menjamin daya guna kerja yang tinggi serta menjaga perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral.
d.      Terhadap tenaga kerja yang mendapatkan kecelakaan dan/atau menderita penyakit akibat pekerjaan,berhak atas ganti rugi perawatan dan rehabilitasi akibat kecelakaan dan/atau penyakit akibat pekerjaan,ahli warisnya berhak mendapat ganti kerugian.
Menurut imam soepomo, perlindungan hukum terhadap pekerja memiliki 3 tujuan yaitu :[26]
a.       Perlindungan ekonomis
Perlindungan yang berkaitan dengan usaha memberikan penghasilan yang cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari dari pekerja dan keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tidak mampu bekerja diluar kehendaknya
b.      Perlindungan sosial
Perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan yang bertujuan memungkinkan pekerja untuk mengembangkan perikehidupanya sebgai manusia pada umumnya, sebgai anggota masyarakat dan anggota keluarga
c.       Perlindungan teknis
Perlindungan ayang berkaitan dengan usaha untuk menjafa pekerja dari bahaya kecelakan yang dapat timbul oleh mesin,pesawar atau alat kerja lainya atau oleh bahan yang diolah perushaan.
            Macam-macam perlindungan hukum bagi pekerja tersebtu diatas diklasifikasikan lagi berdasarkan objek-objek perlindungan hukum yang diberikan bagi pekerja yang tertuang kedalam pasal-pasal yang diatur dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diantaranya sebagai berikut :
a.       Perlindungan atas hak-hak dalam hubungan kerja
1)      Pasal 5 Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan , setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan;
2)      Pasal 6 Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan , Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha;
3)      Pasal 11 Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan , setiap tenga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengenmbangkan kompetensi kerja sesuai bakat,minat dan kemampuanya melalui pelatihan kerja;
4)      Pasal 12 ayat 3 (tiga) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ,setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya;
b.      Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja ;
Pasal 86 ayat 1 (satu) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan , setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
1)      Keselamtan dan kesehatan kerja;
2)      Moral dan kesusilaan; dan,
3)      Pengakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama
c.       Perlindungan tentang upah, jaminan sosial tenaga kerja dan kesejahteraan;
1)      Pasal 88 ayat 1 (satu) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan , setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;
2)      Pasal 99 ayat 1 (satu) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan , setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenga kerja;
3)      Pasal 101 ayat 1 (satu) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh,dibentuk koperasi pekerja/buruh dan usaha-usaha produktif di perushaan;
d.      Perlindungan atas hak pemutusan hubungan kerja
1)      Pasal 61 ayat 5 (lima) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan , dalam hal pekerja tau buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-hak sesui dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak –hak yang telah diatu dalam perjanjian kerja,peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
2)      Pasal 156 Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan , dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan mas kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.



[3] Abdulkadir  Muhammad,1992,Hukum perkotaan,PT.Citra Aditya Bakti,Bandung,hal 78
[4] Ibid.
[5] Subekti,1996,Hukum perjanjian, PT.Intermasa : Jakarta, hlm 1.
[6] Sudikno Mertokusumo ,2005, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberti, Yogyakarta hlm 177
[7] Sudikno Mertokusumo,1986, Edisi Keempat Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta  Hal 33
[9] Sutan Remy Sjahdeini, 1991, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, PT. Intermasa; Jakarta, hlm 47
[10] Sudikno Mertokusumo, 1986, Edisi Keempat Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,hlm 98-99
[11] J.satrio,2001 Hukum Perikatan. Perikatan yang lahir dari perjanjian, PT.citra Aditya bakti , Bandung, hlm 68
[12] Abdulkadir Muhammad, 1992,Hukum Perkotaan,PT.Citra Aditya Bakti, Bandung ,hlm 88
[13] Subekti, 1996,Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta. Bandung, hlm 17
[14] Abdul kadir Muhammmad, 1992,Hukum Perkotaan,PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 93
[15] Subekti ,1996,Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta. Bandung, hlm 19
[16] ibid
[17] Subekti , 1996,Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta. Bandung,hlm 20
[18] Setiawan,Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta , Bandung,hlm 69
[19] R.setiawan, Pokok Pokok Hukum Perikatan,bina cipta,bandung hlm 69
[20] Lalu husni,S.H,M.Hum, 2003, Hukum Ketenaga Kerjaa Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta hlm 56
[21] Djumadi,2006, Perjanjian Kerja,Sinar Grafika, Jakarta, hlm 40
[22] Ibid hlm 35
[23] Djumadi, , 2006, Perjanjian Kerja, Sinar Grafika, Jakarta hal 43
[24] Sudikno Mertokusumo, 1986, Edisi Keempat Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,hlm.34
[25] Philipus M.Hadjon,1987, perlindungan hukum bagi rakyat indonesua,bina, hlm 71
[26] Zainal asikin, ,1993,Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,hlm 97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar