Minggu, 17 Juni 2012

MAKALAH HUKUM PERDATA



OLEH :
ABI KUSUMA F.A
10/299735/HK/18500


Pasal Dan Penjabaran
Pasal 1315
“ Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkanya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”
Pasal ini menerangkan bahwa seseorang yang membuat perjanjian tidak dapat mengatasnamakan orang lain, dalam arti yang menanggung kewajiban dan yang memperoleh hak dari perjanjian itu hanya pihak yang melakukan perjanjian itu saja. Ketentuan itu boleh dikesampingkan jika ada kuasa dari orang yang diatasnamakan, demikian pula dikecualikan jika terjadi janji untuk kepentingan pihak ketiga sebagaimana diatur dalam Pasal 1317.
Dalam pasal ini mengandung asas personalitas dimana yidak ada seorangpun yang dapat mengadakan suatu perjanjian keculai untuk dirinya sendiri. Hal ini logis karena, sudah sewajarnya suatu perjanjian hanya mengikat para pihak yang berkontrak/ mengadakan perjanjian tersebut dan tidak mengikat bagi orang lain yang tidak terlibat dalam perjanjian tersebut. akan tetapi asas ini terdapat pengecualian, yaitu apa yang disebut sebagai “derben-beding” atau perjanjian untuk pihak ketiga. Dalam hal ini seorang membuat suatu perjanjian dimana dalam perjanjian itu ia memperjanjikan hak-hak bagi orang lain tanpa kuasa dari orang yang diperjanjikanitu.hal ini diatur dalam pasal 1317 B.W
Selain itu ada juga Asas Berlakunya Suatu Perjanjian
Asas ini dimaksudkan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Pada asasnya semua perjanjian itu hanya berlaku bagi para pihak, pihak ke tigapun tidak bisa mendapat keuntungan karena adanya suatu perjanjian tersebut, kecuali yang telah diatur dalam undang-undang. Asas berlakunya suatu perjanjian ini diatur dalam pasal yaitu:
Pasal 1315 KUH Perdata, yang berbunyi “Umumnya tidak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi “Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan ini tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tidak dapat pihak etiga mendapat manfaat karenanya; selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317.

Pasal 1317
“ Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkan suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukan kepada orang lain,memuat suatu janji yang seperti itu.
siapa yang telah memperjanjikan suatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali apabila pihak ketiga hendak mempergunakanya.”
Pasal ini merupakan pengecualian dari Pasal 1315 BW, yaitu memperbolehkan seseorang berjanji yang dalam perjanjian tersebut memberikan hak kepada pihak ketiga, dan apabila pihak ketiga sudah menyatakan akan menggunakan hak tersebut, maka pihak yang memberikan hak kepada pihak ketiga tadi tidak boleh menariknya kembali. Contoh perjanjian menurut pasal ini adalah suatu perjanjian di mana seseorang memberikan modal dengan percuma pada orang lain, untuk dipakai berdagang, dengan perjanjian orang ini akan membiayai sekolah seorang mahasiswa.

Pasal 1320
“ untuk sahnya persetujuan- persetujuan diperlukan empat syarat :
1.   Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.   Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.   Suatu hal tertentu;
4.   Suatu sebab yang halal.”
Penjelasan pasal 1320
Dalam pasal diatas terdapat empat syarat yang dapat diklasifikasikan sebagai :
a.    Syarat-syarat subyektif
1.   Sepakat ;
2.   Kecakapan :
b.   Syarat-syarat obyektif
1.   Suatu hal tertentu ;
2.   Suatu sebab yang halal :
Dikatakan syarat subjektif , karena menyangkut orang-orangnya (pelaku atau pihak yang terlibat didalam perikatan ) atau subjek yang mengadakan perikatan. Dan dikatakan syarat-syarat objektif, karena menyangkut obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan. berikut ini uaraian satu persau dari empat syarat sahnya suatau perjanjian:
a.    Sepakat

Sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri berarti bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat mengenai pokok-pokok dari perjanjian yang diadakan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu,juga dikehendaki pihak lainya. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbale-balik.contohnya sipenjual menghendaki sejumlah uang dari barang jualanya, sedangkan sipembeli menghendaki barang yang dujual sipenjual.
Kesepakatan yang dimaksud adalah persesuaian kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan. Kesepakatan ini dapat dicapai dengan berbagai cara, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Dikatakan tidak tetulis, bukan lisan karena perjanjian bisa saja terjadi dengan cara tidak tertulis dan juga tidak lisan, tetapi bahkan hanya dengan menggunakan simbol-simbol tertentu atau dengan cara lainnya yang tidak secara lisan.

b.   Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Maksudnya adalah orang yang membuat perjanjian itu harus “cakap” menurut hukum. Dalm pasal 1329 menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap akan tetapi jika ia tidak dinyatakan cakap menurut undang-undang. menurut undang-undang (pasal 1330 B.W) yang dimaksud orang yang tidak cakap adalah :
1.   Orang- orang yang belum dewasa ;
2.   Mereka yang ditaruh dalam pengampuan ;
3.   Wanita dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang
4.   Semua orang yang oleh undang-undang dilarang membuat perjanjian
dari yang disebut diatas dapat diartikan selain yang disebut adalah cakap dalam membuat dan melakukan perjanjian. Selain itu kecakapan bisa dikatakan adalah  kemampuan menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum(perjanjian). Kecakapan ini ditandai dengan dicapainya umur 21 tahun atau telah menikah, walaupun usianya belum mencapai 21 tahun.
Khusus untuk orang yang menikah sebelum usia 21 tahun tersebut, tetap dianggap cakap walaupun dia bercerai sebelum mencapai usua 21 tahun. Jadi, janda atau duda tetap dianggap cakap walaupun usianya belum mencapai 21 tahun.
Walaupun ukuran kecakapan didasarkan pada usia 21 tahun atau sudah menikah, tidak semua orang yang mencapai ukuran tersebut secara otomatis dapat dikatakan cakap menurut hukum karena ada kemungkinan orang tersebut tetap dianggap tidak cakap karena berada di bawah pengampuan, misalnya karena gila, atau bahkan karena boros.

c.    Suatu hal tertentu

Suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu ( objeknya jelas ), berari apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua pihak jika timbul persengketaan, barang yang dimaksudkan dalam perjanjian yang dimaksudkan, paling tidak dapat ditentukan jenisnya.
Adapaun mengenai apakah barang tersebut telah ada atau telah berada ditangan debitur pada saat perjanjian dibuat dan tidak diharuskan dalam undang-undang.
Mengenai jumlah barangnyapun tidak harus disebutkan asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan. Misalnya perjanjian “ panen tembakau dalam suatu lading dalam tahun berikutnya “ adalah sah; tetapi suatau perjanjian mengenai jual bali teh”untuk serubu rupiah” dengan tanpa penjelasan lebih terang lagi haruslah dianggap tidak cukup jelas.

d.   Suatu sebab yang halal

Perkataan “sebab” disini berasal dari bahasa belanda “oorzaak” atau bahasa latin “causa”; dan bukan berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang dimaksud, suatu yang mendorong seseorang membuat perjanjian, tidak dipersoalkan dalam hukum perjanjian. Jadi, yang dimaksud disini dengan “sebab” adalah isi dari perjanjian itu sendiri.
Mana yang dimaksud isi perjanjian itu? Isi perjanjian , contohnya :
-       Dalam perjanjian jual beli                :         pihak satu menghendaki uang
-       Dalam perjanjian sewa-menyewa     :         pihak yang satu menginginkan kenikmatan suatu benda
Jadi jika seseorang membeli pisau di super-market untuk maksud membunuh orang dengan pisau tadi, jual beli tadi mempunyai sebab yang halal, seperti halnya dalam jual beli lainya. Intinya dalam perjanjian tersebut  tidak bertentangan dengan kesusilaan,kesopanan dan undang –undang serta ketertiban umum
Selain ada empat syarat syahnya perjanjian terdapat pula asas dalam pasal 1320 yaitu asas konsensualitas. Asas konsensualitas berarti bahwa pada asanya suatu perjanjian, timbul sejak detik tercapainya consensus atau kesepakatan antara kedua pihak yang melakukan perjanjian. Dengan kata lai perjanjian sah apabila ada kesepakatan mengenai hal-hal pokok dan tidak lagi membutuhkan formalitas. Akan tetapi asas konsensualitas ini terdapat beberapa kecualian yaitu apa yang disebut “ perjanjian formal .“

Pasal 1321
” Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan,atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”
Dalam pasal ini menerangkan tentang kesepakatan yang cacat. Walaupun dikatakan tiada sepakat yang sah, tetapi tidak berarti perjanjian tersebut batal karena sebenarnya telah terjadi kesepakatan yang telah terjadi karena adanya kekhilafan (pasal 1322), paksaan( pasal 1324,1325,1326,1327)  dan penipuan (pasal 1328)
          Kekhilafan dapat terjadi, mengenai orang atau barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian . kekhilafan mengenai orang terjadi misalnya jika seorang direktur membuat kontrak dengan orang yang dikiranya seorang penyanyi terkenal, tetapi kemudian ternyata bukan orang yang dimaksud. Hanya namanya saja yang kebetulan sama atau wajahnya sama tetapi bukanlah yang asli. Kekhilafan mengenai barang terjadi misalnya jika seorang membeli perhiasan mutiara asli, tetapi kemudian hanya imitasi saja.
          Paksaan terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Misalnya rahasia yang dimilikinya akan dibongkar apabila ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancamkan harus mengenai suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Jikalau yang diancamkan itu suatu perbuatan yang memang diizinkan oleh undang-undang, misalnya ancaman akan menggugat yang bersangkutan di depan hakim dengan penyitaan barang, itu tidak dapat dikatakan suatu paksaan.
          Penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan.

Pasal 1338
“ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
“Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak,atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.”
“Persetujuan- persetujuan itu harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Didalam pasal 1338 terdapat 3 ayat secara umum merupakan asas kebebasan berkontrak dan masing-masing ayat memiliki penjelasan tersendiri. Asas kebebasan berkontrak memang ada juga yang mendasarkan kepada pasal 1320 akan tetapi ada juga yang mendasarkan terhadap pasal 1338. Asas kebebasan berkontrak adalah sebuah asas dimana setiap orang yang “cakap” dapat melakukan atau membuat suatu perjanjian. Asa perjanjian ini termaktub dalam pasal 1338 ayat 1 dimana dikatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku”. Namun, apabila dicermati pasal ini, khususnya ayat (1) atau alinea (1) sebenarnya ada 3 hal pokok (asas) yang terkandung di dalamnya, yaitu :
a. Pada kalimat “semua perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukkan asas kebebasan berkontrak.
b. Pada kalimat “berlaku sebagai undang-undang” menunjukkan asas kekuatan mengikat atau asas pacta sunt servanda. Asas ini berkaitan dengan asas keterbukaan hukum perjanjian, karena mempunyai arti bahwa semua perjanjian yang memenuhi persyartan syahnya perjanjian walau7pun menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam buku III B.W tetap sebagai ungang-undang bagi pembuatnya. Sebagai konsekuensinya adalah hakim dan pihak ketiga dilarang mencampuri isi dari perjanjian yang telah dibuat hal ini bertujuan  demi kepastian hukum. Dalam asas ini terdapat pengecualian jika diantara para pihak terdapat keadaan yang tidak seimbang atau tidak cakap sehingga dikhwatirkan terdapat paksaan,penipuan atau kekhilafan.
c. Pada kalimat “bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan asas personalitas.
          Walaupun demikian, kalimat tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipenggal-penggal seperti di atas. Jadi pemenggalan di atas hanya untuk melihat kandungan dari pasal tersebut.
          Ayat (2) atau alinea (2) pasal ini menentukan bahwa perjanjian tidak boleh dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Hal ini sangat wajar, kepentingan pihak lain terlindungi karena ketika perjanjian dibuat adalah atas kesepakatan kesua belah pihak, maka pembatalannya pun harus atas kesepakatan kedua belah pihak. Selain itu, pembatalan secara sepihak hanya dimungkinkan jika ada alasan yang cukup oleh undang-undang.
          Ayat (3) atau alinea (3) merupakan sandaran asas itikad baik, yaitu bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik dan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Asas ini mempunyai dua arti :
a.    Arti yang objektif           : bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
b.   Arti yang subjektif         : iktikad baik dalam hal ini terletak terhadap sikap batin dari seseorang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar