Jumat, 08 Desember 2023

contoh argumentasi kontra MPR

 

Kontra  adanya MPR

MPR adalah lembaga negara. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), MPR adalah lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. Dengan tidak adanya lembaga tertinggi negara maka tidak ada lagi sebutan lembaga tinggi negara dan lembaga tertinggi negara. Semua lembaga yang disebutkan dalam UUD 1945 adalah lembaga negara.  Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan lembaga pelaksana kedaulatan rakyat oleh karena anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah para wakil rakyat yang berasal dari pemilihan umum. MPR bukan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 ,perubahan ketiga bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Ketentuan mengenai keanggotaan MPR tertuang dalam Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 sebagai berikut:

MPR mempunyai tugas dan wewenang utama diantaranya mengubah dan menetapkan undang-undang dasar, mengangkat dan memberhentikan presiden dan wakil presiden. Dari uraian tersebut maka Lembaga MPR secara memiliki urgensi dalam ketatanegaraan yang ada akan tetapi sebenarnya bisa disiapkan secara adhock saja sewaktu waktu sesuai kebutuhan tanpa harus adanya sebuah lembaga resmi. Konsekuensi dengan adanya Resmi adalah budgeting anggaran terhadap setiap kegiatan yang dilakukan dalam lembaga tersebut. Sebagaimana kita ketahui sekarang setelah keluarnya UU MD3 yang diatur secara jelas didalamnya MPR dapat membuat angaran tersendiri yang dikelola sendiri oleh sekertariat jendral MPR. Pengelolaan angaran tersebut sebenarnya membebani keuangan negara yang seharusnya bisa di efektifkan kepada penanganan hal lain. Selain itu keanggotaan MPR yang terdiri dari DPR dan DPD merupakan pemborosan anggaran karena double job dan double paymen bagi anggota DPR dan DPD.

MPR dalam melaksanakan tugas terkait perubahan dan penetapan UUD tidak setiap waktu dilakukan karena memerlukan banyak usaha pemikiran dan waktu yang tidak sedikit sehingga jika pembayaran terhadap anggota MPR digelontorkan bahkan setiap bulan dan tahunnya sedangkan pekerjaannya belum tentu ada setiap tahun akan merugian keuangan negara. Mengangkat dan memberhentikan presiden dan wakil presiden bukan angenda tahunan bahkan mungkin lima tahunan sekali sehingga keberadaan MPR hanya seperti lembaga adhock bahkan seperti sekedar forum saja. Keanggotaan MPR yang terdiri dari anggota DPR dan DPD sehingga dapat menimbulkan tumpang tindih pekerjaan yang dapat menyebabkan ketidak konsen bagi DPR dan DPD yang dapat mempengaruhi program legeslasi nasional yang ada.

Romantisme MPR sebagai Lembaga jug sudah dibuktikan secara sejarah yang dengan dibelakukanya beberapa amandemen yang menjadikan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi dalam negara Indonesia.  Berkaitan dengan hal tersebut MPR sudah tidak lagi mempunyai kekuasan dan kewenangan yang super power atas lembaga negara lainnya. Kesejajaran dalam kedudukan MPR dalam ketatanegaraan di Indonesia membuktikan bahwa kepercayaan masyarakat juga menurun atas lembaga MPR. Bukti historis terkait MPR setelah reformasi sudah dapat menjadi lasan konkrit bagi bangsa indonesia untuk berbenah terkait sistem pemerintahan dan sistem ketatanegaraan. Sebagaimana yang terjadi di jaman presiden Soeharto yang tidak memiliki taring apapu atas yang terjadi pada waktu itu. Kemudian saat Presiden Habibie dimana MPR menolak pertanggungjawabannya yang menyebabkan kehilangan putra terbaik bangsa, kemudian di era Presiden Gusdur yang mana dilaksanakan sidang luar bisa. Sidang tersebut membuat Gusdur lengser dari jabatan Presiden dengan alsan tidak sesuai dan sejalan dengan GBHN. Alsan tersebut bukanlah alsan yang secara ketatanegaran diatur dan sanksi tersebut merupakan bentuk super powernya MPR.

Kembali kepada keanggotaan MPR yang terdiri dari DPR dan DPD selama ini terlitaht tidak akur dan menonjolkan ego sektoral yang menyebabkan kuorum dalam MPR juga tidak dapat berfungsi secara baik dalam menjalakan tugas dan wewenang yang telah diamanatkan oleh UUD dan UU. Dalam perjalannya DPR dan DPD memiliki tugas lain yanglebih terkait legislasi, budgeting dan pengawasan yang sudah menyita waktu dan tenaga sehingga jika dimasukan mereka kedalam MPR akan meperburuk kinerja legislasi. Selain itu penyerapan aspirasi masyarakat yang dilakukan anggota MPR  masih belum terasa ke masyarakat grassroot karena kebanyakan hanya menyesuaikan dengan daerah dimana ia terpilih dan hanya untuk beberapa kelompok. Penyerapan aspirasi in sangat penting karena dapat digunakan dalam dasar dari adanya perubahan dan penetapan UUD yang disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia.

Kelembagaan MPR yang terbaru berdasarkan UU MD3 mempunyai tugas lain seperti dalam Pembuatan TAP MPR yang diakomodir dalam UU 12 tahun 2011 terkait hirarki peraturan perundangan menyebabkan kebingungan dalam sistem legislasi karena sebelumnya Tap MPR sudah dihapus karena dirasa tidak perlu lagi karena sudah ada DPR,DPD dan pemerintah yang melaksanakan pembuatan undang-undang yang berlaku. Dimasukkannya kembali TAP MPR dalam tata urutan perundangundangan tersebut, tentu saja membawa implikasi atau akibat hukum yang membutuhkan penjelasan rasional, agar tidak menimbulkan tafsir hukum yang berbeda-beda. Jika ditarik dalam konteks sistem perundang-undangan Indonesia, maka suatu produk hukum dalam setiap tingkatan kelembagaan Negara dapat dikatakan sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan, jika memenuhi unsur peraturan (regeling). aspek ketentuan yang mengatur (regeling) dengan sifat berlaku umum, tidak kongkrit dan ditujukan untuk publik. Hal tersebut berbeda dengan sifat yang melekat dalam suatu keputusan (becshikking) yang bersifat kongret, individual dan berlaku sekali waktu (einmalig). Kedudukan TAP MPR sangat ditentukan oleh pengaturan kedudukan dan kewenangan MPR sebelum dan sesudah amandemen. MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat ketetapan yang bersifat mengatur (regelling). MPR pasca perubahan UUD 1945 hanya diberikan kewenangan dalam membuat ketetapan yang bersifat keputusan (beshickking). Dihilangkannya kewenangan MPR untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, berarti aturan dasar Negara kita berlaku secara singular atau tunggal yang bertumpu kepada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR kini tidak lagi berwenang menerbitkan aturan dasar Negara (grundnorm) di luar UUD NKRI Tahun 1945 yang bersifat mengatur. Pengujian norma diantara peraturan perundang-undangan lainnya Oleh karena itu maka MPR yang memiliki TAP MPR ini harus dibuat lebih jelas dan lebih cermat terkait apa saja yang akan diatur secara jelas. Sehingga masyarakat dan lembaga negara lainya dapat menafsirkan Tap MPR tersebut secara baik dan benar.

Akibat dimasukkannya TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan, maka muncul persoalan dalam hal pengujian norma diantara peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini dapat terjadi jika TAP MPR bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan terdapat UU yang bertentangan dengan TAP MPR.  Melihat sistem kekuasaan kehakiman Indonesia, uji materi dibebankan kepada Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi kewenangan Mahkamah Konsitusi sebatas uji materi UU terhadap UUD. Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tata cara pengujian TAP MPR terhadap UUD atapun UU terhadap TAP MPR. Mahkamah Konstitusi tidak boleh serta merta melakukan pengujian terhadap TAP MPR, kecuali Mahkamah Konstitusi melakukan upaya hokum progresif.

Kembali lagi membahas terkait kedudukan MPR yang tidak lagi sebagai lembaga tertinggi Negara, maka MPR bukanlah lembaga perwakilan, akan tetapi cendrung menjadi “joint sesion” antara anggota DPR dan anggota DPD yang memiliki fungsi bersifat lembaga konstituante yang bertugas merubah dan menetapkan Undang-undang Dasar. eksistensi MPR menjadi ada atau diadakan jika berkenaan dengan kewenangan yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana pendapat Jimly Asshidiqie yang menyatakan bahwa, organ MPR itu sendiri baru dikatakan ada (actual existence) pada saat kewenangan atau functie-nya sedang dilaksanakan. Dalam pola Negara kesatuan sebagaimana dianut oleh Indonesia, supremasi parlemen yang memegang fungsi legislasi, hanya ada ditangan DPR dan DPD bukan ditangan MPR lagi. Sehingga secara fungsi MPR tidak diperlukan lagi. Selain itu dimasing anggota baik DPR dan DPD memmentingkan kepentingan kelompok masinhg masing sehingga MPR tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dua kekuatan legislatif bikameral, DPR dan DPD menyebabkan malfungsinya MPR sehingga lebih baik untuk ditiadakan.

MPR hanya seperti petugas sisoalisasi terhadap empat Pilar. Begitu banyak anggaran yang dikeluarkan hanya untuk lembaga mensosialisasikan empat pilar tersebut. Padahal diindonesia sendiri sudah ada berasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. BPIP ini memiliki tujuan untuk menanamkan nilai nilai luhur pancasila kepada seluruh masyarakat Indonesia.  Tugas legislasi sudah pula diamanatkan kepada DPR dan DPD bersma pemerintahan, terkait perencanaan pembangunan nasional yang dahulu kewengan MPR dala GBHN sudah diberikan kepada badan perencanaan pembangunan nasional sebagaimana amanah undang-undang tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional  dalam uu Undang Undang No 25 Tahun 2004  ditambah munculnya PERPRES No. 81 Tahun 2021 sebagai dasar dari Bappenas sehingga fungsi vital dari MPR sekarang ini sudah terbagi dengan berbagai lembaga negara lain maupun badan badan khusus yang dibentuk untuk melakukan tugas dan kewenangan tersebut. Sehingga jika MPR masih diadakan akan menyebabkan ketidak efektifan dan kefisiesian anggaran negara. MPR yang melakukan tugas dari lembaga lain pun dapat menyebabkan tingkat trust masyarakat terhadap pemerintahan yang berjalan menurun karena dianggap pemerintahan tidak dapat menjalankan pemerintahan secara baik.

Sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem presidensil yang mana Presiden bertanggung jawab kepada rakyat langsung tidak kepada MPR menjadi bukti kuat bahwa MPR tidak lagi dijadikan sebagai pengemban amanat rakyat dan tidak lagi sebagai bentuk keterwakilan masyarakat. Hilangnya funsi dan wewenang dalam pembuatan GBHN juga secara tidak langsung merupakan alasan tidak lagi diperlukanya MPR dalam tatanan bernegara. Jika MPR ada dan semakin kuat maka perubahan sistem pemerintahan akan semakin condong kearah parlementer. Sedangkan didalam MPR banyak sekali oknum-oknum yang hanya akan memperjuangkan keinginan pribadi dan kelompok bukan untuk kesejahteraan rakyat.  Susunan keanggotaan MPR juga memerlukan perhatian serius karena selama ini hanya diisi dari kalangan elit politis didalam DPR dan DPD serta belum mencerminkan keterlibatan peran seluruh elemen masyarakat. sebaiknya ada utusan/perwakilan eksekutif (TNI/POLRI), Tokoh Agama dan kelompok cendikiawan lainnya yang mewakili kebhinekaan Indonesia. MPR hanya bersidang 5 tahun sekali atau dalam hal adanya perkara impeachment, sehingga utusan-utusan MPR di luar DPR dan DPD harus berisi dari orang dan komposisinya disesuaikan

Kedudukan MPR sekarang tidak dapat menunjukan chek and balance karena sudah ada lembaga lain yang melakukan tugas dan fungsi tersebut. Keberadaan MPR tersebut hanya sebagai lembaga yang membersamain DPR dan DPD. Pembagian kekuasaan antara MPR, DPR dan DPD belum begitu optimal dalam mewujudkan sistem ketatanegaran yang berkedaulatan rakyat. Hal ini terjadi karena struktur kekuasaan parlemen yang dimiliki bersifat tiga kamar jika dilihat dari kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga perwakilan.Belum optimalnya pelaksanaan kedaulatan dalam pembagian kekuasaan di Indonesia juga disebabkan kerena kekuasaan DPR masih jauh lebih besar dan lebih luas dibandingkan dengan kekuasaan yang dimiliki DPD.  kecilnya kekuasaan yang dimiliki oleh DPD berarti tingkat perwakilan yang lebih mendekatkan pada prinsip kedaulatan rakyat tentunya tidak maksimal untuk dijalankan dan dilaksanakan berdasarkan inisiatif dari DPD sendiri. Sifat perwakilan yang dijalankan oleh DPD tidak tercermin secara penuh dalam pengaturannya.

Permasalahan yang terjadi dari bentuk hubungan antara ketiga lembaga tersebut telah memberikan kemungkinan terjadinya kecenderungan “super power” dari DPR dan DPD. Maka perwakilan yang diemban oleh kedua lembaga tersebut dalam hubungannya memungkinkan terjadinya hubungan yang tidak harmonis. MPR mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas karena merupakan penjelmaan seluruh rakyat. Kewenangan yang demikian besar tidak memungkinkan terjadinya kontrol, pengawasan, dan keseimbangan oleh lembaga negara lain sebagaimana dianut dalam sistem demokrasi (checks and balances system). Dengan demikian dampaknya jelas akan merugikan rakyat karena demokrasi tidak berkembang secara baik dan terbuka pelanggaran HAM. Sehingga jika adanya MPR yang super power dapat menyebabkan ketidakstabilan dalam pemerintahan yang berjalan.

Perubahan struktur keanggotaan MPR yang terdiri menjadi anggota DPR dan anggota DPD membuat keberadaan MPR lebih tidak berarti. Peran DPD yang sangat terbatas sebagai wakil masyarakat daerah mengakibatkan mustahil dapat terjadi permusyawaratan seluruh rakyat Indonesia di dalam tubuh MPR yang diwakilkan oleh DPR dan DPD. Pasca amandemen tentang pencabuatan dan pengurangan terkait tugas dan fungsi MPR menjadikan menjadikan lembaga tersebut tidak lebih berarti dari lembaga lain yang ada. Keberadaan MPR sekarang dipandang menjadi benalu dalam sistem ketata negaraan karena kurang memiliki peran dan hanya dipandang sebagai petugas sosialiasasi empat pilar. Yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh lembaga eksekutif lain yang telah dibentuk. Kepercayaan masyarakat juga semakin menurun terkait keberadaan MPR karena berbgai tindakan yang diambil selama ini dan tidak pula merepresentasikan masyarakat.

Berdasarkan dari beberapa uraian diatas maka dapat disimpulkan beberapa alasan mengapa MPR tidak diperlukan antara lain;

1.    Tidak adanya kinerja yang pasti dari pihak MPR

2.    Keanggotaan yang hanya dari DPR dan MPR yang tidak memberikan keterwakilan bagi masyarakat

3.    Pemborosan anggaran negara yang seharusnya bisa diterapkan untuk bidang lembaga lain

4.    Menyebabkan ketidakstabilan terhadap sistem pemerintahan presidensil jika diberikan kewenganan yang berlebih

5.    Banyaknya oknum dalam MPR yang hanya mementingkan keuntungan pribadi dan golongan

6.    Sudah ada lembaga lain yang memiliki tugas serupa dengan MPR

7.    Secara sejarah MPR sudah beberapa kali mengeluarkan keputusan yang kontrofersial yang mencedarai beberapa elemen bangsa Indonesia

8.    Memperburuk jalanya legislasi sistem hukum karena hirarkinya berada di atas perpu dan UU yang dapat menyebebkan multitafsir

9.    Memunculkan adanya upaya perubahan sistem pemerintahan dari presidensil ke parlementer

10.  Tidak terpenuhinya amanat masyarakat yang selama ini diemban sehingga menimbulkan kekecewaan bagi rakyat

 


 

Daftar Bacaan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah

Maria Farida Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar Dan Pembentukannya . Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1998; h. 26

Padmo Wahjono. Ilmu Negara. Jakarta. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 1966; h.26

Satjipto Rahardjo, 2012. Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan ke VII. Hal. 83-84

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap Mpr) Dalam Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh: Fitri Meilany Langi

Jurnal Pembaharuan Hukum Volume III No. 2 Mei - Agustus 2016 penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran konstitusi oleh lembaga negara

https://mpr.go.id/tentang-mpr/Kedudukan,-Tugas,-dan-Wewenang

https://www.hukumonline.com/klinik/a/apakah-tap-mpr-dapat-dipersamakan-dengan-uud-1945-atau-uu-lt56668c1d168a3

https://setjen.mpr.go.id/detailBerita/121/Sesjen-MPR-:-Sosialisasi-Empat-Pilar-MPR-Merupakan-Tugas-Mulia

https://mpr.go.id/tentang-mpr/Visi,-Misi,-dan-Tujuan#:~:text=MPR%20sebagai%20pengawal%20kedaulatan%20rakyat,penyelenggaraan%20kenegaraan%20dan%20kemasyarakatan%20sesuai

https://www.mpr.go.id/berita/Syarief-Hasan:-Sosialisasi-Empat-Pilar-Sangat-Dibutuhkan-Rakyat,-Tingkatkan-Kualitas-Materi,-Metode-dan-Sasaran-Di-Tahun-2023

http://repository.iainbengkulu.ac.id/10030/1/SAPNA%20SASMITA-1811150005-KEDUDDUKAN%20MPR%20DALAM%20SISTEM%20PEMERIN.pdf

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar