Ahmad
fathoni bermaksud menjual sebidang tanah miliknya (seluasnya 950 m2) dengan
harga Rp.2,5 milyar. Untuk maksud tersebut, pada atanggal 15 januari 2013 ia
memberikan kuasa menjual kepada ayu aztari. Dalam kuasa menjual tersebut
ditentukan bahwaa kuasa berlaku selama 6 bulan dan penerima kuasa berhak
memperoleh 10 % atas uang muka yang diberikan pembeli. Pada atanggal 20 januari
2013. Ahmad fathoni memberikan kuasa jual kepada vita meysa dengan ketentuan
yang sama dengan kuasa jual sebelumnya.
Padaa
tanggal 26 maret 2013, vita meysa menghubungi ahmad fathoni dan mengatakan
bahwa sudah ada pembeli. Pembeli bersedia membeli tanah dengan harga yang
ditawarkan dan memberikan uang muka Rp. 100 juta disertai janji akan
melunasisisanya pada tanggal 5 april 2013 pada saaat menghadap PPAT untuk
membuat akta jual belu. Ahmad fathoni senang dan menyatakan siap ke PPAT pada
tanggal 5 April 2013
Pada
tanggal 30 april 2013 ayu aztaari menghubungu ahmad fathoni dan mengatakan
bahwa ia sudah mendapatkan pembelli. Pembeli setuju dengan harga yang
ditawarkan dan telah memberikan uang muka US$ 18.000,-. Sisanya akan dibayarkan
pada saat penandatangaan akta jual beli. Ahmad fathoni mengatakan bahwa tanah
telah terjual. Oleh karena itu ayu aztari diminta mebatalkan kesepakatan jual
beli. Ayu aztari marah, karena ia tidak diberitahu sebelumnya bahwa tanah telah
dan ia telah menggunakan 10 % uang muka yang menjadu haknya.
Tugas
: Berikan pendapat hukum saRI Kasus tersebut diatas,!
Pembahasan secara umum
Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum
yang diatur dalam Bab XVI, Buku III KUH Perdata, sedang aturan khususnya diatur
dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG.
Pengertian kuasa secara umum, dapat
dilihat pada Pasal 1792 KUH Perdata, yang berbunyi: Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan
dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya,
untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Kuasa dapat
diberikan dan ditrima dalam suatu akte umum dalam suatu tulisan dibawah tangan,
bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat
pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh
si kuasa (pasal 1793). Dari ketentuan ini dapat kita lihat bahwa pemberian kuasa
itu adalah bebas dari sesuatu bentuk cara (formalitas) tertentu; dengan
perkataan lain, ia adalah suatu perjanjian konsensual, artinya sudah
mengikat (sah) pada derik tercapainya sepakat antara si pemberi dan penerima
kuasa.
Algra, dkk mendefinisikan pemberian
kuasa adalah
"Suatu
persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kuasa kepada pihak yang lain
(penerima kuasa/lasthebber), yang menerimanya-untuk atas
namanya sendiri atau tidak-menyelenggarakan satu perbuatan hukum atau lebih
untuk yang memberi kuasa itu." (Algra, dkk., 1983: 260)
Bertitik tolak dari ketentuan pasal tersebut, dalam
perjanjian kuasa, terdapat dua pihak, yang terdiri dari:
1.
Pemberi kuasa
atau lastgever (instruction, mandate);
2.
Penerima kuasa
atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu untuk
dan atas nama pemberi kuasa.
Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau lastgeving (volmacht, full power),
jika:
1. Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan
kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi dan
kewenangan yang ditentukan dalam surat kuasa;
2. Dengan
demikian, penerima kuasa (lasthebber, mandatory) berkuasa penuh,
bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama
pemberi kuasa;
3. Oleh
karena itu, pemberi kuasa bertanggungjawab atas segala perbuatan kuasa,
sepanjang perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi wewenang yang diberikan
pemberi kuasa.[1]
Pada dasarnya, pasal-pasal yang mengatur pemberian
kuasa, tidak bersifat imperatif. Apabila para pihak menghendaki, dapat
disepakati selain yang digariskan dalam undang-undang. Misalnya, para pihak
dapat menyepakati agar pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali (irrevocable).
Hal ini dimungkinkan, karena pada umumnya pasal-pasal hukum perjanjian,
bersifat mengatur (aanvullend recht).[2]
Sifat Perjanjian Kuasa
Terdapat beberapa sifat pokok yang dianggap penting
untuk diketahui, antara lain sebagai berikut:
1.
Penerima Kuasa langsung berkapasitas sebagai
Wakil Pemberi Kuasa
Pemberian kuasa tidak hanya bersifat mengatur hubungan
internal antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Akan tetapi, hubungan hukum
itu langsung menerbitkan dan memberi kedudukan serta kapasitas kepada kuasa
menjadi wakil penuh (full power) pemberi kuasa, yaitu:
a.
Memberi hak dan
kewenangan (authority) kepada kuasa, bertindak untuk dan atas nama
pemberi kuasa terhadap pihak ketiga;
b.
Tindakan kuasa
tersebut langsung mengikat kepada diri pemberi kuasa, sepanjang tindakan yang
dilakukan kuasa tidak melampaui batas kewenangan yang dilimpahkan pemberi kuasa
kepadanya;
c.
Dalam ikatan
hubungan hukum yang dilakukan kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa
berkedudukan sebagai pihak materiil atau principal atau pihak utama, dan
penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil.
Akibat hukum dari hubungan yang demikian segala
tindakan yang dilakukan kuasa kepada pihak ketiga dalam kedudukannya sebagai
pihak formil, mengikat kepada pemberi kuasa sebagai principal (pihak
materiil).
2. Pemberi Kuasa bersifat Konsensual
Sifat perjanjian atau persetujuan kuasa adalah
konsensual (consensuale overeenkomst) yaitu perjanjian berdasarkan kesepakatan
(agreement) dalam arti:
a.
Hubungan pemberian
kuasa, bersifat partai yang terdiri dari pemberi dan penerima kuasa;
b.
Hubungan hukum itu
dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa, berkekuatan mengikat sebagai
persetujuan di antara mereka (kedua belah pihak);
c.
Oleh karena itu,
pemberian kuasa harus dilakukan berdasarkan pernyataan kehendak yang tegas dari
kedua belah pihak.
Itu sebabnya Pasal 1792 maupun Pasal 1793 ayat (1) KUH
Perdata menyatakan pemberian kuasa selain didasarkan atas persetujuan kedua
belah pihak, dapat dituangkan dalam bentuk akta otentik atau di bawah tangan
maupun dengan lisan. Namun demikian tanpa mengurangi penjelasan di atas,
berdasarkan Pasal 1793 a (2) KUH Perdata, penerimaan kuasa dapat terjadi secara
diam-diam dan hal itu dapat disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh pemberi
kuasa. Akan tetapi, cara diam-diam ini, tidak dapat diterapkan dalam pemberian
kuasa khusus.
3.
Berkarakter Garansi Kontrak
Ukuran untuk menentukan kekuatan mengikat tindakan
kuasa kepada principal (pemberi kuasa), hanya terbatas:
a.
Sepanjang
kewenangan (volmacht) atau mandat yang diberikan oleh pemberi kuasa;
b.
Apabila kuasa
bertindak melampaui batas mandat, tanggung jawab pemberi kuasa hanya sepanjang
tindakan, yang sesuai dengan mandat yang diberikan. Sedang pelampauan itu
menjadi tanggung jawab kuasa, sesuai dengan asas “garansi-kontrak” yang
digariskan Pasal 1806 KUH Perdata.
Dengan
demikian, hal-hal yang dapat diminta tanggung jawab pelaksanaan dan
pemenuhannya kepada pemberi kuasa, hanya sepanjang tindakan yang sesuai dengan
mandat atau instruksi yang diberikan. Di luar itu, menjadi tanggungjawab kuasa,
sesuai dengan anggapan hukum: atas tindakan kuasa yang melampaui batas, kuasa
secara sadar telah memberi garansi bahwa dia sendiri yang akan memikul
pelaksanaan pemenuhannya.
Jenis-Jenis Pemberian Kuasa
Apabila
dilihat dari cara terjadinya, perjanjian pemberian kuasa dibedakan menjadi enam
macam, yaitu:
1. akta umum, Pemberian kuasa dengan akta umum adalah suatu pemberian kuasa dilakukan
antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan menggunakan akta notaris atau
akta notariel.
2.
surat di
bawah tangan, Pemberian kuasa dengan surat di bawah tangan adalah suatu pemberian kuasa
yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa,
3.
lisan,Pemberian
kuasa secara lisan adalah suatu kuasa yang dilakukan secara lisan oleh pemberi
kuasa kepada penerima kuasa.
4.
diam-diam,Pemberian
kuasa secara diam-diam adalah suatu kuasa yang dilakukan secara diam-diam oleh
pemberi kuasa kepada penerima kuasa
5.
cuma-cuma,Sedangkan
pemberian kuasa secara cuma-cuma adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara
pemberi kuasa dengan penerima kuasa,
6.
kata khusus,Pemberian kuasa khusus, yaitu
suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima
kuasa,
7.
umum (Pasal
1793 s.d. Pasal 1796 KUH Perdata).pemberian kuasa umum, yaitu pemberian kuasa
yang dilakukan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa,
Hak dan Kewajiban Pemberi Kuasa
Hak dan
Kewajiban Pemberi Kuasa dan Penerima Kuasa akan menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban para pihak. Kewajiban penerima
kuasa disajikan berikut ini.
a.
Melaksanakan
kuasanya dan bertanggung jawab atas segala biaya, kerugian, dan bunga yang
timbul dari tidak dilaksanakannya kuasa itu.
b.
Menyelesaikan
urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal dan
dapat menimbulkan kerugian jika tidak segera diselesaikan.
c.
Bertanggung
jawab atas segala perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan
kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya.
d.
Memberi
laporan kepada pemberi kuasa tentang apa yang telah dilakukan, serta memberi
perhitungan segala sesuatu yang diterimanya.
e.
Bertanggung
jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya dalam melaksanakan
kuasanya:
1.
bila tidak
diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya;
2.
bila kuasa
itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu, sedangkan orang yang dipilihnya
ternyata orang yang tidak cakap atau tidak mampu (Pasal 1800 s.d. Pasal 1803
KUH Perdata).
Hak penerima
kuasa adalah menerima jasa dari pemberi kuasa. Hak pemberi kuasa adalah
menerima hasil atau jasa dari penerima kuasa. Kewajiban pemberi kuasa adalah
a.
memenuhi
perjanjian yang telah dibuat antara penerima kuasa dengan pemberi kuasa;
b.
mengembalikan
persekot dan biaya yang telah dikeluarkan penerima kuasa;
c.
membayar upah
kepada penerima kuasa;
d.
memberikan
ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian yang dideritanya sewaktu
menjalankan kuasanya;
e.
membayar
bunga atas persekot yang telah dikeluarkan penerima kuasa terhitung mulai
dikeluarkannya persekot tersebut (Pasal 1807 s.d. Pasal 1810 KUH Perdata).
Berakhirnya Kuasa
Pasal 1813 KUH Perdata, membolehkan berakhimya
perjanjian kuasa secara sepihak atau unilateral. Ketentuan ini secara
diametral bertentangan dengan Pasal 1338 KUH Perdata ayat (2) yang menegaskan,
persetujuan tidak dapat ditarik atau dibatalkan secara sepihak, tetapi harus
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (secara bilateral).
Hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa menurut
Pasal 1813 KUH Perdata:
1. Pemberi
Kuasa menarik kembali secara sepihak
Ketentuan penarikan atau pencabutan kembali (revocation,
herroepen) kuasa oleh pemberi kuasa, diatur lebih lanjut dalam Pasal 1814
KUH Perdata dan seterusnya, dengan acuan:
a.
Pencabutan tanpa
memerlukan persetujuan dari penerima kuasa;
b.
Pencabutan dapat
dilakukan secara tegas dalam bentuk;
i.
mencabut secara
tegas dengan tertulis, atau
ii.
meminta kembali surat
kuasa, dari penerima kuasa
c.
Pencabutan secara
diam-diam, berdasarkan Pasal 1816 KUH Perdata.
Caranya, pemberi kuasa mengangkat atau menunjuk kuasa baru
untuk melaksanakan urusan yang sama. Tindakan itu berakibat, kuasa yang
pertama, terhitung sejak tanggal pemberian kuasa kepada kuasa yang baru ditarik
kembali secara diam-diam.
Sehubungan
dengan pencabutan secara sepihak, ada baiknya dilakukan secara terbuka, dengan
jalan memberitahukan atau mengumumkannya. Cara yang demikian, memberi
perlindungan hukum kepada pemberi kuasa maupun kepada pihak ketiga, karena
sejak itu, setiap tindakan yang dilakukan kuasa untuk dan atas nama pemberi
kuasa, tidak sah dan dianggap melawan hukum, sehingga tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa. Sebaliknya jika pencabutan tidak
terbuka, semua tindakan hukum yang dilakukannya dengan pihak ketiga yang
beriktikad baik, tetap mengikat kepada pemberi kuasa.
2.
Salah satu pihak meninggal dunia
Pasal
1813 KUH Perdata menegaskan, dengan meninggalnya salah satu pihak dengan
sendirinya pemberian kuasa bcrakhir demi hukum. Hubungan hukum perjanjian
kuasa, tidak berlanjut kepada ahli waris. Jika hubungan itu hendak diteruskan
oleh ahli waris, harus dibuat surat kuasa baru. Paling tidak, ada penegasan
tertulis dan ahli waris yang berisi pernyataan, melanjutkan persetujuan
pemberian kuasa dimaksud.
3.
Penerima kuasa melepas kuasa
Pasal 1817 KUH Perdata, memberi hak secara sepihak
kepada kuasa untuk melepaskan (op zegging) kuasa yang diterimanya,
dengan syarat:
1) Harus memberitahu kehendak pelepasan itu kepada
pemberi kuasa;
2) Pelepasan tidak boleh dilakukan pada saat yang
tidak layak.
Ukuran
tentang ini, didasarkan pada perkiraan objektif, apakah pelepasan itu dapat
menimbulkan kerugian kepada pemberi kuasa
4.
meninggalnya
salah satu pihak;
5.
pemberi
kuasa atau penerima berada di bawah pengampuan; atau
6.
pailitnya
pemberi kuasa atau penerima kuasa;
7.
kawinnya
perempuan yang memberi dan menerima kuasa (Pasal 1813 KUH Perdata)
Pembahasan kasus
Berdasarkan
kasus diatas dimana terdapat dua buah kuasa yang sama antara ayu aztari dengan
Vita mesya yang diberikan oleh ahmad fathoni. Dari kedua kuasa tesebut kita
haru mengetahui dahulu mana kuasa yang sah dan berlaku. Dari keduanya merupakan
suatu prjanjian kuasa yang sah akan tetapi untuk berlakunya maka kita lihat
pada pasal 1816 yang mana menyatakan bahwa “pengangkatan suatu kuasa baru,untuk
menjalankan urusan yang sama.menyebabkan ditariknya kembali kuasa yang
pertama,terhitung mulai dari hari pemberitahuan kepada orang yang belakangan
ini tentang pengangkatan tersebut.”maka jika dilihat dari pasal tersebut maka
seharusnya kuasa pasa ayu aztari tidaklah berlaku lagi akan tetapi karena ahmad
fathoni tidak memberitahukan maka ayu aztari tetaplah masih berwenang akan
kuasa tersebut.oleh karena itu maka ahmad fathoni ia masih memiliki kewajiban
untuk meberitahukan bahwa kuasanya kepada ayu aztari telah gugur atau telah
dicabut.
Disini
timbul kasus dimana tanah sudah terjual akan tetapi karena tidak diketahui oleh
ayu asztari maka ia menggunakan 10% dari uang muka. Pada kasus ini sebenarnya
kuasanya sudah gugur jika berdasarkan pasal 1816 sehingga tanggung jawab
pemakain uang dp oleh ayu aztari adalah tanggungjawabnya karena ia telah
menggunakan uang tersebut yangmana ia belum berhak sepenuhnya atas hal tersebut
selai itu tidak ada aturan yang menyatakan bahwa ayu berhak menggunakan dpnya.
ahmad hanya meanyatakan berhak akan tetapi maksudnya setelah terjadi penjualan
sehingga 10 % dp itu sebagai upah dari ayu. Oleh karen itu dapat disimpulkan
bhwasanya ayu lah yang harus bertanggung jawab akan 10%dp yang telah ia
guankan. Selain itu ahmad fathoni juga bisa ditarik sebagai penanggung jawab
karena ia tidak memberitahukan terlebih dahulu mengenai adanya pemberian kuasa
baru kepada ayu dan karena ia tidak memberitahukan bahwa tanah yang ia kuasakan
kepada ayu sebelumnya telah terjual ditanggan vita, sehingga ahmad fathonipun
dapat dijerat untuk melakukan pembayaran dan penggantian akan Dpyang telah ayu
gunakan sebagaimana sesuai pasal 1809 yang menyatakan bahwa “si pemberikuasa
haruas menganti kepada sikuasa tentaang kerugian yang diderita sewaktu
menjalankan kuasanya,asal hal tyersebut sikuasa tidak dalm brebuat hai-hati”.
Jadi dari kasus diata ada dua kesimpulan yang mana bahwasanya pertaama tanggungjawab
berada pada pihak ayu karena telah menggunakan uang DP seenaknya tanpa
pemberitahuan dan laporan (pasal 1802) kepada pemberikuasa selain itu juga
kuasanya ayu pun telah tercabut setelah adanya kuasa baru akan hal yang sama
(pasal 1816) dan yang kedua tanggung jawab terdapat kepada ahmad fathoni yang
mana ia diwajibkan memberitahukan jikalau ada kuasa baru(pasal 1816) dan ia
juga harus mengsnti rugi atas kelalainya meberitahu kepada kusasa pertama akan
adanya kuasa yang kedua dan tentan tanah yang telah terjual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar