OLEH :
ABI KUSUMA F.A
10/299735/HK/18500
Pasal Dan Penjabaran
Pasal 1315
“ Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri
atas nama sendiri atau meminta ditetapkanya suatu janji dari pada untuk dirinya
sendiri”
Pasal ini menerangkan bahwa seseorang
yang membuat perjanjian tidak dapat mengatasnamakan orang lain, dalam arti yang
menanggung kewajiban dan yang memperoleh hak dari perjanjian itu hanya pihak
yang melakukan perjanjian itu saja. Ketentuan itu boleh dikesampingkan jika ada
kuasa dari orang yang diatasnamakan, demikian pula dikecualikan jika terjadi
janji untuk kepentingan pihak ketiga sebagaimana diatur dalam Pasal 1317.
Dalam pasal ini mengandung asas
personalitas dimana yidak ada seorangpun yang dapat mengadakan suatu perjanjian
keculai untuk dirinya sendiri. Hal ini logis karena, sudah sewajarnya suatu
perjanjian hanya mengikat para pihak yang berkontrak/ mengadakan perjanjian
tersebut dan tidak mengikat bagi orang lain yang tidak terlibat dalam perjanjian
tersebut. akan tetapi asas ini terdapat pengecualian, yaitu apa yang disebut
sebagai “derben-beding” atau perjanjian untuk pihak ketiga. Dalam hal ini
seorang membuat suatu perjanjian dimana dalam perjanjian itu ia memperjanjikan
hak-hak bagi orang lain tanpa kuasa dari orang yang diperjanjikanitu.hal ini
diatur dalam pasal 1317 B.W
Selain itu ada juga Asas
Berlakunya Suatu Perjanjian
Asas
ini dimaksudkan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang
membuatnya. Pada asasnya semua perjanjian itu hanya berlaku bagi para pihak,
pihak ke tigapun tidak bisa mendapat keuntungan karena adanya suatu perjanjian
tersebut, kecuali yang telah diatur dalam undang-undang. Asas berlakunya suatu
perjanjian ini diatur dalam pasal yaitu:
Pasal 1315 KUH Perdata, yang berbunyi “Umumnya tidak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi “Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan ini tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tidak dapat pihak etiga mendapat manfaat karenanya; selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317.
Pasal 1315 KUH Perdata, yang berbunyi “Umumnya tidak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi “Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan ini tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tidak dapat pihak etiga mendapat manfaat karenanya; selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317.
Pasal 1317
“ Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta
ditetapkan suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu
penetapan janji, yang dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri, atau suatu
pemberian yang dilakukan kepada orang lain,memuat suatu janji yang seperti itu.
siapa yang telah memperjanjikan suatu seperti itu
tidak boleh menariknya kembali apabila pihak ketiga hendak mempergunakanya.”
Pasal ini merupakan pengecualian dari
Pasal 1315 BW, yaitu memperbolehkan seseorang berjanji yang dalam perjanjian
tersebut memberikan hak kepada pihak ketiga, dan apabila pihak ketiga sudah
menyatakan akan menggunakan hak tersebut, maka pihak yang memberikan hak kepada
pihak ketiga tadi tidak boleh menariknya kembali. Contoh perjanjian menurut
pasal ini adalah suatu perjanjian di mana seseorang memberikan modal dengan
percuma pada orang lain, untuk dipakai berdagang, dengan perjanjian orang ini
akan membiayai sekolah seorang mahasiswa.
Pasal 1320
“ untuk sahnya persetujuan- persetujuan diperlukan
empat syarat :
1.
Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan;
3.
Suatu hal
tertentu;
4.
Suatu sebab
yang halal.”
Penjelasan pasal 1320
Dalam pasal diatas terdapat empat syarat yang dapat
diklasifikasikan sebagai :
a.
Syarat-syarat
subyektif
1.
Sepakat ;
2.
Kecakapan :
b.
Syarat-syarat
obyektif
1.
Suatu hal
tertentu ;
2.
Suatu sebab
yang halal :
Dikatakan
syarat subjektif , karena menyangkut orang-orangnya (pelaku atau pihak yang
terlibat didalam perikatan ) atau subjek yang mengadakan perikatan. Dan
dikatakan syarat-syarat objektif, karena menyangkut obyek dari perbuatan hukum
yang dilakukan. berikut ini uaraian satu persau dari empat syarat sahnya suatau
perjanjian:
a.
Sepakat
Sepakat bagi mereka
yang mengikatkan diri berarti bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu
harus sepakat mengenai pokok-pokok dari perjanjian yang diadakan. Apa yang
dikehendaki oleh pihak yang satu,juga dikehendaki pihak lainya. Mereka
menghendaki sesuatu yang sama secara timbale-balik.contohnya sipenjual
menghendaki sejumlah uang dari barang jualanya, sedangkan sipembeli menghendaki
barang yang dujual sipenjual.
Kesepakatan
yang dimaksud adalah persesuaian kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya
antara penawaran dan penerimaan. Kesepakatan ini dapat dicapai dengan berbagai
cara, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Dikatakan tidak tetulis,
bukan lisan karena perjanjian bisa saja terjadi dengan cara tidak tertulis dan
juga tidak lisan, tetapi bahkan hanya dengan menggunakan simbol-simbol tertentu
atau dengan cara lainnya yang tidak secara lisan.
b.
Kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian
Maksudnya adalah orang
yang membuat perjanjian itu harus “cakap” menurut hukum. Dalm pasal 1329
menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap akan tetapi jika ia tidak dinyatakan
cakap menurut undang-undang. menurut undang-undang (pasal 1330 B.W) yang
dimaksud orang yang tidak cakap adalah :
1.
Orang-
orang yang belum dewasa ;
2.
Mereka yang
ditaruh dalam pengampuan ;
3.
Wanita
dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang
4.
Semua orang
yang oleh undang-undang dilarang membuat perjanjian
dari yang disebut diatas dapat diartikan selain
yang disebut adalah cakap dalam membuat dan melakukan perjanjian. Selain itu kecakapan bisa dikatakan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan
perbuatan hukum(perjanjian). Kecakapan ini ditandai dengan dicapainya umur 21
tahun atau telah menikah, walaupun usianya belum mencapai 21 tahun.
Khusus
untuk orang yang menikah sebelum usia 21 tahun tersebut, tetap dianggap cakap
walaupun dia bercerai sebelum mencapai usua 21 tahun. Jadi, janda atau duda
tetap dianggap cakap walaupun usianya belum mencapai 21 tahun.
Walaupun
ukuran kecakapan didasarkan pada usia 21 tahun atau sudah menikah, tidak semua
orang yang mencapai ukuran tersebut secara otomatis dapat dikatakan cakap
menurut hukum karena ada kemungkinan orang tersebut tetap dianggap tidak cakap
karena berada di bawah pengampuan, misalnya karena gila, atau bahkan karena
boros.
c.
Suatu hal
tertentu
Suatu perjanjian
haruslah mengenai suatu hal tertentu ( objeknya jelas ), berari apa yang
diperjanjikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua pihak jika timbul persengketaan,
barang yang dimaksudkan dalam perjanjian yang dimaksudkan, paling tidak dapat
ditentukan jenisnya.
Adapaun mengenai apakah
barang tersebut telah ada atau telah berada ditangan debitur pada saat
perjanjian dibuat dan tidak diharuskan dalam undang-undang.
Mengenai jumlah
barangnyapun tidak harus disebutkan asalkan nanti dapat dihitung atau
ditentukan. Misalnya perjanjian “ panen tembakau dalam suatu lading dalam tahun
berikutnya “ adalah sah; tetapi suatau perjanjian mengenai jual bali teh”untuk
serubu rupiah” dengan tanpa penjelasan lebih terang lagi haruslah dianggap
tidak cukup jelas.
d.
Suatu sebab
yang halal
Perkataan “sebab”
disini berasal dari bahasa belanda “oorzaak” atau bahasa latin “causa”; dan
bukan berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang
dimaksud, suatu yang mendorong seseorang membuat perjanjian, tidak dipersoalkan
dalam hukum perjanjian. Jadi, yang dimaksud disini dengan “sebab” adalah isi
dari perjanjian itu sendiri.
Mana yang dimaksud isi
perjanjian itu? Isi perjanjian , contohnya :
- Dalam perjanjian jual beli : pihak
satu menghendaki uang
- Dalam perjanjian sewa-menyewa : pihak
yang satu menginginkan kenikmatan suatu benda
Jadi jika seseorang
membeli pisau di super-market untuk maksud membunuh orang dengan pisau tadi,
jual beli tadi mempunyai sebab yang halal, seperti halnya dalam jual beli
lainya. Intinya dalam perjanjian tersebut
tidak bertentangan dengan kesusilaan,kesopanan dan undang –undang serta
ketertiban umum
Selain ada empat syarat syahnya perjanjian terdapat
pula asas dalam pasal 1320 yaitu asas konsensualitas. Asas konsensualitas
berarti bahwa pada asanya suatu perjanjian, timbul sejak detik tercapainya
consensus atau kesepakatan antara kedua pihak yang melakukan perjanjian. Dengan
kata lai perjanjian sah apabila ada kesepakatan mengenai hal-hal pokok dan
tidak lagi membutuhkan formalitas. Akan tetapi asas konsensualitas ini terdapat
beberapa kecualian yaitu apa yang disebut “ perjanjian formal .“
Pasal 1321
” Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu
diberikan karena kekhilafan,atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”
Dalam pasal ini menerangkan tentang
kesepakatan yang cacat. Walaupun dikatakan tiada sepakat yang sah, tetapi tidak
berarti perjanjian tersebut batal karena sebenarnya telah terjadi kesepakatan
yang telah terjadi karena adanya kekhilafan (pasal 1322), paksaan( pasal
1324,1325,1326,1327) dan penipuan (pasal
1328)
Kekhilafan
dapat terjadi, mengenai orang atau barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian . kekhilafan mengenai orang terjadi misalnya jika seorang
direktur membuat kontrak dengan orang yang dikiranya seorang penyanyi terkenal,
tetapi kemudian ternyata bukan orang yang dimaksud. Hanya namanya saja yang
kebetulan sama atau wajahnya sama tetapi bukanlah yang asli. Kekhilafan
mengenai barang terjadi misalnya jika seorang membeli perhiasan mutiara asli,
tetapi kemudian hanya imitasi saja.
Paksaan
terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu
ancaman. Misalnya rahasia yang dimilikinya akan dibongkar apabila ia tidak
menyetujui suatu perjanjian. Yang diancamkan harus mengenai suatu perbuatan
yang dilarang oleh undang-undang. Jikalau yang diancamkan itu suatu perbuatan
yang memang diizinkan oleh undang-undang, misalnya ancaman akan menggugat yang
bersangkutan di depan hakim dengan penyitaan barang, itu tidak dapat dikatakan
suatu paksaan.
Penipuan
terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang
tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk
karenanya untuk memberikan perizinan.
Pasal 1338
“ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
“Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak,atau karena alasan-alasan yang
oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.”
“Persetujuan- persetujuan itu harus dilaksanakan
dengan itikad baik.”
Didalam pasal 1338 terdapat 3 ayat
secara umum merupakan asas kebebasan berkontrak dan masing-masing ayat memiliki
penjelasan tersendiri. Asas kebebasan berkontrak memang ada juga yang
mendasarkan kepada pasal 1320 akan tetapi ada juga yang mendasarkan terhadap
pasal 1338. Asas kebebasan berkontrak adalah sebuah asas dimana setiap orang
yang “cakap” dapat melakukan atau membuat suatu perjanjian. Asa perjanjian ini
termaktub dalam pasal 1338 ayat 1 dimana dikatakan bahwa “semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku”. Namun, apabila dicermati pasal ini, khususnya ayat
(1) atau alinea (1) sebenarnya ada 3 hal pokok (asas) yang terkandung di
dalamnya, yaitu :
a. Pada kalimat “semua perjanjian yang
dibuat secara sah” menunjukkan asas kebebasan berkontrak.
b. Pada kalimat “berlaku sebagai
undang-undang” menunjukkan asas kekuatan mengikat atau asas pacta sunt
servanda. Asas ini berkaitan dengan asas keterbukaan hukum perjanjian, karena
mempunyai arti bahwa semua perjanjian yang memenuhi persyartan syahnya
perjanjian walau7pun menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam
buku III B.W tetap sebagai ungang-undang bagi pembuatnya. Sebagai
konsekuensinya adalah hakim dan pihak ketiga dilarang mencampuri isi dari
perjanjian yang telah dibuat hal ini bertujuan
demi kepastian hukum. Dalam asas ini terdapat pengecualian jika diantara
para pihak terdapat keadaan yang tidak seimbang atau tidak cakap sehingga
dikhwatirkan terdapat paksaan,penipuan atau kekhilafan.
c. Pada kalimat “bagi mereka yang
membuatnya” menunjukkan asas personalitas.
Walaupun
demikian, kalimat tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipenggal-penggal seperti di atas. Jadi pemenggalan di atas hanya untuk melihat
kandungan dari pasal tersebut.
Ayat
(2) atau alinea (2) pasal ini menentukan bahwa perjanjian tidak boleh
dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Hal ini sangat wajar,
kepentingan pihak lain terlindungi karena ketika perjanjian dibuat adalah atas
kesepakatan kesua belah pihak, maka pembatalannya pun harus atas kesepakatan
kedua belah pihak. Selain itu, pembatalan secara sepihak hanya dimungkinkan
jika ada alasan yang cukup oleh undang-undang.
Ayat
(3) atau alinea (3) merupakan sandaran asas itikad baik, yaitu bahwa setiap
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik dan mengindahkan norma-norma
kepatutan dan kesusilaan. Asas ini mempunyai dua arti :
a.
Arti
yang objektif : bahwa perjanjian
harus dilaksanakan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
b.
Arti
yang subjektif : iktikad baik
dalam hal ini terletak terhadap sikap batin dari seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar