Rabu, 22 Mei 2013

latihan perjanjian khusus tentang pemberian kuasa


Ahmad fathoni bermaksud menjual sebidang tanah miliknya (seluasnya 950 m2) dengan harga Rp.2,5 milyar. Untuk maksud tersebut, pada atanggal 15 januari 2013 ia memberikan kuasa menjual kepada ayu aztari. Dalam kuasa menjual tersebut ditentukan bahwaa kuasa berlaku selama 6 bulan dan penerima kuasa berhak memperoleh 10 % atas uang muka yang diberikan pembeli. Pada atanggal 20 januari 2013. Ahmad fathoni memberikan kuasa jual kepada vita meysa dengan ketentuan yang sama dengan kuasa jual sebelumnya.
Padaa tanggal 26 maret 2013, vita meysa menghubungi ahmad fathoni dan mengatakan bahwa sudah ada pembeli. Pembeli bersedia membeli tanah dengan harga yang ditawarkan dan memberikan uang muka Rp. 100 juta disertai janji akan melunasisisanya pada tanggal 5 april 2013 pada saaat menghadap PPAT untuk membuat akta jual belu. Ahmad fathoni senang dan menyatakan siap ke PPAT pada tanggal 5 April 2013
Pada tanggal 30 april 2013 ayu aztaari menghubungu ahmad fathoni dan mengatakan bahwa ia sudah mendapatkan pembelli. Pembeli setuju dengan harga yang ditawarkan dan telah memberikan uang muka US$ 18.000,-. Sisanya akan dibayarkan pada saat penandatangaan akta jual beli. Ahmad fathoni mengatakan bahwa tanah telah terjual. Oleh karena itu ayu aztari diminta mebatalkan kesepakatan jual beli. Ayu aztari marah, karena ia tidak diberitahu sebelumnya bahwa tanah telah dan ia telah menggunakan 10 % uang muka yang menjadu haknya.
Tugas : Berikan pendapat hukum saRI Kasus tersebut diatas,!
Pembahasan secara umum
Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab XVI, Buku III KUH Perdata, sedang aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG.
Pengertian kuasa secara umum, dapat dilihat pada Pasal 1792 KUH Perdata, yang berbunyi:  Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.         
Kuasa dapat diberikan dan ditrima dalam suatu akte umum dalam suatu tulisan dibawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh si kuasa (pasal 1793). Dari ketentuan ini dapat kita lihat bahwa pemberian kuasa itu adalah bebas dari sesuatu bentuk cara (formalitas) tertentu; dengan perkataan lain, ia adalah suatu perjanjian konsensual, artinya sudah  mengikat (sah) pada derik tercapainya sepakat antara si pemberi dan penerima kuasa.
Algra, dkk mendefinisikan pemberian kuasa adalah
"Suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kuasa kepada pihak yang lain (penerima kuasa/lasthebber), yang menerimanya-untuk atas namanya sendiri atau tidak-menyelenggarakan satu perbuatan hukum atau lebih untuk yang memberi kuasa itu." (Algra, dkk., 1983: 260)

Bertitik tolak dari ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa, terdapat dua pihak, yang terdiri dari:
1.      Pemberi kuasa atau lastgever (instruction, mandate);
2.      Penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau  lastgeving (volmacht, full power), jika:
1.      Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam surat kuasa;
2.      Dengan demikian, penerima kuasa (lasthebber, mandatory) berkuasa penuh, bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa;
3.      Oleh karena itu, pemberi kuasa bertanggungjawab atas segala perbuatan kuasa, sepanjang perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi wewenang yang diberikan pemberi kuasa.[1]
Pada dasarnya, pasal-pasal yang mengatur pemberian kuasa, tidak bersifat imperatif. Apabila para pihak menghendaki, dapat disepakati selain yang digariskan dalam undang-undang. Misalnya, para pihak dapat menyepakati agar pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali (irrevocable). Hal ini dimungkinkan, karena pada umumnya pasal-pasal hukum perjanjian, bersifat mengatur (aanvullend recht).[2]
Sifat Perjanjian Kuasa
Terdapat beberapa sifat pokok yang dianggap penting untuk diketahui, antara lain sebagai berikut:
1.       Penerima Kuasa langsung berkapasitas sebagai Wakil Pemberi Kuasa
Pemberian kuasa tidak hanya bersifat mengatur hubungan internal antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Akan tetapi, hubungan hukum itu langsung menerbitkan dan memberi kedudukan serta kapasitas kepada kuasa menjadi wakil penuh (full power) pemberi kuasa, yaitu:
a.       Memberi hak dan kewenangan (authority) kepada kuasa, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa terhadap pihak ketiga;
b.      Tindakan kuasa tersebut langsung mengikat kepada diri pemberi kuasa, sepanjang tindakan yang dilakukan kuasa tidak melampaui batas kewenangan yang dilimpahkan pemberi kuasa kepadanya;
c.       Dalam ikatan hubungan hukum yang dilakukan kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa berkedudukan sebagai pihak materiil atau principal atau pihak utama, dan penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil.
Akibat hukum dari hubungan yang demikian segala tindakan yang dilakukan kuasa kepada pihak ketiga dalam kedudukannya sebagai pihak formil, mengikat kepada pemberi kuasa sebagai principal (pihak materiil).
2.       Pemberi Kuasa bersifat Konsensual
Sifat perjanjian atau persetujuan kuasa adalah konsensual (consensuale overeenkomst) yaitu perjanjian berdasarkan kesepakatan (agreement) dalam arti:
a.       Hubungan pemberian kuasa, bersifat partai yang terdiri dari pemberi dan penerima kuasa;
b.      Hubungan hukum itu dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa, berkekuatan mengikat sebagai persetujuan di antara mereka (kedua belah pihak);
c.       Oleh karena itu, pemberian kuasa harus dilakukan berdasarkan pernyataan kehendak yang tegas dari kedua belah pihak.
Itu sebabnya Pasal 1792 maupun Pasal 1793 ayat (1) KUH Perdata menyatakan pemberian kuasa selain didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak, dapat dituangkan dalam bentuk akta otentik atau di bawah tangan maupun dengan lisan. Namun demikian tanpa mengurangi penjelasan di atas, berdasarkan Pasal 1793 a (2) KUH Perdata, penerimaan kuasa dapat terjadi secara diam-diam dan hal itu dapat disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh pemberi kuasa. Akan tetapi, cara diam-diam ini, tidak dapat diterapkan dalam pemberian kuasa khusus.
3.       Berkarakter Garansi Kontrak
Ukuran untuk menentukan kekuatan mengikat tindakan kuasa kepada principal (pemberi kuasa), hanya terbatas:
a.       Sepanjang kewenangan (volmacht) atau mandat yang diberikan oleh pemberi kuasa;
b.      Apabila kuasa bertindak melampaui batas mandat, tanggung jawab pemberi kuasa hanya sepanjang tindakan, yang sesuai dengan mandat yang diberikan. Sedang pelampauan itu menjadi tanggung jawab kuasa, sesuai dengan asas “garansi-kontrak” yang digariskan Pasal 1806 KUH Perdata.

Dengan demikian, hal-hal yang dapat diminta tanggung jawab pelaksanaan dan pemenuhannya kepada pemberi kuasa, hanya sepanjang tindakan yang sesuai dengan mandat atau instruksi yang diberikan. Di luar itu, menjadi tanggungjawab kuasa, sesuai dengan anggapan hukum: atas tindakan kuasa yang melampaui batas, kuasa secara sadar telah memberi garansi bahwa dia sendiri yang akan memikul pelaksanaan pemenuhannya.
Jenis-Jenis Pemberian Kuasa

Apabila dilihat dari cara terjadinya, perjanjian pemberian kuasa dibedakan menjadi enam macam, yaitu:
1.      akta umum, Pemberian kuasa dengan akta umum adalah suatu pemberian kuasa dilakukan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan menggunakan akta notaris atau akta notariel.
2.      surat di bawah tangan, Pemberian kuasa dengan surat di bawah tangan adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa,
3.      lisan,Pemberian kuasa secara lisan adalah suatu kuasa yang dilakukan secara lisan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa.
4.      diam-diam,Pemberian kuasa secara diam-diam adalah suatu kuasa yang dilakukan secara diam-diam oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa
5.      cuma-cuma,Sedangkan pemberian kuasa secara cuma-cuma adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa,
6.      kata khusus,Pemberian kuasa khusus, yaitu suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa,
7.      umum (Pasal 1793 s.d. Pasal 1796 KUH Perdata).pemberian kuasa umum, yaitu pemberian kuasa yang dilakukan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa,

Hak dan Kewajiban Pemberi Kuasa

Hak dan Kewajiban Pemberi Kuasa dan Penerima Kuasa akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban para pihak. Kewajiban penerima kuasa disajikan berikut ini.
a.       Melaksanakan kuasanya dan bertanggung jawab atas segala biaya, kerugian, dan bunga yang timbul dari tidak dilaksanakannya kuasa itu.
b.      Menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal dan dapat menimbulkan kerugian jika tidak segera diselesaikan.
c.       Bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya.
d.      Memberi laporan kepada pemberi kuasa tentang apa yang telah dilakukan, serta memberi perhitungan segala sesuatu yang diterimanya.
e.       Bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya:
1.      bila tidak diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya;
2.      bila kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu, sedangkan orang yang dipilihnya ternyata orang yang tidak cakap atau tidak mampu (Pasal 1800 s.d. Pasal 1803 KUH Perdata).
Hak penerima kuasa adalah menerima jasa dari pemberi kuasa. Hak pemberi kuasa adalah menerima hasil atau jasa dari penerima kuasa. Kewajiban pemberi kuasa adalah
a.       memenuhi perjanjian yang telah dibuat antara penerima kuasa dengan pemberi kuasa;
b.      mengembalikan persekot dan biaya yang telah dikeluarkan penerima kuasa;
c.       membayar upah kepada penerima kuasa;
d.      memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian yang dideritanya sewaktu menjalankan kuasanya;
e.       membayar bunga atas persekot yang telah dikeluarkan penerima kuasa terhitung mulai dikeluarkannya persekot tersebut (Pasal 1807 s.d. Pasal 1810 KUH Perdata).
Berakhirnya Kuasa
Pasal 1813 KUH Perdata, membolehkan berakhimya perjanjian kuasa secara sepihak atau unilateral. Ketentuan ini secara diametral bertentangan dengan Pasal 1338 KUH Perdata ayat (2) yang menegaskan, persetujuan tidak dapat ditarik atau dibatalkan secara sepihak, tetapi harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (secara bilateral).
Hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa menurut Pasal 1813 KUH Perdata:
1.  Pemberi Kuasa menarik kembali secara sepihak
Ketentuan penarikan atau pencabutan kembali (revocation, herroepen) kuasa oleh pemberi kuasa, diatur lebih lanjut dalam Pasal 1814 KUH Perdata dan seterusnya, dengan acuan:
a.       Pencabutan tanpa memerlukan persetujuan dari penerima kuasa;
b.      Pencabutan dapat dilakukan secara tegas dalam bentuk;
                                            i.            mencabut secara tegas dengan tertulis, atau
                                          ii.            meminta kembali surat kuasa, dari penerima kuasa
c.       Pencabutan secara diam-diam, berdasarkan Pasal 1816 KUH Perdata.
Caranya, pemberi kuasa mengangkat atau menunjuk kuasa baru untuk melaksanakan urusan yang sama. Tindakan itu berakibat, kuasa yang pertama, terhitung sejak tanggal pemberian kuasa kepada kuasa yang baru ditarik kembali secara diam-diam.
Sehubungan dengan pencabutan secara sepihak, ada baiknya dilakukan secara terbuka, dengan jalan memberitahukan atau mengumumkannya. Cara yang demikian, memberi perlindungan hukum kepada pemberi kuasa maupun kepada pihak ketiga, karena sejak itu, setiap tindakan yang dilakukan kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa, tidak sah dan dianggap melawan hukum, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa. Sebaliknya jika pencabutan tidak terbuka, semua tindakan hukum yang dilakukannya dengan pihak ketiga yang beriktikad baik, tetap mengikat kepada pemberi kuasa.
2.       Salah satu pihak meninggal dunia
Pasal 1813 KUH Perdata menegaskan, dengan meninggalnya salah satu pihak dengan sendirinya pemberian kuasa bcrakhir demi hukum. Hubungan hukum perjanjian kuasa, tidak berlanjut kepada ahli waris. Jika hubungan itu hendak diteruskan oleh ahli waris, harus dibuat surat kuasa baru. Paling tidak, ada penegasan tertulis dan ahli waris yang berisi pernyataan, melanjutkan persetujuan pemberian kuasa dimaksud.
3.       Penerima kuasa melepas kuasa
Pasal 1817 KUH Perdata, memberi hak secara sepihak kepada kuasa untuk melepaskan (op zegging) kuasa yang diterimanya, dengan syarat:
1) Harus memberitahu kehendak pelepasan itu kepada pemberi kuasa;
2) Pelepasan tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak.
Ukuran tentang ini, didasarkan pada perkiraan objektif, apakah pelepasan itu dapat menimbulkan kerugian kepada pemberi kuasa
4.      meninggalnya salah satu pihak;
5.      pemberi kuasa atau penerima berada di bawah pengampuan; atau
6.      pailitnya pemberi kuasa atau penerima kuasa;
7.      kawinnya perempuan yang memberi dan menerima kuasa (Pasal 1813 KUH Perdata)
Pembahasan kasus
Berdasarkan kasus diatas dimana terdapat dua buah kuasa yang sama antara ayu aztari dengan Vita mesya yang diberikan oleh ahmad fathoni. Dari kedua kuasa tesebut kita haru mengetahui dahulu mana kuasa yang sah dan berlaku. Dari keduanya merupakan suatu prjanjian kuasa yang sah akan tetapi untuk berlakunya maka kita lihat pada pasal 1816 yang mana menyatakan bahwa “pengangkatan suatu kuasa baru,untuk menjalankan urusan yang sama.menyebabkan ditariknya kembali kuasa yang pertama,terhitung mulai dari hari pemberitahuan kepada orang yang belakangan ini tentang pengangkatan tersebut.”maka jika dilihat dari pasal tersebut maka seharusnya kuasa pasa ayu aztari tidaklah berlaku lagi akan tetapi karena ahmad fathoni tidak memberitahukan maka ayu aztari tetaplah masih berwenang akan kuasa tersebut.oleh karena itu maka ahmad fathoni ia masih memiliki kewajiban untuk meberitahukan bahwa kuasanya kepada ayu aztari telah gugur atau telah dicabut.
Disini timbul kasus dimana tanah sudah terjual akan tetapi karena tidak diketahui oleh ayu asztari maka ia menggunakan 10% dari uang muka. Pada kasus ini sebenarnya kuasanya sudah gugur jika berdasarkan pasal 1816 sehingga tanggung jawab pemakain uang dp oleh ayu aztari adalah tanggungjawabnya karena ia telah menggunakan uang tersebut yangmana ia belum berhak sepenuhnya atas hal tersebut selai itu tidak ada aturan yang menyatakan bahwa ayu berhak menggunakan dpnya. ahmad hanya meanyatakan berhak akan tetapi maksudnya setelah terjadi penjualan sehingga 10 % dp itu sebagai upah dari ayu. Oleh karen itu dapat disimpulkan bhwasanya ayu lah yang harus bertanggung jawab akan 10%dp yang telah ia guankan. Selain itu ahmad fathoni juga bisa ditarik sebagai penanggung jawab karena ia tidak memberitahukan terlebih dahulu mengenai adanya pemberian kuasa baru kepada ayu dan karena ia tidak memberitahukan bahwa tanah yang ia kuasakan kepada ayu sebelumnya telah terjual ditanggan vita, sehingga ahmad fathonipun dapat dijerat untuk melakukan pembayaran dan penggantian akan Dpyang telah ayu gunakan sebagaimana sesuai pasal 1809 yang menyatakan bahwa “si pemberikuasa haruas menganti kepada sikuasa tentaang kerugian yang diderita sewaktu menjalankan kuasanya,asal hal tyersebut sikuasa tidak dalm brebuat hai-hati”. Jadi dari kasus diata ada dua kesimpulan yang mana bahwasanya pertaama tanggungjawab berada pada pihak ayu karena telah menggunakan uang DP seenaknya tanpa pemberitahuan dan laporan (pasal 1802) kepada pemberikuasa selain itu juga kuasanya ayu pun telah tercabut setelah adanya kuasa baru akan hal yang sama (pasal 1816) dan yang kedua tanggung jawab terdapat kepada ahmad fathoni yang mana ia diwajibkan memberitahukan jikalau ada kuasa baru(pasal 1816) dan ia juga harus mengsnti rugi atas kelalainya meberitahu kepada kusasa pertama akan adanya kuasa yang kedua dan tentan tanah yang telah terjual.


[1] M. Yahya Harahap,., hal. 2. Lihat juga, Putusan MA No. 331.K/Sip/1973, tanggal 4-12-1975 dalam ”Rangkuman Yurisprudensi (RY) MA Indonesia, II, Hukum Perdata dan Acara Perda”, Proyek Yurisprudensi MA 1997, hal. 57. 
[2] Putusan MA No. 731.K/Sip/1975, tanggal 16-12-1976.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar