BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Perdata merupakan sekumpulan aturan yang
memuat ketentuan bagaimana seseorang bertingkah laku baik di keluarga maupun di
masyarakat sekitar. Salah satu aspek dari hukum perdata yang dapat mengatur
tingkah laku manusia adalah perjanjian dan pada suatu perjanjian tentu
diberlakukan asas pact sunt servanda. Artinya,
perjanjian yang lahir akan mengikat para pihak layaknya suatu undang-undang
baik perjanjian yang berasal dari kesepakatan bersama maupun yang berasal dari
kesepakatan salah satu pihak dalam perjanjian (perjanjian standar). Perjanjian
atau persetujuan yang termuat pada Buku III Bab II pasal 1313-pasal 1352
KUHPerdata merupakan hal yang sangat sering kita temui dalam kehidupan
sehari-hari baik di pasar, di sekolah, bahkan di dunia pekerjaan.
Menurut sejarah, Perjanjian Standar (Baku) sebenarnya sudah dikenal sejak
zaman yunani kuno (423-347 SM), Revolusi Industri yang terjadi di awal abad
ke-19 telah menyebabkan munculnya perjanjian atau kontrak baku. Awalnya,
timbulnya produksi massal dari pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan tidak
menimbulkan perubahan apa-apa. Tetapi ”standardisasi” dari produksi ternyata
membawa desakan yang kuat untuk pembakuan dari perjanjian-perjanjian.[1]
Hampir 99 persen perjanjian yang di buat di Amerika serikat berbentuk
perjanjian standar begitu juga di Indonesia perjanjian standar bahkan merambah
ke sektor properti dengan cara-cara yang secara yuridis masih kontroversional
misalnya, di perbolekan membeli satuan rumah susun secara inden dalam bentuk
perjanjian standar.[2]
Dewasa ini, perkembangan dunia bisnis
semakin meningkat termasuk di dalam maupun di luar negeri. Dengan perkembangan
demikian, pengusaha-pengusaha tentu memiliki cara tersendiri untuk
mengembangkan bisnis yang dikelola dengan baik. Di Indonesia sendiri, dengan
berkembangnya dunia bisnis berdampak pula pada peningkatan ekonomi dan
stabilitas negara sehingga kelak dapat menciptakan lapangan kerja dan
kesejahteraan rakyat. Peningkatan usaha saat ini menimbulkan akibat
meningkatnya perjanjian dengan syarat-syarat yang telah ditentukan terlebih
dahulu bahkan sebelum perjanjian disepakati oleh pengusaha. Untuk mengatur
syarat-syarat tersebut, pihak pengusahalah yang secara sepihak berperan aktif.
Hal ini karena pengusaha berada pada posisi lebih superior daripada konsumen
ataupun perjanjian standar ini sering digunakan antara golongan ekonomi kuat
dengan ekonomi lemah.
Adanya syarat-syarat (klausula) sepihak
tersebut tentunya menguntungkan pengusaha ataupun pihak lebih tinggi
kedudukannya dibandingkan pihak lain dalam perjanjian. Akan tetapi bagi konsumen, justru merupakan pilihan yang
tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu,
menerima walaupun dengan berat hati. Perjanjian standar diterima oleh para pengusaha umumnya dan dijadikan model
perjanjian tidak hanya di negara-negara maju, melainkan juga di negara-negara
berkembang sebagai dasar prinsip ekonomi, yaitu, dengan usaha sedikit mungkin,
dalam waktu sesingkat mungkin, dengan biaya seringan mungkin, dengan cara
sepraktis mungkin, memperoleh keuntungan sebesar mungkin.
Dalam hubungan hukum sesama pengusaha, perjanjian standar hampir tidak menimbulkan masalah apapun
karena mereka berpegang pada
prinsip ekonomi yang sama dan menerapkan sistem bersaing secara sehat dalam
melayani konsumen. Namun, yang sering menjadi masalah dengan adanya perjanjian
standar ini yaitu kemampuan konsumen untuk memenuhi syarat-syarat yang dibuat
oleh pengusaha tidak selalu sama. Misalnya, banyak tempat
jual beli barang kredit menetapkan harga cicilan per bulan dengan bunga yang
cukup tinggi sehingga memberatkan konsumen dalam melaksanakan kewajibannya.
Meskipun demikian, bentuk perjanjian ini tetap hadir di tengah-tengah
masyarakat dan tetap dilaksanakan oleh masyarakat. Fenomena ini didukung dengan
benyaknya kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi dan bergesernya pola hidup
masyarakat dari barang yang dulunya sekunder sekarang menjadi primer sehingga
mau tidak mau harus dipenuhi.
B.
Permasalahan
Permasalahan
yang ingin dijawab melalui penulisan ini adalah :
1. Faktor-faktor
apa sajakah yang menjadi pendorong berkembangnya perjanjian standar ?
2. Bagaimanakah
asas kebebasan berkontrak jika dikaitkan dengan perjanjian standar ?
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
I. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian
- Pengertian
Perjanjian
Perjanjian merupakan terjemahan dari
kata yang berasal dari bahasa belanda yaitu overeenkoms[3]t
yang berarti setuju atau sepakat. Dalam kepiustakaan hukum Indonesia tidak
ada kerseragaman menghenai istilah untuk menerjemahkan apa arti dari overeenkomst tersebut. Ada yang
menerjemahkan dengan perjanjian dan ada pula yang menerjemahkan dengan
perjanjian dan ada pula yang menerjemahkan dengan persetujuan. Namun, dalam
penulisan hukum kali ini, penulis menggunakan istilah perjanjian dengan
alasan bahwa persetujuan hanya merupakan
bagian dari perjanjian karena salah satu syarat pokok perjanjian adalah adanya
persetujuan, kata sepakat, perseusian kehendak atau consensus para pihak.
KUH Perdata secara eksplisit memberikan
definisi mengenai apa arti dari perjanjian. Dalam ketentuan pasal 1313
KUHPerdata menyatakan bahwa :
“suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih.”
Banyak pakar yang mengkritik definis perjanjian
yang diberikan oleh pasal 1313 KUH Perdata karena pengertian perjanjian yang
diberikan dinilai di stau pihak terlalu sempit dan di lain pihak terlalu luas.
Dikatakan terlalu sempit karena dalam kalimat “..dengan mana seorang atau lebih
mengikatkan dirinya..” dapat disimpulkan seolah-olah perjan jian hanyalah
perbuatan satu pihak saja, padahal dalam perjanjian haruslah terdapat unsure
saling mengikatkan diri antara pihak berdasar consensus. Sedangkan dikatakan
terlalu luas karena dalam kalimat “..suatu perbuatan..” dapat disimpulkan
seolah-olah tidak memberikan batasan atau ruang lingkup bentuk perbuatan
seperti apa yang dapat menimbulkan perjanjian
Oleh karenanya, kemudian Prof. Soedikno
Mertokusumo berpendapat bahwa perjanjian bukanlah suatu perbuatan hukum
melainkan hubungan hukum yang terjadi antara dua orang yang bersepakata untuk
menimbulkan akibat hukum.[4]
Sehingga dengan demikian pengertian yang
diberikan oleh Prof. Soedikno Mertokusumo inilah yang kemudian digunakan oleh
praktisi dan akademisi dalam memberikan batasan pengertian perjanjian.
- Unsur-unsur
Perjanjian
Dalam suatu perjanjian nterdapat pokok
perjanjian yang merupakan unsure pembentuk perjanjian. Perjanjian mempunyai 3
unsur yaitu :
a. Unsur
Essentialia
Unsur
Essentialia adalah unsure yang mutlak harus ada di dalam suatu perjanjian.
Tanpa adanya unsure tersebut, perjanjian tidak mungkin ada.
b. Unsur
Naturalia
Unsur
naturalia adalah unsure yang lazimnya melekat pada perjanjian, yaitu unsure
yang tanpa diperjanjikan khusus dalam perjanjian secara diam-diam pun telah
melekat pada perjaanjian. Mislanya penjual harus menjamin pembeli terhadap
cacat-cacat tersembunyi.[5]
c. Unsur
Accidentalia
Unsur
accidentalia adalah unsure yang harus tegas dinyatakan dalam perjanjian. Jika
keberadaan unsure accidentalia ini tidak ditegaskan maka klausula dari unsure
accidentalia tidak tercantum dengan sendirinya dalam perjanjian.
C.
Asas
– asas Perjanjian
Pada hukum perjanjian, sebagai bagian dari lapangan hukum privat/perdata dapat
ditemukan beberapa asas baik yang berhubungan dengan saat lahirnya perjanjian,
isi perjanjian, kekuatan mengikatnya perjanjian maupun yang berhubungan dengan
pelaksanaan perjanjian. Asas-asas hukum tersebut meliputi :
1. Asas
Konsensualisme
Konsensualisme berasal
dari kata bahasa latin “consensus”
yang berarti sepakat. Asas ini berkaitan erat dengan lahirnya suatu perjanjian.
Dengan kata lain, perjanjian tersebut telah lahir cukup berdasar kata sepakat
antara para pihak yang membuat perjanjian. Konsensualisme di sini haruslah
mengenai objek yang diperjanjikan.
Menurut Subekti,
kesepakatan yang dimaksud adalah bahwa antara pihak=pihak yang bersangkutan
tercapai suatu pertemuan atau persesuaian kehendak, yakni apa yang dikehendaki
oleh yang satu juga dikehendaki oleh pihak lain.[6]
2. Asas
Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan
berkontrak berkaitan dengan isi, bentuk, dan jenis perjanjian. Asas ini
merupakan asas yang utama di dalam suatu perjanjian yang terbuka, maksudnya
bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja (semua perjanjian) dan
dengan siapa saja.
Menurut Sutan Remy
Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia
meliputi hal-hal sebagai berikut :
-
Kebebasan untuk membuat atau tidak
membuat perjanjian
-
Kebebasan untuk memilih pihak dengan
siap akan membuat suatu perjanjian
-
Kebebasan untuk menentukan causa dari
perjanjian yang dibuatnya
-
Kebebasan untuk memilih objek perjanjian
-
Kebebasan untuk menerima atau
menyimpangi ketentuan Undang-Undang yang bersifat opsional (aan vulled optional).[7]
3. Asas
Pacta Sunt Servanda
Asas Pacta Sunt
Servanda ini berkaitan dengan akibat hhukum yang ditimbulkan dari suatu
perjanjian. Selain itu, asas ini juga dikenal sebagai asas kepastian hukum.
Asas ini berarti bahwa para pihak yang terkait dalam perjanjian terikat oleh
kesepakatan yang telah dibuat seperti layaknya Undang-Undang.
Prof. Soedikno
Mertokusumo mengemukakan bahwa sudah selayaknya suatu yang telah disepakati
oleh kedua belah pihak dipatuhi oleh kedua belah pihak.[8]
Apabila salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakan prestasi, maka
pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pemenuhannya melalui jalur
litigasi yang berlaku.
4. Asas
Itikad Baik
Asas Itikad baik atau goode trouw ini berkaitan dengan
pelaksanaan perjanjian. Itikad baik dalam hal ini memiliki dua pengertian,
yaitu :
-
Itikad baik dalam arti subjektif
Dapat diartikan sebagai kejujuran
seorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Hal tersebut merupakan sikap
batin seseorang sejak dimulai atau pada awal perjanjian.
-
Itikad baik dalam arti objektif
Dapat diartikan bahwa pelaksaan
perjanjian haruslah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga tidak ada pihak yang
merasa dirugikan.
5. Asas
Kepribadian
Asas Kepribadian ini
terdapat dalam pasal 1315 KUHPerdata yang menyatkan bahwa “pada umumnya tak
seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta diterapkannya
suatu janji daripada untuk dirinya sendiri.” Ketentuan tersebut dipertegas pula
dengan pasal 1340 ayat (1) KUHperdata yang berbunyi “suatu perjanjian hanya
berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.”
Namun terdapat
pengecualian terhadap asas kepribadian ini, yaitu sebagimana diatur dalam pasal
1317 KUHPerdata dan diperluas dalam pasal 1318 KUHPerdata. Pasal 1317
KIUHPerdata menyebutkan bahw aperjanjian yang memuat suatu hak atau kepentingan
pihak ketiga tidak dapat ditarik kembali, apabila pihak ketiga tersebut
menyatakan kehendaknya untuk mempergunakannya. Sedangkan pasal 1318 KUHPerdata
dimaksudkan bahwa suatu perjanjian dapat dianggap perjanjian juga untuk para
ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali
ditetapkan lainsecara tegas atas kesimpulan
dari sifat perjanjian. Hal ini berlaku untuk perjanjian yang jangka
waktunya lama.
D.
Syarat
Sah Perjanjian
Suatu perjanjian akan
dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dalam
pasal 1320 KUHPerdata. Adapun syarat-syarat itu, yaitu :
a. Kesepakatan
mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian;
c. Suatu
hal tertentu;
d. Suatu
sebab atau causa yang halal.
Dari keempat syarat tersebut, syarat
pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif. Apabila suatu perjanjian
tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian itu dapat dibatalkan (Vernietigbaar atau). Sedangkan, syarat
ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif. Apabila suatu perjanjian
tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian itu akan batal demi hukum (nietig atau null) karena mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Dalam
hal ini perjanjian dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi.
Selanjutnya syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Kesepakatan
mereka yang mengikatkan diri
Seorang dikatakan telah memberi
kesepakatannya jikalau memang orang tersebut menghendaki apa yang
disepakatinya. Sepakat itu sendiri sebenarnya merupakan pertemuan antara dua
kehendak dimana kehendak orang yang satu saling mengsisi terhadap apa yang
dikehendaki pihak lain.[9]
Namun, pemberian kespakatan tersebut
tidaklah diperbolehkan mengandung cacat kehendak (wielsgebreg). KUHPerdata memberikan batasan mengenai cacat kehendak
yang dapat terjadi dalam 4 hal, yaitu :
-
Adanya kekhilafan (dwang);
-
Adanya paksaan (dwalling);
-
Adanya penipuan (bedrog).
Satu hal lain yang dapat mengakibatkan
cacat kehendak namun tidak diatur secara jelas dalam KUHPerdata yaitu
Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van
omstaandigheid).
b. Kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian
Pada asasnya setiap orang adalah cakap
untuk membuat suatu perjanjian kecuali yang ditentukan oleh Undang-Undang
dinyatakan tidak cakap. Hal tersebut secara jelas diatu dalam KUHPerdata dalam
pasal 1329. Orang yang tidak cakap menurut KUHPedata adalah :
-
Orang yang belum dewasa
Berdasarkan
pasal 1330 ayat (1) KUHPerdata yang termasuk orang yang belum dewasa adalah
mereka yang belum berusia 21 tahun atau belum menikah. Pasal 47 UU No.1 tahun
1974 tentang perkawinan menyatakan batas usia dewasa adalah 18 tahun. Dan UU
No. 30 tahun 2004 tentang jabatan notaries juga menyatakan bahwa usia minimal
seseorang boleh menghadap ke notaries yakni 18 tahun atau telah menikah.
-
Orang yang berada di bawah pengampuan
Orang
– orang yang berada di bawah pengampuan adalah setiap orang yang telah dewasa
tetapi dalam keadaan lemah pikirannya. Contohnya adalah pemboros dan pemabuk.
c. Suatu
hal tertentu
Suatu
hal tertentu dalam suatu perjanjian adalah objek perjanjian. Objek perjanjian
ialah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu
sendiri bisa berupa perbuatan memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak
melakukan sesuatu.
Pasal
1333 ayat (1) dan ayat (2) KUHPerdata telah menentukan suatu perjanjian harus
mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Tidaklah menjadi larangan bahwa jumlah barang tidak tertentu, asal jumlah itu
kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Hanya barang yang dpaat diperdagangkan
saja yang menjadi objek perjanjian.
d. Suatu
sebab yang halal
Sebab
merupakan terjemahan dari oorzak (Belanda)
dan causa (Latin). Sebab adalah
sesuatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian. Maksud dari sebab yang halal
bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan dalam arti yang mendorong seseorang
untuk membuat perjanjian, namun sebab dalam arti tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak.
Sesungguhnya,
tidaklah diperbolehkan suatu perjanjian mengandung sebab yang palsu, yaitu
sebab yang digunakan untuk menutupi keadaan atau fakta yang sebenarnya. Atau
juga sebab yang terlarang, yaitu sebab
yang bertentangan dengan Undang-Undang, Ketertiban Umum, dan Kesusilaan.
II. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian Standar
A.
Pengertian
Perjanjian Standar
Perjanjian baku atau
disebut juga perjanjian standar, merupakan suatu perjanjian yang didalamnya
terdapat beberapa hal yang dibakukan yang meliputi model, rumusan, dan ukuran.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini perjanjian baku ialah perjanjian yang hampir semua
klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pihak yang membuat klausula tersbut,
sehingga pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal
saja, misalnya menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan
beberapa hal lainnya yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Dengan kata
lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tetapi klausul-klausulnya. Oleh
karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh
notaris dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul
yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak
mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klusul
itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itu pun adalah perjanjian
baku.[10]
Sedangkan
Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan perjanjian standar sebagai perjanjian
yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.[11]
Secara tradisional suatu perjanjian terjadi berlandaskan asas kebebasan
berkontrak diantara dua pihak yang mempunyai kedudukan yang seimbang dengan
kedua belah pihak berusaha untuk mencapai kata sepakat melalui proses negosiasi
diantara mereka. Dalam perkembangannya, banyak perjanjian di dalam transaksi
bisnis terjadibukan melalui proses negosiasi yang seimbang diantara para pihak.
Salah satu pihak telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir
perjanjian yang sudah ada, kemudian disodorkan kepada pihak lain untuk
disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak
lainnya untuk melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan.
Perjanjian yang demikian ini disebut juga perjanjian baku atau perjanjian standar
atau perjanjian adhesi.[12]
Adapun
pengertian perjanjian standar ini, para ahli telah mencoba memberikan
perumusannya yakni antara lain : perjanjian standart ialah konsep janji-janji
tertulis, disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam
sejumlah tak terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu. Sedangkan menurut
Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian standar adalah perjanjian yang isinya
dibakukan, dan dituangkan dalam bentuk formulir.
B.
Sejarah
Lahirnya Perjanjian Standar/Baku (Standard
Agreement)
Perjanjian standar/baku berasal
dari istilah dalam bahasa Belanda yaitu “standard voorwaarden”.
Berbeda halnya di Jerman, mereka mempergunakan istilah “Allgemeine
Geschafts Bedingun”, “standard vertrag”, atau “standaardkonditionen”.
Sedangkan Hukum Inggris menyebutnya dengan “standard contract”. Mariam
Darus Badruzaman (1994: 46), menerjemahkannya dengan istilah “perjanjian baku”,
di mana baku berarti patokan, ukuran, acuan. Oleh karenanya jika bahasa hukum
dibakukan, berarti bahwa hukum itu ditentukan ukurannya, patokannya,
standarnya, sehingga memiliki arti tetap yang dapat menjadi pegangan umum.
Menurut
sejarah, Perjanjian Standar (Baku) sebenarnya sudah dikenal sejak zaman yunani
kuno (423-347 SM). Itu artinya perjanjian baku telah terlebih dahulu dikenal
jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka. Kemudian revolusi Industri yang
terjadi di awal abad ke-19 lah yang menggerakkan dan mempengaruhi munculnya
perjanjian atau kontrak baku. Pada awalnya, timbulnya produksi massal dari
pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan tidak menimbulkan perubahan apa-apa.
Namun seiring berjalannya waktu, jumlah produksi yang dihasilkan oleh
pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan tersebut semakin meningkat. Hal ini
mau tidak mau memaksa para pihak yang terkait untuk menetapkan ”standardisasi”
terhadap produksi barang/jasa yang bersangkutan. Timbulnya desakan yang kuat,
menuntut dibuatnya pembakuan dari perjanjian-perjanjian.
Di
Amerika serikat, hampir 99% (sembilan puluh sembilan persen) perjanjian yang di
buat adalah dalam bentuk perjanjian standar, begitu pula di Indonesia. Dan
dalam perumusan kontrak suatu perjanjian, dibutuhkan keterampilan redaksional
hukum yang hanya dimiliki oleh ahli hukum atau pengacara yang tentunya
membutuhkan biaya mahal. Atas dasar itulah maka banyak orang menggunakan
perjanjian sejenis yang pernah dibuat dan digunakan kemudian dibuat secara
massal.21 Perjanjian baku dibuat karena tidak memerlukan waktu yang lama untuk
melakukan negosiasi. Jadi kontrak baku muncul dengan latar belakang sosial,
ekonomi, dan praktis. Kontrak baku telah digunakan secara meluas dalam dunia
bisnis sejak lebih dari delapan pulu tahun. Adanya kontrak baku ini timbul
karena dunia bisnis memang membutuhkannya. Oleh karena itu, kontrak baku
diterima oleh masyarakat.
Sebenarnya
perjanjian standar/baku tidak perlu selalu dituangkan dalam formulir walaupun
memang lazimnya di buat secara tertulis, seperti contohnya perjanjian baku
dapat di buat dalam bentuk pengumuman yang di tempelkan di tempat penjual
menjalankan usahanya.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan
yang berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan
pembolehan terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari
berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia yaitu:
1.
Pasal 6.5.1.2 dan Pasal 6.5.1.3
NBW Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut:
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku
diperlukan ditentukan dengan peraturan. Aturan baku dapat ditetapkan, diubah
dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitia yang
ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan
Undang-undang. Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai
kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu
dalam Berita Negara. Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengeahui
isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada
janji itu. Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau
seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu
jika ia mengetahui isinya.
2.
Pasal 2.19 sampai dengan pasal
2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of
International Comercial Contract).
Prinsip
UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak
pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip
kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah.
Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut:
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak
menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang
pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20-pasal 2.22. Syarat-syarat
baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan
secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan
tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
a. Tunduk salah
satu pihak terhadap kontrak baku.
b. Pengertian
kontrak baku.
3. Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai
berikut:
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan
standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan
tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya. Untuk menentukan
apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti diatas akan bergantung pada isi
bahasa dan penyajiannya.
4.
Pasal 2.21 berbunyi :
dalam hal timbul suatu pertentangan antara
persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut terakhir
dinyatakan berlaku.
5. Pasal 2.22 Jika kedua belah pihak menggunakan
persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk
beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan
perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar
yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah
menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada
pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak
tersebut.
6. UU No 10 Tahun
1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7. UU
No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan
tersebut diatas menunjukkam bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis
kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah
pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk
melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk
kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua
belah pihak yang membuatnya.
Menurut Gras dan Pitlo, latar belakang lahirnya
perjanjian baku antara lain merupakan akibat dari perubahan susunan masyarakat.
Masyarakat sekarang bukan lagi merupakan kumpulan individu seperti pada abad
XIX, tetapi merupakan kumpulan dari sejumlah ikatan kerja sama (organisasi).
Perjanjian baku lazimnya dibuat oleh organisasi-organisasi perusahaan. Hal
inilah yang membuat perjanjian baku sering telah distandardisasi isinya oleh
pihak-pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima
atau menolak isinya.
Selama perkembangannya, hampir
setengah abad Hukum Perjanjian Indonesia mengalami perubahan, antara lain
sebagai akibat dari keputusan badan legislatif dan eksekutif serta pengaruh
dari globalisasi. Dari perkembangan tersebut dan dalam praktek dewasa ini,
perjanjian seringkali dilakukan dalam bentuk perjanjian baku, dimana sifatnya
membatasi asas kebebasan berkontrak. Adanya kebebasan ini sangat berkaitan
dengan kepentingan umum agar perjanjian baku itu diatur dalam undang-undang
atau setidak-tidaknya diawasi pemerintah.
Latar
belakang tumbuhnya perjanjian baku disebabkan karena keadaan sosial ekonomi.
Perusahaan besar, dan perusahaan pemerintah mengadakan kerja sama dalam suatu
organisasi dan untuk kepentingan mereka, ditentukan syarat-syarat secara
sepihak. Pihak lawannya (wederpartij) pada umumnya mempunyai kedudukan lemah
baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya, dan hanya menerima apa
yang disodorkan. Pemakaian perjanjian baku tersebut sedikit banyaknya telah
menunjukkan perkembangan yang sangat membahayakan kepentingan masyarakat,
terlebih dengan mengingat bahwa awamnya masyarakat terhadap aspek hukum secara
umum, dan khususnya pada aspek hukum perjanjian.
Sehubungan dengan sifat massal dan
kolektif dari perjanjian baku Vera Bolger menamakannya sebagai “take
it or leave it contract”. Maksudnya adalah jika debitur menyetujui salah
satu syarat-syarat, maka debitur mungkin hanya bersikap menerima atau tidak
menerimanya sama sekali, kemungkinan untuk mengadakan perubahan itu sama sekali
tidak ada. Handius merumuskan perjanjian baku sebagai berikut: “Standaardvoorwaarden
zijnschriftelijke concept bedingen welke zijn opgesteld om zonder
orderhandelingen omtrent hun inhoud obgenomen te worden Indonesia een
gewoonlijk onbepaald aantal nog te sluiten overeenkomsten van bepaald aard”
artinya: “Perjanjian baku adalah konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa
membicarakan isinya dan lazimya dtuangkan dalam sejumlah perjanjian tidak
terbatas yang sifatnya tertentu”[13].
C.
Macam-macam
Perjanjian Standar
Mengenai
perjanjian standar ini apabila ditinjau, baik dari segi terjadinya maupun
berlakunya dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
1.
Perjanjian standar umum
Perjanjian
standar umum adalah perjanjian yang mana baik bentuk maupun isinya telah
dipersiapkan terlebih dahulu oleh pihak kreditur kemudian disodorkan kepada
pihak debitur. Perjanjian standar ini banyak digunakan oleh masyarakat.
Misalnya : Perjanjian pemborongan bangunan, perjanjian pesan cetak photo, dan
sebagainya.
2.
Perjanjian standar khusus
Perjanjian
standar khusus adalah perjanjian yang mana, baik adanya maupun berlakunya bagi
para pihak ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah. Oleh karena itu dalam
perjanjian standar khusus ini baik bentuk maupun isinya telah ditetapkan oleh
pemerintah. Oleh karena itu dalam perjanjian standar khusus ini baik bentuk
maupun isinya telah ditetapkan oleh pemerintah, maka formulasi aktanya sudah
tertentu atau seragam. Sehingga kepastian hukum atas perbuatan yang dilakukan
oleh para pihak sama sekali tidak diberi hak untuk merubah/mengurangi maupun
menyimpan isi dari perjanjian itu. Sebab apa yang telah tercantum di dalam akta
perjanjian itu dipandang telah memberikan kepastian hukum bagi para pihak.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjanjian standar khusus ini merupakan
perjanjian yang mana campur tangan dari pemerintah tampak sangat dominan.
Adanya campur tangan dari pemerintah ini merupakan realisasi dari tugas
pemerintah dalam suatu negara, memberikan perlindungan terhadap warganya.
Contoh perjanjian khusus ini : akta jual beli tanah.
D.
Ciri-ciri
Perjanjian Standar
Seiring perkembangan kebutuhan
masyarakat, ciri-ciri perjanjian standar berkembang mengikuti kebutuhan dan
tuntutan tersebut. Yang sangat menonjol ciri-ciri ini mencerminkan dan
mengutamakan prinsip ekonomi dan kepastian hukum. Dengan pembakuan
syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi pengusaha lebih terjamin karena
konsumen hanya menyetujui syarat-syarat yang disodorkan oleh pengusaha.
Sedangkan dari ciri kepastian hukum, ketika terdapat konflik dalam pelaksanaan
perjanjian, pihak yang posisinya lebih kuat dapat terlebih dahulu menentukan
jenis penyelesaian sengketa manakah yang akan digunakan.
Secara
lebih rinci perjanjian baku memiliki ciri-ciri sebagai berikut [14]:
1. isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak
yang posisi (ekonominya) kuat;
2. Masyarakat (debitur) sama sekali
tidak ikut bersama-sama menentukan isi
perjanjian;
3.
Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu;
4.
Bentuk tertentu (tertulis);
5.
Dipersiapkan secara massal dan kolektif.
Berikut
penjelasan dari kelima ciri tersebut :
1. Isinya
ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat :
dalam
suatu perjanjian baku, khususnya dalam perdagangan, pihak yang posisinya lebih
kuat adalah pihak pengusaha. Dalam suatu perjanjian baku syarat-syarat
perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan sendiri secara sepihak
oleh pengusaha atau organisasi pengusaha. Karena syarat-syarat perjanjian itu
dimonopoli oleh pengusaha, maka sifatnya cenderung lebih menguntungkan
pengusaha dari pada konsumen. Penentuan secara sepihak oleh pengusaha dapat
diketahui melalui format perjanjian yang sudah siap pakai, jika konsumen
setuju, maka di tanda tangani perjanjian tersebut.
2. Masyarakat
(debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian:
Saat
ini untuk menjamin kepastian hukum trend
pembuatan perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis. Hal inilah yang mendorong
pengusaha lebih kuat kedudukannya untuk merumuskan perjanjian tertulis tanpa
ada masukan atau campur tangan dari konsumen. Dalam hal ini syarat kesepakatan
sebagai syarat perjanjian diwujudkan dalam bentuk tanda tangan dari konsumen
walaupun konsumen tidak ikut serta menetukan isi perjanjian. Dengan demikian,
dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang secara sepihak oleh
pengusaha akan menguntungkan pengusaha berupa:
a. Efisiensi
biaya, waktu dan tenaga
b. Praktis
karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko yang siap
diisi dan ditandatangani
c. Penyelesaian
cepat karena konsumen hanya menyetujui dan/atau menandatangani perjanjian yang
disodorkan kepadanya
d. Homogenitas
perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.
3.
Terdorong oleh kebutuhannya debitur
terpaksa menerima perjanjian itu :
Sebagi
pihak yang mempunyai posisi tawar yang lemah maka konsumen tidak dapat
mengajukan tawaran dan perubahan terhadap isi perjanjian baku tersebut. Jika
konsumen bersedia menerima syarat-syarat perjanjian yang disodorkan kepadanya,
maka di tanda tangani perjanjian itu. Penandatanganan tersebut menunjukkan
bahwa konsumen bersedia memikul beban tanggung jawab walaupun mungkin ia tidak
bersalah dan walaupun pihak konsumen tidak terlibat untuk merumuskan perjanjian
itu. Jika konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang disodorkan
itu, ia tidak boleh menawar syarat-syarat yang sudah dibakukan itu.[15]
Menawar syarat-syarat baku berarti menolak perjanjian. Pilihan menerima atau
menolak ini dalam bahasa Inggris diungkapkan dengan ”take it or leave it”.
4.
Bentuk tertulis
Sebagai
bentuk untuk menjamin adanya kepastian hukum, maka perjanjian standar/baku
seringkali dibuat dalam bentuk tertulis. Bentuk ini memudahkan pengusaha untuk
membuktikan kesepakatan dari konsumen. Dengan bentuk tertulis kesepakatan
konsumen hanya perlu dibuktikan dari tanda tangan dalam perjanjian sdtandar
tersebut. Perjanjian secara tertulis ini dapat berbentuk akta otentik maupun
akta dibawah tangan. Karena dibuat secara tertulis maka perjanjian yang memuat
syarat-syarat baku itu menggunakan katakata atau susunan kalimat yang teratur
dan rapi. Jika huruf yang dipakai kecil-kecil, kelihatan isinya sangat padat
dan sulit dibaca dalam waktu singkat. Hal seperti inilah yang seringkali
merugikan konsumen, kesalahan membaca syarat perjanjian baku yang ditulis
kecil-kecil akhirnya menjadi sumber konflik yang merugikan konsumen di masa
mendatang.
5. Dipersiapkan
secara massal dan kolektif :
Biasanya perjanjian standar digunakan
dalam perbuatan hukum yang dilakukan oleh banyak orang. Seperti contohnya
jual-beli kendaraan bermotor, perjanjian kredit pada bank dan lain-lain. Karena
alasan ini seringkali dipersiapkan secara massal dalam jumlah yang besar.
Perjanjian standar biasanya juga digunakan oleh perusahaan dibidang perdagangan
dan dibuat dalam bentuk yang sama. Format ini dibakukan artinya sudah
ditentukan model, rumusan dan ukurannya, sehingga tidak dapat diganti, diubah
atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Model perjanjian dapat
berupa naskah perjanjian lengkap, atau blanko formulir yang dilampiri dengan
naskah syarat-syarat perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang memuat
syarat- syarat baku.
E.
Cara-cara
Penerapan Perjanjian Standar
Sebagaimana
kita ketahui bahwa kesepakatan merupakan azas essensial dari hukum perjanjian.
Azas konsensualisme ini mengandung arti bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian
cukuplah dengan kata sepakat saja. Jadi, perjanjian itu sudah lahir pada saat
tercapainya kata sepakat dari para pihak.
Kesepakatan
kedua belah pihak, antara kreditur dengan debitur haruslah dinyatakan. Adapun bentuk
dari pernyataan itu dapat berupa misalnya kata-kata oke, setuju, akur dan
lainnya atau secara bersama-sama menaruh suatu pernyataan tertulis sebagai
tanda bukti bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera
dalam tulisan.
Pernyataan
dari para pihak itu dapat dipakai sebagai tolok ukur adanya kesepakatan, sebab
kesepakatan merupakan tuntutan kepastian hakim. Sehingga dengan terpedoman pada
apa yang telah dinyatakan akan timbul perasaan dan terlindung dari setiap orang
yang telah mengadakan perjanjian, serta para pihak tidak mungkin akan dituntut
untuk memenuhi prestasi atau kehendaki dan pihak lawan yang tidak dinyatakan.
Sebagai langkah awal untuk terbitnya suatu perjanjian dalam perjanjian standar,
lazimnya didahului dengan penawaran dan penerimaan isi/syarat-syarat dan
perjanjian antara kedua belah pihak. Jika penawaran dari satu pihak diterima
oleh pihak yang lain maka terjadilah kesepakatan, yang berarti bahwa perjanjian
yang terbit itu telah mengikat bagi kedua belah pihak. Adapun untuk
menyertakan/memberlakukan perjanjian standar ini harus dengan cara-cara
tertentu, yaitu:
a. Penandatanganan
Dokumen Perjanjian
Dalam hal ini peraturan standar dari
perjanjian tersebut dimuat/dicantumkan dalam rumusan kontrak. Sehingga dengan
ditandatanganinya kontrak tersebut, maka para pihak terikat dengan peraturan
standar. Mengenai cara penyertaan peraturan standar dengan cara ini maka para
peserta telah terikat.
Pada
dasarnya,dalam dokumen perjanjian dimuat secara lengkap dan rinci syarat-syarat
baku. Ketika membuat perjanjian dokumen tersebut disodorkan kepada konsumen
untuk dibaca dan ditandatangani. Dengan penandatanganan itu konsumen menjadi
terikat pada syarat-syarat baku (yurisprudensi). Dokumen perjanjian itu dapat
berupa naskah perjanjian, formulir permintaan asuransi, formulir pemesanan
barang, surat angkutan barang, surat tanda servis, polis asuransi dan
sebagainya.
Dalam
Perjanjian tertulis, pembuatan perjanjian dapat didahului oleh dokumen
permintaan, pemesanan yang diisi oleh konsumen. Atas dasar dokumen ini kemudian
oleh pengusaha disiapkan naskah perjanjiannya untuk ditandatangani oleh
konsumen yang bersangkutan. Naskah perjanjian ini memuat secara lengkap dan
rinci syarat-syarat baku. Banyak nasabah tidak membaca secara rinci syarat-syarat
baku sehingga tidak memahami isi perjanjian baku yang disodorkan tersebut atau
ada yang membacanya tapi tidak memahami maksud dari klausula-klausula tersebut
yang terkadang jumlah lembaran perjanjiannya cukup banyak dan dicetak dengan
huruf yang kecil-kecil. Hal demikian seringkali menyebabkan pihak yang disodori
untuk menerima syarat-syarat baku tersebut merasa enggan untuk membacanya
terlebih lagi apabila harus mempelajari dan memahaminya.
b. Pemberitahuan
Melalui Dokumen Perjanjian
Peraturan
standar tersebut diberitahukan pada pihak lainnya untuk dipelajari, dengan
jalan pertukaran dokumen atau dipersilahkan membacanya terlebih dahulu.
Kemudian setelah pihak lainnya mengetahui/mengerti tentang ketentuan-ketentuan
peraturan standar itu barulah kontrak ditandatangani
Menurut
kebiasaan yang berlaku, syarat-syarat baku pada dasarnya dicetak di atas
dokumen perjanjian yang tidak ditandatangani oleh konsumen, misalnya konsemen,
surat angkutan, surat penerimaan, surat pesanan, nota pembelian. Syarat-syarat
baku tersebut ditetapkan oleh pengadilan sebagai bagian dari isi perjanjian
yang diberitahukan melalui dokumen perjanjian. Dengan demikian, konsumen
terikat pada syarat-syarat baku itu. Dalam hal ini tidak dibedakan apakah
dokumen perjanjian memuat naskah syarat-syarat baku atau hanya menunjuk kepada
naskah syarat-syarat baku. Supaya konsumen terikat pada syarat-syarat baku,
dokumen perjanjian harus sudah diserahkan atau dikirimkan kepada konsumen
sebelum, atau pada waktu, atau sesudah dibuat perjanjian.
c. Penunjukan
Dalam Dokumen Perjanjian
Artinya dalam perjanjian itu dicantumkan
ketentuan-ketentuan bahwa untuk pelaksanaan perjanjian tersebut menunjuk pada
berlakunya peraturan standar yang bersangkutan. Mengenai cara panyertaan
peraturan standar dengan penunjukan ini lazim dipakai dalam perjanjian
pemborongan pembangunan, perjanjian kredit bank dan sebagainya.
Dalam
dokumen perjanjian tidak dimuat atau tidak ditulis syarat-syarat baku,
melainkan hanya menunjuk kepada syarat-syarat baku, misalnya dalam dokumen jual
beli perdagangan ditunjuk syarat penyerahan barang atas dasar klausula FOB atau
CIF. Ini berarti bahwa syarat baku mengenai penyerahan barang atas dasar
ketentuan FOB atau CIF berlaku dalam perjanjian itu. Selain itu, yurisprudensi
juga menetapkan bahwa dengan penunjukan kepada tanda suatu badan atau
organisasi berlaku syarat-syarat baku yang ditetapkan oleh badan atau
organisasi yang bersangkutan. Misalnya dalam formulir permohonan penutupan
asuransi kerugian tertera tanda atau lambang ”Lloyd”, ini berarti bahwa
terhadap asuransi kerugian yang dibuat oleh penanggung dan tertanggung itu
berlaku syarat-syarat baku yang ditetapkan oleh badan asuransi Lloyd.
d.
Pemberitahuan Melalui Papan Pengumuman
Syarat-syarat
baku dapat dijadikan bagian dari isi perjanjian dengan cara pemberitahuan
melalui papan pengumuman. Melalui pemberitahuan itu konsumen terikat pada
syarat-syarat perjanjian yang ditetapkan oleh pengusaha. Untuk itu pengadilan
menetapkan bahwa papan pengumuman itu harus dipasang di tempat yang jelas,
mudah dilihat, ditulis dalam bentuk huruf dan bahasa yang sederhana, serta
mudah dibaca sebelum perjanjian dibuat. Papan pengumuman semacam ini dapat
dijumpai pada perusahaan perbengkelan, perusahaan pengangkutan, toko swalayan
dan lain-lain.
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A.
Faktor
Pendorong Berkembangnya Perjanjian Standar
Perkembangan
kebutuhan dalam masyarakat akan sesuatu yang instan dan cepat mensyaratkan
proses yang cepat pula. Dalam hal melakukan perjanjian sebagai salah satu cara
untuk memenuhi kebutuhan, masyarakat juga semakin ingin proses yang cepat. Hal
inilah yang turut memacu berkembanganya perjanjian standar. Perjanjian Standar
ini bagai dua sisi koin mata uang. Disatu sisi, dengan adanya perjanjian
standar mempercepat proses karena format baku perjanjian tertulis tersebut
sudah ada, namun, disisi lain, kadang karena orang ingin sesuatu dengan cepat,
dia menjadi tidak berhati-hati dalam menandatangani perjanjian standar
tersebut.
Perjanjian
standar atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah standard contract,
adhesion contract, atau boilerplate contract; sebenarnya sudah ada sejak dulu.
E.H. Hondius dalam Comendium Hukum Belanda mengungkapan bahwa:
”Meskipun demikian yang
disebut model-model kontrak telah mempunyai sejarah ribuan tahun. Ketika lima
ribu tahun yang lalu di Mesir dan negara dua sungai dibuat tulisan-tulisan
pertama, hampir pada saat yang sama muncul syarat-syarat kontrak yang dibakukan
pertama. sesudah itu di banyak peradaban ada gejala untuk melepaskan formalisme
dari model-model kontrak yang ditetapkan oleh para rokhaniawan”
Hondius juga menyatakan
bahwa kebutuhan akan syarat-syarat baku kontrak di Eropa Barat terutama dalam
abad kesembilan belas menjadi besar. Kongsi-kongsi dengan peraturan-peraturan
yang melindungi mereka, ditiadakan. Revolusi Industri menyebabkan pertambahan
jumlah transaksi-transaksi perdagangan. Juga timbulnya konsentrasi-konsentrasi
modal yang naik besar, menjadikan pemakaian formulir-formulir baku diperlukan,
karena pembuatan transaksi-transaksi penting, sekarang harus diserahkan kepada
pejabat-pejabat rendahan, kepada siapa isi kontrak tidak dapat diserahkan.
Dalam abad ke 20, pembakuan syarat-syarat kontrak makin meluas.
Pitlo
menyatakan bahwa latar belakan tumbuhnya perjanjian baku adalah karena keadaan
sosial ekonomi, dimana perusahaan besar, seperti perusahaan yang dimiliki oleh
negara dalam mengadakan kerja sama, telah menentukan syarat-syarat sepihak
untuk kepentingan mereka. Dapat dilihat bahwa sebenarnya orang-orang sudah
menyadari kebutuhan akan perjanjian standar. Banyak negara yang juga telah
menyadari pentingnya peraturan mengenai perjanjian standar ini. Konsep
perjanjian standar ini sebenarnya berasal dari hukum perdata Perancis, hingga
pada akhirnya ”Harvard Law Review” menerbitkan sebuah artikel yang ditulis oleh
Edwin W. Patterson pada tahun 1919. Yang kemudian inti dari artikel tersebut
banyak diadopsi oleh Pengadilan di Amerika, terutama setelah Supreme Court of
California mendukung analisis terkait Perjanjian Standar pada tahun 1962. Dalam
Bab 3, ”Unfair Contract Terms Act 1977”, Inggris membatasi penyusun kontrak
perjanjian standar untuk menuliskan klausula yang membolehkan pihak untuk
bertindak baik sebagian maupun sepenuhnya berbeda dari apa yang bisa
diperkirakan dengan akal. Standard Form Contract Act 1982 di Israel,
mensyaratkan beberapa kondisi dalam kontrak yang bisa dibatalkan oleh
pengadilan; diantaranya yaitu pengecualian dan pembatasan tanggung jawab yang
tidak masuk akal, pemberian hak istimewa yang tidak masuk akal, transfer atau
pengalihan tanggung jawab. Dalam Article 6.185. Standard Conditions of
Contracts, Lithuanian Civil CodeI, dinyatakan bahwa syarat-syarat standar yang
disiapkan oleh salah satu pihak, harus mengikat pihak pihak lain, asal ada
cukup waktu untuk mengetahui syarat-syarat tersebut, atau dapat dikatakan bahwa
pihak lain itu mengetahui dan memahami ketentuan-ketentuan dalam perjanjian
standar tersebut.
Perjanjian
standar ini juga mulai banyak digunakan di Indonesia sebagai akibat dari
pergaulan antar bangsa, khususnya dalam bidang usaha. Hal tersebut diungkapkan
oleh Mariam Darus Badrulzaman, bahwa :
”Semakin maju teknologi
pengangkutan yang mendekatkan jarak hubungan antar bagian dunia, meletakkan
Indonesia dalam jaringan yang mudah dijamah oleh kebiasaan (perdagangan) yang
dipergunakan di bagian dunia lain. Masuknya perusahaan-perusahaan asing ke
Indonesia juga membawa serta penggunaan perjanjian baku, antara lain dalam
perjanjian kontraktor, perjanjian perwakilan, perjanjian pemberian jasa
(agreement technical services) dan sebagainya.
Sejalan dengan pendapat diatas, Johannes Gunawan
menyatakan bahwa :
”Perkembangan yang
cukup pesat penggunaan perjanjian standard di indonesia dapat di lihat setelah
masuknya modal asing sebagai penyerta dalam pembangunan nasional. Sejak itu
nampak akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai dikenal
perusahaan-perusahaan multi nasional yang demi efisiensi menggunakan perjanjian
standard dalam melakukan kegiatan transaksionalnya.”
Dari
pendapat-pendapat diatas, dapat disarikan bahwa pada dasarnya, faktor-faktor
pendorong adanya perjanjian standar, antara lain :
1. Kemajuan
teknologi.
2. Meningkatnya
hubungan kerjasama antar perusahaan maupun individu.
3. Kebutuhan
akan sesuatu yang harus segera dipenuhi dengan proses yang cepat.
4. Persamaan
atau pengulangan perjanjian dari satu pihak ke pihak lain, yang kemudian untuk
memudahkannya, perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk baku.
Sebenarnya ada beberapa
catatan penting yang perlu diperhatikan dalam perjanjian standar ini, antara
lain:
1. Bahwa
format perjanjian ini telah dibuat oleh salah satu pihak yang biasanya
kedudukannya lebih tinggi dibandingkan pihak yang lain. Dapat juga dikatakan
bahwa perjanjian ini mengabaikan asas kebebasan berkontrak dalam suatu
perjanjian. Namun yang perlu dikritisi lebih lanjut adalah ketika pihak yang
lain menyetujui perjanjian standar tersebut apakah kemudian juga hal tersebut
tidak bisa disebut dengan kebebasan berkontrak.
2. Bahwa
pihak yang lebih rendah kedudukannya dalam perjanjian akan jarang membaca
dengan detail dan memahami dengan jelas isi perjanjian standar tersebut. Karena
sudah barang tentu perjanjian standar tersebut dirumuskan dalam bentuk yang
detail dan dalam bahasa yang tidak mudah dimengerti oleh semua kalangan.
Sehingga, karena merasa sudah sangat membutuhkan, pihka yang lebih rendah
kedudukannya akan cenderung lebih setuju dengan perjanjian standar yang telah
dibuat sebelumnya.
Meskipun demikian,
tetap tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan masyarakat yang menuntut segalanya
menjadi lebih cepat, menjadi satu alasan kuat tetap ada dan berkembangnya
perjanjian standar ini.
B. Asas
Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Standar
1.
Pengertian
Asas Kebebasan Berkontrak
Dalam
sebuah perjanjian, maka kedua belah pihak hendaknya tidak boleh melupakan apa
yang dinamakan dengan asas kebebasan berkontrak. Pada dasarnya, asas kebebasan
berkontrak sangat erat kaitannya dengan asas konsesualisme. Asas ini terdapat
dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Asas ini mengandung arti “kemauan”
(will) para pihak untuk saling berpartisipasi, ada kemauan untuk saling
mengikatkan diri. Asas konsensualisme
ini menunjukkan adanay pernyataan kehendak atau pernyataan kesepakatan oleh
para pihak sebagai syarat mutlak lahirnya perjanjian. Dalam hal ini, pernyataan
kesepakatan para pihak itu haruslah terbebas dari tekanan pihak manapun. Oleh
karena itu, asas kebebasan berkontrak menjadi erat kaitannya dengan asas
konsensualisme ini. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas,
panacaran hak asasi manusia.
Dalam
KUHPerdata sendiri, asas kebebasan berkontrak dapat ditemui dalam ketentuan
Pasal 1338 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secar
sah berlaku sebagai undang-undnag bagi mereka yang membuatnya.” Pengertian ini
memberikan pemahaman bahwa setiap orang yang telah membuat perjanjian dengan
orang lain secara sah, maka kedua belah pihak tersebut harus mematuhi apa yang
menjadi isi dari perjanjian tersebut, seperti orang yang mematuhi ketentuan
yang ada dalam undang-undang. Dalam hal ini asas kebebasan berkontrak adalah
suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan
persyaratannya;
4. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis
atau lisan;
Bahkan ada juga sumber
lain yang menambahkan bahwa kebebasan berkontrak juga termasuk kebebasan para
pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian itu sendiri.
Dalam
ketentuan di atas, membuat atau tidak membuat perjanjian dapat diartikan bahwa
setiap orang mempunyai kebebasan hak untuk membuat sebuah perjanjian tau tidak
membuat perjanjian. Dengan kata lain tidak ada kewajiban atau ketentuan yang
memaksakan bahwa setiap orang harus membauat atau tidak membuat perjanjian,
Selain itu, dalam hal membuat perjanjian, maka seetiap orang tersebut bebas
untuk mengadakan perjanjian dengan siapa pun. Dalam hal ini kalusul “dengan
siapa pun” harus lah orang yang cakap hukum dan tidak di bawah pengampuan.
Selain itu, perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tersebut berisi
tentang klausul yang ditentukan oleh para pihak, baik itu isi pejanjian,
pelaksanaan dan persyaratannya. Namun, ketentuan tersebut harus mengacu tentang
syarat sahnya perjanjian sesuai dengan Pasa 1320 KUHPerdata. Dalam ketentuan
pasal tersebut disebutkan bahwa perjanjian harus memuat suatu sebab yang halal.
Dengan kata lain, ketentuan yang dimuat dalam perjanjian tersebut tidak boleh
bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh undang-undang. Jika hal ini
ternyata dilanggar, maka perjanjian itu batal demi hukum atau tidak pernah ada
sebelumnya. Asas kebebasan berkontrak bukan berarti menghalalkan bagi para
pihak untuk mengingkari kontrak yang telah terlebih dahulu terjadi, maksudnya
adalah para pihak dapat bebas mengadakan kontrak berdasarkan yang hal-hal yang
diperlukan. Selain itu asas ini menjelaskan bahwa orang tidak saja leluasa untuk
membuat perjanjian apa saja, bahkan pada umumnya juga diperbolehkan
mengesampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam KUH Perdata. Sistem
tersebut biasa disebut dengan sistem terbuka (openbaar system).
2.
Penerapan
Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Standar
Dalam
menganalisis mengenai permasalahan di atas, maka perlu diketahui mengenai
perjanjian standar/perjjanjian baku itu sendiri. Perjanjian Standar adalah
perjanjian yang memuat di dalamnya klausa-klausa yang sudah dibakukan dan
dicetak dala bentuk formulir dengan jumlah yang banyak serta dipergunakan untuk
semua perjanjian yang sama jenisnya. Perjanjian dibuat oleh para pihak akan
tetapi isinya ditetukan oleh salah satu pihak saja. Hal ini menjadi pertanyaan
tentang di mana posisi asas kebebasan bertindak dalam hal perjanjian standar
atau baku. Untuk dapat membatalkannya perlu menonjolkan apakah dengan kontrak
tersebut telah terjadi penggerogotan terhadap posisi tawar-menawar, sehingga
eksistensi unsur “kata sepakat” di antara para pihak sebenarnya tidak
terpenuhi.
Namun
begitu, walupun banyak kelemahannya eksistensi dari perjanjian standar itu
sendiri sangat diperlukan terutama dalam bisnis yang melibatkan kontrak dalam
jumlah banyak. Adapun kekurangan dari perjanjian standar tersebut adalah kurangnya
kesempatan bagi pihak lawan untuk menegosiasi atau mengubah klausula-klausula
dalam kontrak.
Sehingga
kontrak tersebut sangat berpotensi untuk terjadinya klausula yang berat
sebelah. Sementara itu, perjanjian standarpun masih mempunyai kelebihan yakni
kontrak tersebut lebih efisien, dapat membuat praktek bisnis menjadi lebih
simpel, serta dapat ditandatangani seketika oleh para pihak.
Sebenarnya
perjanjian standar itu sendiri tidak begitu menjadi persoalan secara hukum,
mengingat perjanjian standar sudah menjadi kebutuhan dalam praktek dan menjadi
kebiasaan sehari-hari. Yang menjadi persoalan adalah ketika perjanjian standar
tersebut mengandung unsur yang tidak adil bagi salah satu pihak, sehingga
apabila hal yang demikian dibenarkan oleh hukum sangat menyentuh rasa keadilan
dalam masyarakat.
Pada
dasarnya asas kebebasan berkontrak mengutamakan kebebasan dan kesederajatan
tiap manusia. Munculnya revolusi industri telah melahirkan
perusahaan-perusahaan raksasa yang memegang monopoli dalam segala bidang. Dalam
melakukan kegiatannya mereka menggunakan perjanjian standar yang tidak menjadi
kebebasan dan kesederajatan individu. Akibatnya asas kebebasan berkontrak yang
menjadi cermin dari kebebasan dan kesedarajatan individu kurang atau bahkan
tidak digunakan lagi dalam hukum perjanjian.
Namun
seiring dengan berkembangnya paham Welfare State menyebabkan semakin besarnya
keikutsertaan negara dalam mengatur dan mengelola berbagai lapangan kehidupan
masyarakat. Muncullah berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh negara, misalnya
tentang perlindungan terhadap buruh yang wajib dimasukkan dalam perjanjian.
Gejala ini justru juga mengakibatkan asas kebebasan berkontrak kurang atau
bahkan tidak dapat diwujudkan walapun perjanjian tersebut terjadi antar
individu. Adanya klausul eksenorasi dalam perjanjian standar semakin menunjukan
ketidakbebasan dan ketidak sederajatan para pihak dalam menentukan pemikul
resiko,karena klausul eksenorasi disadari atau tidak wajib ditaati oleh
debitur.
Jadi
pada intinya makna dari asas kebebasan berkontrak harus dihindarkan dari makna
bebasnya para pihak untuk membentuk hukumnya sendiri. Para pihak sama sekali
tidak mempunyai kemampuan untuk membuat Undang-undang bagi mereka. Mereka hanya
diberi kebebasan untuk memilih hukumnya, hukum mana yang hendak digunakan
sebagai dasar dari kontrak yang dibuat. Penggunaan perjanjian standar
menyebabkan asas kebebasan berkontrak kurang atau bahkan tidak diwujudkan,
misalnya:
1. kebebasan
para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian, karena perjanjian selalu
berbentuk tertulis;
2. kebebasan
para pihak untuk menentukan isi perjanjian, karena dalam perjanjian standart
sepihak, timbal balik, maupun berpola, isi perjanjian sudah ditetapkan terlebih
dahulu oleh salah satu pihak, organisasi ataupun ahli;
3. kebebasan
para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian, karena cara pembuatannya sudah
ditetapkan oleh pihak, organisasi atau para ahli.
Sementara
itu kebebasan-kebebasan yang masih dapat diwujudkan dalam implementasi Asas
Kebebasan Berkontrak ini adalah:
1. kebebasan untuk memutuskan apakah ia akan
membuat perjanjian atau tidak;
2. kebebasan untuk memilih dengan siapa akan
membuat suatu perjanjian.
Dalam melihat fenomena
asas kebebasan berkontrak ini terdapat dua paham bahwa apakah perjanjian
standar tersbut melanggar asas kebebasan berkontrak atau tidak. Paham pertama
secara mutlak memandang bahwa perjanjian standar bukanlah suatu perjanjian,
sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian adalah seakan-akan sebagai
pembentuk undang-undang swasta. Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di
dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian. Paham kedua
cenderung mengemukakan pendapat bahwa perjanjian standar dapat diterima sebagai
perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan
kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Dengan
asumsi bahwa jika debitur menerima dokumen suatu perjanjian itu, berarti ia
secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.
Kelompok
kami sendiri dalam hal ini tidak memihak pada salah satu dari kedua paham
tersebut. Di satu sisi penulis lebih melihat bahwa perjanjian standar secara
teoretis yuridis bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak dengan tidak
terpenuhinya ketentuan undang-undang yang mengatur. Namun di sisi lain tak
dapat dipungkiri bahwa perkembangan yang terjadi mengenai hal ini, dimana dalam
kenyataannya, kebutuhan masyarakat cenderung berjalan dalam arah yang
berlawanan dengan keinginan hukum bahkan telah menjadi kebiasaan yang berlaku
di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan, dengan mempertimbangkan
faktor efesiensi baik dari segi biaya, tenaga dan waktu, dan lainnya. Namun
dalam hal ini, penggunaan perjanjian standar ini tidak boleh dibiarkan tumbuh
secara liar dan karena itu perlu ditertibkan, dengan pertimbangan utama yaitu
pada aspek perlindungan buat debitur/konsumen.
Apabila
dikaji lebih dalam tentang bagaimana terbitnya perjanjian standar, secara
yuridis tidak memenuhi unsur-unsur yang dikehendaki pasal 1320 jo 1338 ayat 1
KUHPerdata. Selain KUHPerdata dapat juga kita ikuti beberapa pendapat dan paham
tentang daya mengikat perjanjian standar. Ada dua paham yang memberikan jawaban
terhadap apakah perjanjian standar melanggar asas kebebasan berkontrak atau
tidak:
1. Sluijter
mengatakan, perjanjian standar ini bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha
di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta.
Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah
undang-undang bukan perjanjian.
2. Pitlo,
mengatakannya sebagai perjanjian paksa (dwang contract), walau-pun secara
teoritis yuridis, perjanjian standar ini tidak memenuhi ketentuan UU dan oleh
beberapa ahli hukum ditolak. Namun kenyataannya, kebutuhan masyarakat berjalan
dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum.
Adapun pendapat lain
menyebutkan bahwa perjanjian standar merupakan perjanjian yang sah:
1. Menurut
Stein, bahwa perjanjian standar dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan
fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para
pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen
perjanjian itu berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.
2. Asser
Rutten, mengatakan bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian
bertanggungjawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang
membubuhi tanda tangan pada formulir perjanjian standar, tanda tangan itu akan
membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan telah mengetahui dan
menghendaki isi formulir yang ditandatanganinya, tidak mungkin seorang
menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.
3. Hondius,
berpendapat bahwa perjanjian standar mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan
kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.
Dari
beberapa paham dan pendapat di atas, pada dasarnya perjanjian standar
bertentangan asas kebebasan berkontrak, namun dalam kenyataannya pola atau
model perjanjian ini diterima oleh masyarakat, oleh karena itu, perjanjian
standar terus dipergunakan oleh berbagai kalangan masyarakat terutama untuk
perjanjian yang sifatnya sederhana. Perjanjian yang sifatnya sederhanya adalah
transaksi berbisnis yang sifatnya kecil yang sehari-hari dilakukan masyarakat,
seperti berbelanja untuk keperluan sehari-hari. Namun, untuk transaksi bisnis
yang sifat besar maka diperlukan negosiasi yang mendalam tentang obyek dan
harga serta mekanisme kerjasama yang akhirnya melahirkan akte perjanjian.
Teknik
pembuatan perjanjian standar didasarkan pada asas kebebasan berkontrak bagi
kedua belah pihak. Karena pihak yang merumuskan perjanjian standar itu pihak
kreditor, dia memanfaatkan asas kebebasan tersebut dalam menentukan hak dan
kewajiban serta tanggung jawab, syarat-syarat dan prosedur pemenuhannya,
dituangkan dalam rumusan kontrak yang cenderung menguntungkan kreditor, seperti
menggunakan kata “kecuali, eksonerasi, membebaskan dari tanggung jawab”.
Mengenai
pemanfaatan asas kebebasan berkontrak oleh pihak kreditor, Sastrawidjaja
merujuk pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menjabarkan asas kebebasan berkontrak
sebagai bebas membuat perjanjian apa saja, bebas mengatur isinya, bebas
mengatur bentuknya, dan semuanya itu dengan ketentuan tidak dilarang
undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Lahirnya perjanjian standar dilatar belakangi
oleh perkembangan masyarakat modern dan perkembangan keadaan sosial
ekonomi. Tujuan semula diadakannya
perjanjian standar adalah untuk alasan efisiensi dan praktis.
Isi
perjanjian standar hanya dirumuskan oleh satu pihak dengan kehendak bebasnya
pihak kreditor, tetapi di pihak debitur tidak dapat menyatakan kehendak
bebasnya, dengan kata lain tidak ada tawar-menawar mengenai isi kontrak.
Pernyataan yang berlaku adalah take it of leave it artinya jika setuju ambil,
jika tidak setuju tinggalkan saja. Kondisi seperti ini akan bermanfaat bagi
debitur karena kebutuhan atas barang atau jasa yang diinginkan segera akan
terpenuhi dan ada kebebasan memilih kualitas barang atau jasa sesuai dengan
kemampuan debitur. Tetapi disisi lain
dapat mengakibatkan kedudukan kreditur dan debitur menjadi tidak seimbang dan
debitur selalu berada pada posisi lemah. Posisi kuat selalu ada pada pihak
kreditor yang meraup keuntungan besar melalui promosi barang dagangannya dengan
menerapkan perjanjian standar yang cenderung merugikan debitur. Syarat-syarat yang lazim terdapat dalam
perjanjian standar adalah cara mengakhiri perjanjian, cara memperpanjang
berlakunya kontrak, cara penyelesaian sengketa, klausula eksonerasi. Keempat
hal tersebut menjadi fokus utama dalam perlindungan konsumen, khususnya pada
klausula eksonerasi (exemption clausule) yang berisi ketentuan pembebasan atau
pembatasan tanggung jawab pelaku usaha.
Aturan
hukum perdata selalu dituangkan dalam bentuk perjanjian standar, asal tidak
bertentangan dengan ketentuan perjanjian standar yang diatur oleh UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam UU ini menyebutkan secara tegas
secara tegas untuk melarang pelaku usaha yang menawarkan barang dan/atau jasa
dengan tujuan untuk diperdagangkan dengan cara mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan/ atau perjanjian yang isinya pada dasarnya bertujuan
menguntungkan pihak pelaku usaha dan merugikan pihak konsumen . Ketentuan pasal
18 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan Klausula baku
dimaksud antara lain menyatakan : pengalihan tanggung jawab pelaku usaha,
pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang
dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; pemberi kuasa dari konsumen kepada
pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; mengatur perihal pembuktian
atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Pada
umumnya, faktor pendorong berkembangnya perjanjian standar antara lain:
a. Kemajuan
teknologi.
b. Meningkatnya
hubungan kerjasama antar perusahaan maupun individu.
c. Kebutuhan
akan sesuatu yang harus segera dipenuhi dengan proses yang cepat.
d. Persamaan
atau pengulangan perjanjian dari satu pihak ke pihak lain, yang kemudian untuk memudahkannya,
perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk baku.
2. Dalam
hal pembuatan perjanjian standar, asas kebebasan berkontrak masih ada namun
pelaksanaannya masih sangat kurang atau tidak dapat dilaksanakan dengan
menyeluruh seperti pada perjanjian pada umumnya. Dalam hal ini ada beberapa
ketentuan dalam asas kebebasan berkontrak yang disimpangi.Namun, hal itu bukan
berarti perjanjian yang dibuat menjadi batal. Adapun ketentuan asas kebebasan
berkontrak yang disimpangi tersebut adalah:
a. Kebebasan
untuk menentukan bentuk perjanjian
Dalam
hal ini bentuk perjanjian standar haruslah tertulis, para pihak tidak boleh
menentukan perjanjian standar dalam bentuk lisan. Dengan kata lain, bentuk
perjanjian standar itu sendiri telah ditentukan. Padahal asas kebebasan berkontrak
memberikan peluang bagi para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian.
b. Kebebasan
untuk menentukan isi perjanjian
Pada
umumnya perjanjian standar telah ditentukan oleh salah satu pihak. Sehingga
pihak yang satu tidak bisa ikut serta dalam menentukan isi perjanjian. Hal ini
juga menegaskan bahwa isi perjanjian dalam perjanjian standar telah ditentukan
oleh salah satu pihak saja. Padahal asas kebebasan berkontrak memberikan
peluang bagi para pihak untuk menentukan isi perjanjian.
c. Kebebasan untuk menentukan cara pembuatan
perjanjian
Dalam
hal ini, cara pembuatan perjanjian juga tidak dapat ditentukan oleh para pihak.
Biasanya, perjanjian ini akan lahir ketika salah satu pihak menerima dan
membubuhkan tanda tangan dalam akta atu formulir perjanjian standar. Padahal
asas kebebasan berkontrak memberikan peluang bagi para pihak untuk menentukan
cara pembuatan perjanjian.
Namun
dalam perjanjian standar, asas kebebasan berkontrak yang dapat diwujudkan
antara lain:
a. Kebebasan
untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian atau tidak.
Dalam hal ini, pihak
yang akan membuat perjanjian masih memiliki kebebasan untuk memutuskan membuat
suatu perjanjian atau tidak.
b. Kebebasan
untuk memilih dengan siapa akan membuat suatu perjanjian
Ketentuan ini memberikan
pilihan pihak-pihak dengan siapa dia akan membuat perjanjian. Dengan kata lain,
jika salah satu pihak telah setuju untuk membuat suatu perjanjian dengan pihak
yang telah merumuskan ketentuan dalam perjanjian standar, maka pihak tersebut
dianggap telah setuju untuk membuat perjanjian dengan pihak yang merumuskan
perjanjian standar tersebut.
[1] Gemala Dewi,
Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, cet.
3,Kencana, Jakarta,2006, hlm. 204
[2] Shidarta,
Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2005, hlm. 146
[3]
Salim,H.S, 2002, Teori dan Praktek Penyusunan
Kontrak, PT. Rajawali, Mataram, Hal 29
[4] Sudikno
Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu
Pengantar, Liberty, Yogyakarta, Hal 118
[5] Sudikno,
Mertokusumo, Op.cit, Hal 119
[6] Subekti,
2002, Hukum Perjanjian, PT.
Intermasa, Jakarta,
[7] Sutan
Remy Sjahdeini, 1991, Kebebasan
Berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, PT. Intermasa,
Jakarta, Hal 47
[8] Sudikno,
Mertokusmo, Op. Cit , hal 99
[9] J.
Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal 117
[10] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia,
(Jakarta: Institut Bankir indonesia, 1993), hal.66
[11] Mariam Darus Badrulzaman dalam
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo. Jakarta. 2000,
hal 119.
[12]
Sutan Remi 65-66
[13] (Mariam
Darus Badruzaman 1994: 47)
[14] Mariam
Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku
(Standard) Perkembangannya di Indonesia, Bandung, Alumni, 1980, hlm. 11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar